Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #3

13 Tahun Lalu, November 2010

Sebelumnya, aku tidak mempromosikan pacaran, apalagi saat masih SMP. Dilihat dari sudut pandangku yang sekarang, SMP itu kecil sangat, bocah tengil. Aku melihat fotoku semasa SMP dan mendapati seorang anak-anak ketimbang remaja, dengan pipi chubby dan wajah mulus tanpa bulu, feminin alih-alih maskulin.

Tapi tak ada anak-anak yang merasa masih anak-anak, seperti halnya tak ada orang polos yang merasa dirinya polos atau orang gila yang merasa dirinya gila. Ketika seorang anak berpikir dirinya masih anak-anak, maka dia telah dewasa. (Lagi-lagi, ketika orang gila berpikir dirinya gila, maka dia tidak gila.) Berikut adalah cerita masa kanak-kanakku. Baca saja dan jangan diikuti.

Aku dan Safa bertemu di kelas satu, tapi sebelum itu, izinkan aku memperkenalkan salah satu teman lelakiku. “Kenapa, Hab?” Anda bertanya. “Kenapa juga gue mesti kenalan sama temen bujang lo?” Aku paham. Aku pun lebih memilih berkenalan dengan anak gadis ketimbang bocah lanang, tapi sabar sebentar, sebab ini perlu. Walau bagaimanapun, aku dan Safa bertemu gara-gara Bobi.

Bobi (nama aslinya Wahyu Hasanudin, tapi jangan tanya kok bisa dipanggil Bobi) adalah teman sebangkuku. Manusia hitam dia ini, entah itu fisiknya atau pun hatinya; seorang murid bajingan, pria buaya, dan anak durhaka. Berbeda denganku (yang datang dari kasta cupu), Bobi adalah seorang preman. Andai aku sedikit saja kurang pintar buat bantu dia belajar, kali hubungan kami akan berakhir sebagai bos dan jongos alih-alih teman.

Pada suatu hari yang cerah dan berbahagia, tak lama usai bel pulang berbunyi, Bobi menepuk pundakku. “Qabil temanku.”

Untuk suatu alasan yang sampai sekarang belum kupahami, aku kerap dipanggil dengan nama kembaran jahatku. Aku tak pernah menyukainya sebab itu membuatku kedengaran macam psikopat inses dengan libido berlebih. “Apa gerangan, Wahyu musuhku?”

“Bantuin gue.”

“Perasaan gak ada PR.”

“Bukan perkara PR.”

“Utang lo yang Jumat belom dibayar.”

“Bukan perkara duit.”

“Temenin ke kuburan? Padahal itu mata masih biru?”

“Bukan perkara ribut.”

Kalau dipikir-pikir, Bobi memang banyak cari gara-gara denganku. Heran kenapa aku sabar berteman dengannya. “Ringkas, Bob.”

“Cewek.”

Kelewat ringkas si anjing. “Kasih pencerahan.”

“Gue naksir cewek.”

Masih kelewat ringkas si anjing. “Lebih rinci.”

“Gue naksir cewek kelas G.”

“Bob ... urusanya sama gue?”

“Lo bantu gue mintain nomor dia.”

“Kenapa gue?”

“Di kelas G ada si babi Ega.”

“Ooh.” Ega. Salah satu preman SMP. Minggu kemarin, dia dan Bobi adu jotos di kuburan belakang sekolah. Mata kiri Bobi masih biru sampai sekarang. “Oke,” sahutku. Cupu, sih, cupu, tapi aku tak punya masalah bersosialisasi dengan anak perempuan sebaya. Aku baru puber saat itu, dan seperti bocah laki-laki yang baru puber pada umumnya, pikiranku masih dipenuhi embak-embak.

Aku dan Bobi dari 7E—7G terletak satu ruangan di sebelah kiri kami. Waktu itu, SMP-ku masih bobrok. Di depan kelas, menghampar taman yang lebih mirip padang alang-alang, jalan setapak yang lebih mirip ladang ranjau pecahan genting, serta kolam ikan yang lebih mirip kultur eceng gondok.

Kelas G belum bubar. Aku mengintip dari sudut jendela, mendapati Pak Sutarno yang tengah mengajar. Guru biadab memang dia—bacotnya selalu panjang.

