Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #4

Bagian 2, Januari 2024

Dengan hanya berselimutkan sarung, terang saja mustahil buatku untuk melintasi jalanan perumahan—apalagi jalanan umum. Aku bisa digebuki massa gara-gara dikira pengguna ilmu hitam nantinya. Jadi, alih-alih bergerak ke utara (yang mana merupakan pusat kota), aku lari ke selatan dan tiba di pesawahan. Si bocah coba menoleh, mungkin ingin memeriksa kalau-kalau kami dikejar. Aku menahan kepalanya.

“Jangan nengok lampu,” kataku. “Tengok ke yang gelap. Mata lo gak bisa liat ‘ntar.”

“Kenapa?” kicaunya.

“Retina lo bakalan ciut.”

“Retina itu apaan? Kenapa ciut kalo liat cahaya? Kenapa kalo ciut jadi gak bisa liat?”

Astaga. Baru beberapa langkah kami masuk ke area pesawahan, kegelapan sudah datang menelan. Di satu sisi, ini menjamin keamanan—tak ada yang bisa melihat kami. Di sisi lain, ini merepotkan—kami pun sama-sama tak bisa melihat pijakan. Aku berusaha jalan di pematang dengan susah payah sambil coba menjawab pertanyaan si bocah—retina itu lubang di tengah mata; iya, mata berlubang; buat masukin cahaya; gak, cahanya masuk lewat lensa dulu; lensa itu yang bikin cahaya fokus; fokus itu maksudnya ngumpulin apa yang asalnya tersebar; gak, lensa bikin citra jadi kebalik dulu; citra itu informasi visual yang diterjemahin dari cahaya; lo pengen tau retina itu apaan ato enggak, sih?

“Gak gitu,” tampik si bocah sambil membuntut macam anak bebek. “Kan, mesti jelas dulu dari awal apa-apanya.”

Mesti jelas dulu dari awal apa-apanya, katanya. Kalau begitu ceritanya, maka tak akan ada habisnya aku menjelaskan.

Hamparan sawah berhenti dihadang tanggul, memanjang diagonal dari tenggara ke barat laut. Tanggul berbatasan dengan parit; trapesium, lebar empat meter. Parit berbatasan dengan jalan; muat satu mobil, aspal terkikis, rumput mengapit di kedua sisi.

Aku meringkuk di balik tanggul, di bawah rumpun pisang, mata menilik rumah warga di seberang jalan. Situasi nyaris sepi, tapi aku mendengar sayup-sayup suara di teras-teras.

“Kita nyeberang?” bisik si bocah antusias.

“Lo pengen gue digerebek warga?”

Si bocah manyun. “‘Kamu pengen aku digerebek warga’ kali, Yah.”

“Bawel, ah! Tadi mah gak kenapa-kenapa juga.”

“Nasuh tadi gak ngoreksi itu takut bikin Ayah nangis aja. Liat situasi, dong.” Sejurus kemudian, dia nyeletuk, “Omong-omong, Ayah udah janji buat jelasin pelecehan seks itu apaan.”

Liat situasi dengkulmu.”

“Tapi, kan, udah janjiiii. Tinggal jelasin apa susahnyaaaaaaa.”

“Jelasin apa-apa ke lo mah bakalan susah. Seksnya sendiri gampang, tapi pelecehan seks? Lo bakalan nanya, pelecehan itu apaan; kalo maksa seks disebut pelecehan, terus kenapa maksa makan gak disebut pelecehan; nye-nye-nye-nye. Udah! ‘Ntar aja.”

“Kok Ayah bo’ong, si? Bo’ong itu dosa, Yah. Bisa masuk neraka.”

“Siapa bilang?”

“Bu Nurul bilang.”

“Si Nurul bacot berak. Letak kejahatan itu bukan di metode, tapi di niatan.” Aku ambil posisi jongkok. “Kita turun.”

Untuk sesaat, si bocah menatapiku dengan matanya yang kebesaran untuk wajah kecilnya. “Turun ... ke parit, Yah?”

“Ke mana lagi?”

“Entar banjir gimana, Yah?”

“Banjir? Banjir dari mana! Hujan aja kagak!”

“Temen Nasuh ada yang hanyut di parit.”