“Yang mana?” tanyaku.

Bobi ikut mengintip. “Itu.”

“Tarno?”

“Bukan, goblok. Lo kenal Vani?”

“Gak.”

“Pokoknya yang paling cantik.”

“Banyak.”

“Yang barisan kedua!”

“Dia?”

“Dia.”

Lima belas menit kemudian, Pak Tarno berhenti membacot. Terdengar suara helaan dari sepenjuru kelas. Aku turut lega untuk mereka.

Bobi tepuk pundakku. “Gue tungguin di kantin.” Apa yang dia maksud kantin adalah warung kecil bobrok yang menjual dagangan tidak sehat, tidak mengenyangkan, dan tidak higienis di samping kelas G.

“Bentar, Bob. Semisal gak dikasih, gimana?”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa sampe gak dikasih?”

“....” Bobi macamnya tak punya pengalaman ditolak anak gadis. Jujur, itu menjengkelkan, jadi langsung saja kugebah dia dengan bilang, “Oke, paham.” Dan semisal si Vani ini menolak kasih nomornya, terpaksa Bobi aku beri nomor keduaku (waktu itu ponsel dual sim baru tren-trennya.) Setidaknya, aku bisa membahagiakan temanku (dan diriku) dengan berpura-pura jadi gadis idamannya.

Bobi kabur; kelas G bubar. Aku menyelonong saja menghampiri si Vani. “Hei,” sapaku.

Si gadis celingukan, sadar tak ada siapa-siapa di sampingnya, lalu kelabakan. “He-hei?” cicitnya, suara nyaris tak kedengaran.

“Gak lagi sibuk, kan?”

Vani menggeleng.

Aku mengeluarkan pensil dan kertas. “Boleh minta nomor HP?”

“....”

Mesti diketahui, waktu itu kami baru kelas 1 SMP, dan generasiku tidak dibesarkan smartphone—kami puber agak belakangan. Perasaan tertarik pada lawan jenis merupakan pengalaman baru buat kami. Jadi, ketika Vani petakilan dan tergagap dan tersipu, itu adalah reaksi normal.

Pada akhirnya, wajah Vani merah semua, dan dia menyerah untuk bicara. Dia ambil pensilku, menulis nomornya, lalu lari sambil menyingsing rok.

Aku pergi menghampiri Bobi yang tengah menontonku dengan sikap hikmat. Tangannya tesilang di dada, bibirnya mengatup rapat, keningnya mengernyit kuat.

“Nih.” Aku menyodorkan nomor Vani.

Bobi tidak mengambilnya. “Goblok.”

“Apanya?”

“Gue bilang yang paling cantik.”

“Iya.”

“Anak culun begitu .... Aduh. Qabil, Qabil ...."

"Apaansi lo—" Aku terdiam, menoleh, lalu melongo. "Yang barusan bukan Vani?"

"Bukan, anjing."

"Terus siapa?"

"Cewek random."

Jadi, pembaca sekalian, begitulah caraku dan Safa Karunia bertemu.

Andai sempat, aku ingin mengejar si Vani KW dan meluruskan kesalah pahaman ini hari itu juga. Sayangnya, gadis itu sudah hilang, lari ngibrit macam copet. Aku coba menyerahkan nomor nyasar itu pada Bobi, tapi sang anak bangsat tak sudi barang menyentuhnya.

"Udah ngarep itu cewek," cetusnya, seolah ini semua bukan salahnya. "Bakal sakit kalo tau lo cuma PHP."

Kuputuskan aku kapok membantu si Babi Bobi dalam urusan cintanya.

Sebab percuma juga untuk dipusingkan, kuhapus wajah si Vani KW dari ingatanku dan pulang. Esoknya, aku mendadak terkenal.

Hari itu, aku berangkat sekolah macam biasa. Aku mandi macam biasa, gosok gigi macam biasa, berpakaian macam biasa—kemeja dimasukkan ke celana biar rapi. Hebatnya, begitu aku tiba di gerbang, kudapati mata indah para dara terarah padaku. Mereka menunjuk-nunjuk, berbisik-bisik, nama Habil sesekali terdengar dari bibir-bibir manis.