Kini giliranku yang menatapinya. Aku juga pernah menyaksikan hal macam itu. Ralat. Aku bukan hanya menyaksikan, aku ikut hanyut. Ranselku—yang berisi semua alat menulisku—hilang ketika itu.

Aku melompat turun. “Sini. Gak usah takut mati. Dunia gak seindah itu buat disayang-sayang.” Bukan sesuatu yang pantas diucapkan pada anak kecil, tapi siapa peduli? Itu kenyataan, dan itu pahit, tapi tak itu tak membuatnya jadi keliru.

“Tapi Nasuh belum boleh mati.”

“Kenapa?”

“Nasuh belum tau seks itu apaan.”

Aku garuk kepala. Ini salahku, kah? Baru sehari kami bertemu, dan ucapannya sudah macam bocah sange. “Lo belum tau seks itu apa; gue apalagi, belum tau seks itu gimana.”

Si bocah mengernyit. “Kenapa gimana bisa muncul sebelum apa?”

“Pokoknya gak usah dipikirin. ‘Ntar juga lupa.”

“Gak bisaaaa. Kebawa mimpi.”

“Lo ... lo bikin gemes, tau, gak?”

“Saking lucunya?”

“Saking jengkelinnya.” Tanpa ba-bi-bu lagi, kutarik si bocah. Dia memekik, tapi bukan dengan ketakutan. Tangan kecilnya merangkul leherku. “Lo enteng banget.”

“Langsing, Yah.”

“Ceking, kali.”

“Ramping?”

“Kerempeng.”

“Semampai? Oh, singset!”

Macam biasa, kosakata anak ini tak pernah berhenti membuatku terbengong. “Busung lapar. Udah. Jangan ngomong lagi, ‘ntar ketauan orang.”

Kami berjalan sambil membungkuk, menyusuri parit ke arah barat laut. Air di sana cuma sebatas tumit, menggenang diam, pekat oleh limbah dapur dan limbah dubur (aku memang tak lihat berhubung gelap, tapi dari semerbaknya, pelik buatku untuk berpikir sebaliknya).

Berjalan seperti itu adalah hal yang sulit. Aku ingin menegakkan punggungku, tapi suara-suara manusia selalu kedengaran dari atas sana. Seratus meter kemudian, parit memotong area pemukiman; pesawahan hilang berganti perumahan, derik jangkrik surut berganti celoteh orang.

“... Mah, seragam Asti buat besok kok belum kering ...”

“... Skakmat! Makan, tuh, anjing ...”

“... Ji, gue pengen putus. Lo kelewat baik buat gue ...”

“... gacor ...”

... kemesraan iniii ... janganlah cepat berlaluuu ...

“... ngentot!”

Ngentot, bisikku setuju. Aku berhenti membungkuk dan mulai berjongkok, pinggang terbakar dan lutut menjerit. Aku iri pada si bocah yang bisa berdiri tanpa memperlihatkan kening lebarnya pada penghuni bantaran parit.

Seratus meter lagi, kami menyusup ke bawah jembatan. Pawai mobil lewat, dan segala jenis najis berjatuhan. Dari sana, menikung ke utara sepanjang dua ratus meter, lalu pelan-pelan melengkung ke kiri hingga menghadap ke barat, memasuki area yang lebih padat dan bising.

Parit mendadak hilang menjadi gorong-gorong. Di depan, jalanan besar memotong dari utara ke selatan, hiruk pikuk kendaraan dan manusia kedengaran gaduh.

Aku memutuskan untuk masuk ke gorong-gorong. Si bocah protes, dan bukan karena cengeng belaka. Gorong-gorong itu sempit dan gelap, menyusup lebih rendah dari dasar parit, menggali ke dalam bumi sepanjang 40 meter lebih.

“Temen Nasuh ada yang—”

“Iya, iya. Gue tau. Gue juga pernah.” Aku nyaris membentaknya. Kenangan itu masih membuatku marah. Aku menolong anak itu sebab aku ingin mati jadi pahlawan—bagaimana bisa harapan sesederhana itu tak bisa terwujud? “Lo diem aja di sini kalo gak mau ikut.”