Aku mengepalkan tangan di dada dan berpikir, Sudah saatnya. Aku ini tampan. Ibuku selalu bilang begitu. Tipe yang ketika dewasa jadi pria rebutan. Jadi, tak heran kalau para gadis akhirnya sadar dengan pesonaku.

Begitu gembiranya aku sampai-sampai tak sadar dengan langkah kakiku. Tahu-tahu, aku sudah ada di Gang Kejahatan. Sederet siswa berjongkok di pinggirannya, macam pagelaran berak masal. Oh, tai, pikirku.

Pembaca yang budiman, jika Anda pernah bersekolah SMP atau SMA, tentu Anda tak asing dengan konsep Gang Kejahatan. Anda tentu tahu satu - dua jalur-jalur sempit, remang, atau terpencil yang jarang dilewati murid seorang diri. Di sana adalah tongkrongannya anak-anak berandal, benih parasit masyarakat modern, perampas uang yang para orang tua cari dengan susah payah untuk buah hati mereka.

Kami hidup di dekat pegunungan. Kontur tanah di sini masih banyak tanjakan dan turunan (walau tak seheboh di kawasan rumahku). Sekolahku sendiri bertempat di lereng landai, dibagi menjadi tiga kompleks yang mengundak. Kelas 7 terletak di kompleks bawah, dan ada dua rute ke sana: Koridor Publik serta Gang Kejahatan.

Koridor Publik adalah yang paling umum, terletak di pojok barat kompleks tengah, di antara dua kelas, lebar kurang lebih tiga meter. Sedikit memutar jika tujuannya adalah kelasku, tapi kusarankan kau pakem lewat sana bila tak ingin jerih payah orang tuamu sirna begitu saja.

Gang Kejahatan sangat tidak disarankan untuk anak-anak kelas 7, yang mana belum sempurna tumbuh, pipi chubby sisa-sisa masa bayi. Letaknya di pojok timur kompleks tengah, terjepit benteng, lebar tak barang semeter. Jangan pernah datang ke sana kecuali kau membawa rombongan.

Oh, tai, pikirku, lalu coba lewat dengan langkah menyamping, macam kepiting. Satu preman, yang paling besar, yang paling sangar, yang lebih mirip om-om ketimbang anak SMP, menatapku. Oh, tai, pikirku lagi, sebab kentara betul dia ini bosnya. Matanya yang galak mengikutiku, macam mata pedator yang mengawasi mangsanya. Seorang preman keroco melihatku, berdiri. Oh, tai!

“Jangan,” Si bos, preman yang mirip om-om itu, memerintah.

Si keroco melirik atasannya dengan bingung, lalu duduk lagi, mata melototnya mengikutiku pergi.

Begitu aku berhasil keluar, aku menghela napas. Yang barusan itu menegangkan dan tidak menyenangkan. Aku benar-benar yakin bakal kena palak tadi. Apa yang terjadi?

Di kelas, aku mendapati kursi Bobi masih kosong. Bel berbunyi, dan kursi itu tetap kosong. Aku sama sekali tak heran, sebab seperti yang aku pernah katakan, Bobi adalah murid bajingan, bibit parasit dari masyarakat modern, kloset duit orang tua. Akan tetapi, aku agak heran dengan teman-temanku yang lain, karena untuk suatu alasan, tak ada satu pun yang mengajakku bicara.

Para wanita aku tak aneh. Mungkin mereka kelewat grogi. Tapi bagaimana dengan para lelaki? Mungkinkah mereka kelewat iri? Dendam sebab perhatian seluruh anak hawa kuraup sendiri? Hmm, itu amat bisa terjadi.

Sampai waktu bubar tiba, tak ada satu pun yang mengajakku bicara, kecuali KM kelas, itu juga cuma perkara kealfaan Bobi, yang mana jelas tak aku ketahui! (Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Dikiranya aku ini emaknya si anak bangsat?) Aku tak terlalu kesepian, tapinya. Sejak kecil, aku tidak gampang bosan atau kesepian. Aku tidak anti dengan kebisingan dan kehebohan, tapi aku merasa ada di rumah dalam keheningan.