Aku masuk tanpa banyak bicara lagi—aku ingin mati; menyelami gorong-gorong tak barang membuat bulu kudukku berdiri. Di dalam sana, air menggenang sampai dagu. Rasanya tak berbeda jauh dengan berendam di air tahi. Aku mesti mengatupkan mulutku rapat andai tak ingin kena diare, yang mana memaksaku menghirup udara lewat hidung, yang mana memaksaku mencium aroma yang tak ingin kucium, harum bak kulit bidadari. Satu-satunya hal yang patut disyukuri di situasi ini adalah ... di sana gelap, hitam pekat seolah udara punya warna. Aku berenang, tangan merayapi dasar saluran yang penuh benda lunak, wajah menempel ke langit-langit yang digelayuti lendir.

Sepuluh menit aku habiskan untuk mengarungi liang najis itu. Andai aku bukan orang penyabar, tentu aku sudah histeris. Aku keluar di seberang gorong-gorong, menyeruak dari genangan cairan nista itu tak ubahnya makhluk mutan di film horor.

“Yah! Tungguin!” sebuah suara muncul dari gorong-gorong. “Tungguin! Jangan tinggalin Nasuh! Tungguin!”

Aku melirik ke belakang, mendapati si bocah yang coba memanjat naik, tapi terpeleset dan malah tercebur. Aku menghela napas dan menariknya keluar. “Jangan nangis,” kataku ketika si bocah mulai terisak. Dia menurut dan mengatupkan mulut, bibir tipis melengkung cemberut.

Kami melanjutkan perjalanan. Seratus meter kemudian, perumahan hilang dari bantaran kiri, berganti menjadi kawasan empang, berganti lagi menjadi hamparan sawah. Kami memanjat bantaran, lalu turun ke sawah yang mana saat itu dalam kondisi baru dipanen. Kuputuskan itu adalah tempat yang sesuai untuk peristirahatan malam ini.

Kami terus berjalan ke selatan. Ada sebuah gubuk, menghadap ke kolam kecil, punya dua ruangan. Aku membasuh diri di kolam; si bocah menontonku dengan seksama sebelum akhirnya meniruku (iya, persis ke menggosok selangkangan). Ruang sebelah kanan gubuk punya dinding dan pintu yang digembok, jadi aku memanjat ke ruangan sebelah kiri yang berupa balai-balai, lalu membaringkan diri di sana.

Si bocah muncul dan menyelipkan diri di ketiakku. Aku coba mendorongnya, tapi dia malah menggigit. Malam hari di kawasan ini tidak sedingin malam hari di kampung halamanku, tapi juga tidak sepanas di kota-kota besar. Aku kebasahan dan kesepian. Merasakan kehangatan tubuh orang lain tidaklah buruk, jadi aku pun membiarkannya.

“Jadi, seks itu apaan, Yah?” tanyanya kemudian.

Aku diam sejenak untuk mengapresiasi keabsurdan dari situasi ini. Orang normalnya mendongengkan kisah Si Kancil atau legenda daerah untuk menemani anaknya tidur, bukan malah menguliahinya tentang pendidikan seks. Sayangnya, si bocah tak bakal diam jika aku menghindarinya lagi, dan tak ada jaminan situasi yang mendukung akan muncul kembali.

“Seks itu istilah buat proses kawin dari binatang, utamanya manusia.”

“Nikah?”

“Bukan.” Aku merenung, lalu memutuskan untuk mensaintifikasi konsep kawin ini dan beralih ke bahasa Indonesia. “Ini proses penggabungan ... benih.”

“Kenapa benih mesti digabungin?”

“Buat nutupin kelemahan yang satu sama kelebihan yang lain. Orang buta warna kalo kawin sama orang buta warna yang lain, anaknya kemungkinan besar buta warna juga.”

“Jadi, kalo orang buta warna nikah sama orang normal, anaknya gak bakal buta warna?”

“Bukan gak bakal, tapi kemungkinannya jadi kecil. Semisal orang berkembang biak dengan membelah diri, nyaris 100% penyakit genetiknya bakal turun ke anaknya.”

“Penyakit genetik itu apaan?”

“Penyakit genetik itu—”

“Bentar! Genetik itu apaan?”

Aku menghela napas. “Genetik itu ... denah. Denah yang jadi acuan tubuh kita dibangun. Genetik diwarisin dari orang tua ke anak. Jadi, penyakit genetik itu penyakit yang turun-temurun.”

“Oke. Paham, paham.” Si bocah mangut-mangut. “Jadi ... seks itu apaan.”

“Gue udah jelasin.”

“Enggaaak. Maksud Nasuh ... uh ... seksnya itu sendiri gimana?”

“Ceceh masuk ke nonok. Ceceh ngeluarin benih bapak, gabung sama benih mamah, mamah hamil.”

“Kok ... serem, sih?”

“Makanya hal begini gak bisa dianggap enteng. Seks sembarangan bisa ngundang penyakit. Hamil di luar nikah juga bisa bikin anak—yang udah menderita cuma gara-gara dilahirin—makin menderita lagi. Dianjurkan buat ngeseks sama satu orang aja, seudah lo dewasa, seudah badan sama mental lo siap.”

“Kalo seks itu serem, terus kenapa Ayah seks Mamah?”

“Masih belom pasti.”

“Tapi Mamah bilang—”

“Oke, kita ngomong soal asumsi. Asumsikan gue—”

Aku.

“—GUE bapak lo. Terus lo nanya kenapa gue ngeseks sama emak lo? Jawabannya: naluri.”

“Naluri itu apaan, Yah?”

“Sifat bawaan makhluk hidup buat melestarikan diri. Makan itu naluri, tidur itu naluri, buang air itu naluri. Supaya kita ikutin kata naluri, alam bikin naluri kerasa enak. Makan enak, tidur enak, berak enak, makanya seks juga enak.”

“Oalah.” Si bocah diam sejenak. “Disebutnya apaan?”

“Apaan apa?”

“Naluri buat seks? Kan, kalo makan itu laper, tidur itu ngantuk, buang air itu mules. Nah, kalo seks?”

Dia pintar. “Birahi.”

“Bukan cinta?”

Kritis pula. “Setiap emosi itu nyambung. Anggap pelangi. Kamu bisa nunjuk mana warna merah sama mana warna kuning, tapi susah buat nunjuk mana batasnya. Emosi juga gitu, kek takut sama resah, atau kecewa sama marah.”

“Tapi perbedaannya apa, Yah? Masa sama, kan?”

Yah, Yih, Yuh. Aku terlalu lelah untuk meluruskan panggilannya padaku, jadi aku biarkan saja dulu. “Birahi itu cenderung sesaat, cinta itu lebih konsisten. Lo bisa ngeseks pake birahi, tapi buat habisin hidup seatap sama pasangan lo, itu harus pake cinta. Ada cinta di birahi, ada birahi di cinta, bedanya cuma kadar belaka.”

“Ayah ke Mamah itu cinta apa birahi?”

“Tergantung mamah lo siapa.” Aku mengernyit. “Tergantung juga ayah lo siapa.”

“Kenapa ada pelecehan seks tapi gak ada pelecehan makan? Padahal sama-sama naluri.”

“Sebab seks bikin malu.”

“Apa hubungannya?”

“Sesuatu disebut melecehkan ketika ngebuat si korban ngerasain malu.”

“Kenapa seks bikin malu?”

Astaga. Kapan habisnya ini? “Soalnya seks dilakuin dengan berbagi zona privasi. Lo saling telanjangin, saling pelukin, saling jilatin.”

Ew!” Kembali, si bocah diam, dan aku tahu bahwa otak di dalam kepala kecilnya sedang sibuk menghubungkan jutaan neuron demi membuat koneksi baru. “Terus kenapa liat ceceh disebut pelecehan?”

“Sebab ceceh itu barang privasi.”

“Tapi, tapi, tapi Nasuh sering liat om-om yang kalo lagi kerja buka baju. Dadanya keliatan. Terus kenapa cewek gak gitu? Gak konsisten, dong!”

“Lo pengen gak kepala lo jadi botak?”

Si bocah meraih rambut jabriknya. “Jangan, dong!”

“Kenapa?”

“Entar Nasuh diejek, gimana?”

“Oke, valid. Sekarang, semisal seluruh orang dunia lahir botak dan cuma lo yang berambut, siapa yang bakal diejek? Yang botak apa yang berambut?”

“Yang ... botak?”

Salah. Orang yang punya rambut yang bakalan diejek, dibilangi berbululah, kayak monyetlah, apalah. Manusia itu punya naluri—kita udah bahas naluri itu apaan—buat ikutin prilaku orang di sekitar kita. Sebab orang-orang tutupin ceceh mereka, gue juga. Gue diejek kalo enggak. Malu. Apa yang bikin malu itu pelecehan.”