Aku sedang membereskan tas ketika menemukan secarik kertas di sela buku, nomor ponsel terbubuh. Mendadak aku ingat kembali dengan Vani KW, lalu memutuskan untuk meluruskan kesalahpahaman dia hari ini juga. Kusandang tasku dan pergi ke kelas G.

Gugup? Tidak juga. Laki-laki gugup di depan wanita hanya ketika dia ada rasa, yang mana dalam kasusku tidak. Aku tidak doyan sebayaan, apalagi dede-dede; aku doyan embak-embak.

Kelas G baru bubar saat itu. Aku menjulurkan kepala ke balik pintu, ingin memanggil nama Vani KW, tapi kemudian ingat kalau namanya bukan Vani KW, namanya aku tidak tahu. Sejenak, aku jadi pusat perhatian. Untuk suatu alasan (mungkin kegantenganku), anak-anak perempuan di kelas G macam mengenaliku. Mereka menoleh padaku, berbisik-bisik, menunjuk-nunjuk. Salah satu dari mereka, yang berbuntut kuda, berseru, "Safaaaaa! Ada yang nyariin, niiiiih!"

Gadis yang dipanggil Safa menoleh, menatapku, lalu tersipu. Itu si Vani KW. Macamnya dia sudah membewarakan aksi buayaku ke seluruh teman arisannya. Ampas memang dia.

Macam kata Bobi, Safa itu culun. Rambutnya dikepang dua, poninya dipangkas rata, kacamatanya bulat besar, badannya pendek. Bukan culun dalam artian buruk, tapinya. Di mata pria yang tepat, tentu Safa akan nampak bagai bidadari imut yang turun dari surga. Hanya kebetulan saja pria yang tepat itu bukan Bobi (dan bukan aku juga).

Dijadikan tontonan macam itu, mau tak mau aku salting pula. Aku coba tersenyum, tapi terlalu lebar dan jatuh ke nyengir. Jangan bayangkan cengiran nakal anak badboy, cengiranku lebih mirip punya orang goblok. Buruan sini, duh, Gusti!

Sayangnya, alih-alih mendatangiku, Safa malah memekik, lari, lalu sembunyi di punggung salah satu temannya. Untuk satu detik kelas jadi hening; detik berikutnya kami disoraki. Dapat kurasakan wajahku yang terbakar.

Tak tahu harus bagaimana lagi, aku menunggu saja sampai Safa mau muncul lagi. Si anak jadah tak muncul lagi. Alih-alih, segerombolan gadis lain menghampiriku. Kuhitung-hitung jumlah mereka ada delapan ekor. Jujur, aku merasa takut.

"Kamu Qabil, kan? Anak 7E? Temen kelasnya Nanda?" tanya komandan mereka, seorang gadis kurus tinggi, berhidung bangir, dengan kulit putih pucat dari keturunan.

"HA-bil," lurusku.

Dia mengabaikanku. "Kenal aku?"

"Gak."

"Aku Vani."

Oalah. Jadi ini, ya, yang Bobi sebut “cewek paling cantik”? Hmm. Entah kenapa menurutku biasa saja. Aku tetap lebih suka yang lebih tua. (Sebagai informasi, Vani kerap dibilang primadona, tapi hingga dewasa pun aku tetap tidak memahaminya.)

"Oh! Bobi titip salam," kataku. Pada kenyataannya, Bobi tidak titip apa-apa, dan aku tahu bukan itu maksud Vani menghampiriku. Aku cuma coba mengalihkan perhatian, rencana yang terbukti kandas sebelum lepas landas.

"Aku gak pengen ngobrol soal Bobi," celetuk Vani. "Aku sama temen-teman aku pengen ngobrol soal kamu."

Wow, kaget aku. Vani memindaiku dari atas ke bawah, bawah ke atas, berhenti di wajahku, usap dagunya, lalu mengangguk. "Lumayan, lumayan."

Apanya yang lumayan, anjing?

"Kamu dari SD 3, kan?"

"Iya."

"Kenal Meli?"

"Kenal .... Kenapa, emang?"

"Aku sempet tanya-tanya ke Meli soal kamu. Kayak ... kamu itu orangnya kek gimana, gitu."

Uh. Kucoba menepis rasa maluku dengan candaan. "Orang soleh?" Sekalian, aku mengangkat alis dan pasang seringai kecil.

Vani tak terpancing dan menyahut dengan wajah datar, "Orang aneh."

"...."

"Tapi seenggaknya bukan orang jahat." Vani tersenyum jahil. "Dan bukan orang penakut juga, kayaknya."

Aku tak paham apa yang dia katakan, tapi aku tak peduli. Aku ingin buru-buru membereskan urusan ini. "Van, sori, tapi boleh gue ketemu Safa? Gue ada bicara sama dia."

Vani (dan setengah lusin temannya) memekik centil. Mereka salah paham. "Owowowo, kalem, boy. Jangan buru-buru gitu."

"Bukan gitu—"

"Sekarang kita-kita mau main ke rumah Safa. Kamu ikut juga." Vani mencondongkan wajah dan berbisik. "Saran gue, jangan pake lo-gue di depan Safa. Dia enggak suka."

Persetan.

Aku diseret keluar dari sekolah. Konsesusku sama sekali tak dipedulikan, jadi ini termasuk penculikan, para oknum yang terlibat halal dilaporkan. Di dekat gerbang, sebuah mobil sedan menunggu. Vani membuka pintunya, menjebloskanku masuk, lalu menyusul duduk.

"Mobil siapa 'ni?" tanyaku, sedikit panik. Aku pikir aku betulan diculik.

"Safa," kata Vani. Cuma dia dan Safa berdua yang ikut masuk—sisanya lebih memilih berjalan. Kejam? Tidak juga. Rumah Safa sebenarnya tidak jauh-jauh amat, tak barang 15 menit berjalan (7 jika aku yang melakukan). Ayah Safa memang kelewat memanjakan putrinya.

Omong-omong soal Safa, dia sama sekali tidak membantu. Sedari tadi, kerjaannya hanyalah tersipu. Tak sepatah kata pun aku mendengar suara dari mulutnya. Entah dia ini tipe pemalu atau benar-benar naksir padaku.

"Jadi," kata Vani, "Sedari kapan kamu suka Safa?"

Aku mengernyit, lalu melirik ke kursi depan. Safa duduk di sana, sekali-sekali mengintipku lewat ekor mata, lalu buru-buru berpaling begitu ketahuan. Di sampingnya, duduk pak supir berindentitas misterius (dulunya kupikir itu abangnya atau pamannya; aku tak pernah mengira akan ada orang di kota kecil ini yang betulan punya supir pribadi).

Jujur, aku ingin urusan ini diselesaikan secara tenang. Aku tak ingin jadi bahan gosip. Sayangnya, Safa kepalang comel pada teman-temannya, jadi aku tak punya pilihan lain.

"Gini," kataku, coba mengatur suara supaya tetap kalem. "Gue—"

Pintu di sebelahku di buka. Seorang siswa melongok—berbadan besar, berwajah sangar, lebih mirip om-om ketimbang anak SMP. Oh, tai. Di juragan preman yang tadi pagi.

"Mau ke mana kalian?" tanyanya.

Vani angkat alis. "Rumah Safa."

"Sama cowok?"

"Sama aku juga, duh."

Setelah berpikir sejenak, si preman mendepakku supaya bergeser. "Gue ikut."

"Astagaaaa!"

"Diem lo."

Vani manyun, melirikku, satu alis naik. "Kenalin, dia Husen, sepupunya Safa."

"Oh," kataku, terlalu takut untuk berkata. Aku harap tak ada yang sadar kalau warna wajahku sudah sirna.

"Jadi, gimana?" lanjut Vani. "Sedari kapan kamu suka Safa?"

"Sedari pandangan pertama," sahutku.

Pembaca yang budiman, aku tak kenal Safa, aku tak kenal Vani, tapi aku kenal Husen—sejak lama sekali. Di hari pertama ospek, saat upacara, anak laki-laki yang satu itu tampil dengan amat mencolok bahkan di tengah-tengah lautan manusia. Hal pertama yang aku pikirkan ketika melihatnya adalah, Anjing, ada napi kabur.