“Oalah.” Si bocah termenung. “Loh? Terus gimana kalo orang lain salah? Gimana kalo semua orang buat jahat? Kita ikutin juga?”

Aku tergelak. “Lo pikir kenapa sampe sekarang manusia masih pada buat anak meskipun tau banget kalo hidup itu gak enak?”

***

Mungkin kalian mempertanyakan kewarasanku yang membahas tentang seks—secara vulgar—dengan seorang bocah berusia 10. Sebenarnya, andai anak ini adalah anak normal (yang berarti tolol), kupikir aku juga akan menggunakan pentabuan. Tabu itu budaya lama, tapi bukan tanpa guna. Tabu membuat orang mewaspadai sesuatu tanpa harus memahaminya. Tapi si bocah pintar, dan bila dia bisa memahami suatu bahaya secara langsung, kenapa tidak?

Atau setidaknya, begitulah caraku meyakinkan diri saat itu. Kini, memandang kebelakang dari jauh, aku sadar bahwa diriku tak jauh berbeda dengan orang lain; aku sadar bahwa meskipun aku tahu betapa menyakitkannya hidup ini, aku tetap ingin memiliki anak—jika bukan secara biologi, maka secara ideologi.

***

Aku hanya mampu tidur sebentar. Si bocah tak memberiku kedamaian dan terus saja berceloteh dengan mulut kecilnya. Begitu dia tidur, aku pula yang harus mengipasi tiap nyamuk yang coba hinggap di pipi tambunnya. Entah kenapa aku melakukan itu. Ibuku pernah melakukannya juga ketika aku kecil. Mengingatnya membuatku menangis dengan mulut tertutup.

Ketika si bocah membangunkanku, pagi sudah lewat beberapa jam. Aku bisa melihat coretan di dinding gubuk dengan jelas sekarang, yang mana berupa gabungan dari prosa yang sulit diartikulasi dan gambar-gambar ponorgrafi. Aku sempat panik, tapi kembali tenang ketika mendapati pesawahan yang masih sunyi sepi bahkan di hari sesiang ini. Mungkin pak tani masih ingin liburan usai pesta panen padi.

Sedari semalam aku sudah merasakan pedih di kakiku. Ketika kutengok, kudapati telapak dan tumitnya yang dilumuri darah kering. Aku kaget bukan main, lalu mendadak diserang rasa sakit. Pasti gara-gara jalan di parit. Banyak bangsat tak beradab yang buang kaca dan beling ke sana.

Pertamanya, aku duduk-duduk saja, mengerang, lalu tengkurap. Aku malas melakukan apa pun. Aku bahkan malas untuk sekadar benapas. Api semangatku telah hilang sirna tanpa sisa. Tak ada hal yang kuharap dan kunanti di sini. Tanpa tujuan. Lebih baik mati.

Tapi kemudian si bocah merengek lapar, lalu menangis, lalu ngadat. Dia menggoncang-goncang tubuhku, memukuli pundakku, lalu (yang ini agak keterlaluan) berjingkrak di atas punggungku. Aku sendiri sama laparnya. Makanan yang terakhir kusantap adalah bubur Mang Idoy kemarin pagi—sekarang sudah jadi tahi.

“Lo kenapa bisa sesemanget itu?” tanyaku. “Hidup emang seru buat lo? Enak banget jadi anak kecil. Bagi gue motivasi lo. Gue juga pengen hidup kayak gitu lagi.”

Si bocah manyun beberapa senti. “Jangan ngomong ngaco! Nasuh mah pengen cepet-cepet jadi dewasa! Jadi anak kecil itu gak enak! Apa-apa gak bisa sendiri! Apa-apa gak tau! Apa-apa gak bisa!”

“Gue inget pernah mikir gitu juga dulu, dan gue nyesel.”

“Ih! Buruan cariin Nasuh makan, iiiih!”

“Makan .... Makan .... Males makan.”

“Ayah emang enggak laper, apa?”

“Laper, tapi males makan.” Aku tutup kepalaku dan mengerang. “Kita hidup buat apaan, sih?”

“Buat pulang, kan?”

“Pulang. Bener. Pulang.” Aku mesti pulang dan cari perempuan bangsat yang telah menodai namaku yang sudah ternoda. Apakah itu ada gunanya? Hidupku masihlah aib bagaimanapun caranya. “Gimana caranya kita pulang?”

“Kok nanya Nasuh, sih? Ya enggak tau, lah! Naik angkot?”

“Gak ada duit.”

“Nebeng orang lewat?”

“Pake pakaian begini?”

“Jalan kaki?”

“Lo serius?”

“Emang mustahil?”

“Jauh, cit.”

“Seratus kilo?”

“Enggak juga, sih. Dua puluhan ... empat jam jalan. Tapi kudu malem-malem. Gue gak bisa keliatan orang.”

“Lah, itu bisa. Selama gak mustahil, apa-apa juga bisa, masalahnya cuma waktu.”

Untuk suatu alasan, aku merasa nostalgia. “Dari mana lo denger kata-kata begitu?”

“Hmm? Gak dari siapa-siapa. Nasuh mikir sendiri.”

Aku mengernyit, angkat bahu, lalu turun dari gubuk. Di tanah, aku menggambar peta kotaku dengan ranting. “Ini kita,” kataku, menggambar tanda X. Arah barat laut, aku menggambar pegunungan. Di kanannya, aku menggambar tanda O. “Ini rumah gue.” Dari tanda X menuju O, aku membuat dua garis panjang—satu lewat bagian bawah, satu lewat bagian atas. “Ini jalur utama.”

Nasuh merapat mendekat. “Kalo di sini ada apaan?” Telunjuk kecilnya bolak-balik dari X ke O dalam garis lurus.

“Perumahan, pesawahan, sungai, kebun orang.”

“Kita lewat sini aja, Yah.”

“Susah.”

“Kenapa, Yah? Ayah takut keliatan orang? Macem kata Ayah, kita lewatnya malem-malem aja.”

“Makin susah.”

“Kenapa?’

Kenapa, kenapa, kenapa. “Ya susah.”

Untuk suatu alasan, si bocah mengeluarkan kamus dari ransel pinknya. “Susah: rasa tidak senang (karena sukar, sulit, berat, dan sebagainya); merasa tidak aman (dalam hati); selalu gelisah dan khawatir; sedih; sukar; tidak mudah (mendapat, mencari, dan sebagainya); kekurangan; miskin—”

“Lo pengen ngomong apa anjing.”

“Susah gak berarti mustahil, Yah.”

“Susah berarti banyak kendala—”

“—yang gak mustahil dilewatin.”

Aku menghela napas. “Okeh. Kendala pertama—”

“—makanan!

***

Setelah memastikan kondisi, aku mulai mencabuti akar-akar padi. Ada banyak cacing di sana, yang mana kumasukkan ke dalam batok kelapa yang diisi air. Awalnya si bocah girang betul, berpikir aku hendak memancing; tapi cacing terus bertambah hingga lebih dari sepiring, dan dia pun kelihatan mual pula.

“Yah?”

“Gue bukan bapak lo, tapi apaan?”

“Itu mau diapain.”

Aku menatapi hasil tangkapanku dengan pandangan muak. “Orang makan buat apa?”

“Buat ... hidup?”

“Gak. Kebanyakan orang modern makan buat nyari kenikmatan, buat ngusir penderitaan, buat bunuh kesadaran. Beberapa emang makan buat hidup. Gue enggak pengen hidup. Gue makan sebab ada hal yang mesti gue beresin.”

Mendadak saja aku jadi benci dunia. Orang bingung soal urusan kerja, soal urusan cinta, soal urusan tak berguna: pakaian bagus, HP baru, motor keren, mobil mewah, rumah, perhiasan, lain-lain. Aku pikir amatlah kejam bagi manusia di zamanku untuk masih memikirkan soal makan—dan bukan sekadar perkara tak bisa makan enak pula, tapi perkara tak bisa makan sama sekali.

Aku kembali menengok cacing-cacingku. Sudah mati sekarang, tahinya keluar dari perut dan mengendap. Kuambil segenggam, kumasukkan ke mulut, lalu kutelan.

Si bocah menatapku dengan mata yang bulat, lebar, dan belotot. Mulutnya melongo, wajahnya pucat, napas terhenti. Dia membuka tanganku dengan paksa, lalu mulutku, kali pikir diriku sedang tipu-tipu.