Husen adalah makhluk besar. Dia begitu tinggi sampai-sampai aku mesti mendongak. Badannya dua kali tebal badanku dan tangannya tiga kali kekar tanganku. Aku penasaran apakah Husen benar-benar sebaya denganku, berhubung dagunya sudah ditumbuhi bulu walau baru kelas satu. Aku sama sekali tak bakal kaget andai ada yang bilang kalau Husen pernah tinggal kelas sepuluh kali, yang mana membuatnya kini berkepala dua, mungkin beristri juga, mungkin istrinya hamil enam bulan, dan mereka tinggal di rumah hasil cicilan berukuran lima belas kali delapan.

Di hadapan dia, aku serasa jadi anak perempuan—kecil, mungil, rapuh. Aku tak yakin akan bisa menang adu panco dengannya sekalipun menggunakan dua tangan. Aku tak yakin sekalipun menggunakan kaki, anus, dan seluruh badan.

Sebagai laki-laki sensitif yang berhati lembut, aku langsung gemetar ketika mengetahui eksistensi makhluk macam itu di sekolahku. Selama seminggu penuh, aku berdoa pada Tuhan untuk tidak disatukelaskan dengannya. Aku berdoa setelah bangun tidur, sebelum sarapan, saat siang, menjelang petang, lalu sebelum aku tidur lagi. Bahkan dalam tidur pun aku masih bermimpi soal dirinya. Aku mimpi sekelas dengannya, sebangku dengannya, berhadapan dengannya. Aku bermimpi dipelototi olehnya, juga dipalaki, dipukuli, diciumi, dijilati, ditelanjangi, hingga dicolok-coloki. Aku bangun menjerit, jantung bertalu keras dan keringat mengalir deras.

Oh Tuhan, aku benci preman.

Ada dua gadis cantik di dalam mobil, salah satunya begitu dekat sampai-sampai hangat tubuhnya dapat kurasa. Anehnya, seluruh perhatianku malah tertuju pada Husen. Tiap kali bahu kami bersentuhan, aku terperanjat. Tiap kali dia bernapas, aku mendengarkan. Tak bisa aku melepaskan mataku dari gerak-geriknya.

Aku serasa jadi homo. Bahkan gaya dudukku pun macam homo—kaki rapat, tangan dipangku, leher mengerut. Dalam hatiku, nama Husen terus bergaung tiada henti: Husen, Husen, Husen, Husen, Husen, Husen ....

Apakah ini rasanya cinta? Aku pikir tidak. Ini rasanya teror.

"Sedari pandangan pertama," sahutku, sebab menjawab Sori salah orang sekarang terlalu berisiko terhadap kesehatan nyawa.

Dasar memang anak SMP, diberi kata-kata klise pun langsung kegirangan. "Pandangan pertama?” pekik Vani. “Pas kapan? Jelasin, jelasin!"

Aku melirik ke depan, mendapati Safa yang memerah dari leher sampai telinga. Oh, Tuhan Penguasa Semesta Alam. Aku harap aku tak dikutuk gara-gara memainkan hati wanita.

"Pas hari pertama sekolah," kataku. "Aku ... duduk deket jendela dan liat Safa lewat. Dia ketawa ... dan itu cantik banget." Terang saja, aku tak pernah lihat Safa, apalagi yang tertawa. Lagi pula, kata siapa Safa pernah tertawa di hari pertama? Lagian ketawa Safa itu gimana? "Safa. Itu nama dia?"

"Kamu gak tau?"

"Gak. Baru tau hari ini." Aku melirik Safa, yang mana langsung merunduk dan hilang. "Aku selalu pengen tau nama dia."

Husen berdeham dan nyaris membuatku melompat. Diam-diam, aku mencuri pandang padanya, mendapati dia yang melempar pandang padaku. Ditiliknya diriku dari puncak kepala hingga alas kaki, lalu mengangguk-angguk. Eh? Apaan?

"Berapa NEM lo?" tanyanya. Aku tak bisa memutuskan apakah ini jatuhnya wawancara lamaran pernikahan atau ujian penerimaan siswa baru.

"Eeeh ... 27?"

"Safa dapet 29."

"Iya ...."

Lihat selengkapnya