“Dimakan!” katanya histeris, rambut dijambak macam orang yang habis melihat hukum alam dilanggar.

“Kaya protein,” kataku, coba menahan muntah. “Apalagi kalo dimentah. Gizinya gak rusak.”

“Cacing, loh!”

“Bedanya sama ayam?”

“Beda, lah!”

“Apanya?”

“Ayam gede!”

“Ukuran doang? Terus gimana semisal ayamnya dipotong-potong sampe kecil? Jijik juga? Enggak, kan?”

“Cacing kotor! Di tanah!”

“Ayam makan di tanah juga, gak pake piring-garpu-sendok.”

“Cacing serangga!”

“Eng … secara awam emang bisa dibilang serangga, tapi kalo gitu, lobster sama udang sama kepiting juga serangga.”

“Itu ... uh itu ....” Si bocah petakilan, tahu ada hal yang salah, tapi tak bisa menjelaskan. “Rasa?”

Aku terdiam untuk yang satu itu. “Jangan dipikirin. Kita makan bukan buat rasa.”

“Rasaaaaaaaaa!”

“Lo cobain dulu satu.”

“Ditawarin dooooooong!”

Di luar dugaan, terlepas dari rengekan protesnya, si bocah menuruti perintahku. Dia mengambil satu cacing dan memasukkannya ke mulut. Sayang dia tak segila aku. Begitu tubuh si cacing menyentuh lidah, dia muntah, lalu menangis.

“Jijiiiiiiik,” dia merengek. “Rasanya ... rasanya ... rasanya kek kenyal-kenyal kasap-kasap licin-licin uek-uek ....”

Aku menghela napas, meraup sisa cacing, lalu menjejalkannya ke mulut. Sekalian, kupungut juga satu yang si bocah muntahkan. Sayang-sayang. “Lo gimana kalo semisal disuruh tinggal di planet lain.”

“Huh?”

“Di novel SF, manusia coba pindah ke planet lain, dan mereka masih bisa makan. Lah ini, kita masih di bumi, bagian khatulistiwa pula. Sumber daya organik ada banyak.” Aku mencabut bekicot yang merayap di batu. “Ini misal.”

EEEEEWWW!

“Jangan jijik! Ini organik. Dia dibuat pake komposisi bahan yang juga ngebuat kita. Kaya lemak, protein, mineral. Kita makan dia, kita idup.”

Uek! Gak mau, gak mau, gak mau! Nasuh pengen makanan yang tulen! Bukan yang jadi-jadian!”

Untuk suatu alasan, aku merasa panas di wajahku. Aku marah. “Gak ada yang nyuruh lo ikutin gue,” kataku sambil menginjak kaki si bocah hingga terjungkir. “Kalo mau minggat ya tinggal. Sana cari om-om yang bisa kasi lo makan enak.”

Si bocah mati-matian menahan tangis walau bibirnya sudah gemetar dan matanya berkaca-kaca. Dia merayap ke arahku, lalu memelukku. Kenapa aku berbuat begitu? Sebenarnya, jika dipikir-pikir sekarang, aku lebih ke minder ketimbang jengkel. Sesampah-sampahnya diriku, aku masih punya naluri paternal untuk merawat yang lebih muda dariku. Kegagalan dalam memenuhi hal ini membuatku malu, dan malu memuatku merasa terhina.

Aku tak sudi mengemis atau mengamen (yang mana merupakan bentuk mengemis yang dicampuri ancaman). Aku tak mau mencuri. Aku tak ingin mencari uang. Aku muak dengan uang—juga dengan perempuan. Mengapa aku dilahirkan dengan kebutuhan akan keduanya? Ini sungguh tak bisa diterima. Jika mereka tak butuh aku, maka aku tak butuh mereka juga. Itu baru adil.

Kutaruh bekicotku di punggung si bocah. “Cengeng abis,” kataku, yang mana membuat dia kian merapatkan mulutnya. “Diem di sini.”

Si bocah mendongak cepat. “Ayah mau ke mana? Nasuh jangan ditinggalin! Gak mau! Gak mau ditinggalin lagi! Jangan kayak Bu Nurul!” cetusnya nyaring, lalu melanjutkan dengan lebih lemah, “Jangan kayak Mamah ....”

Aku merasa tak tega, tapi tak sudi dimanipulasi juga. Kudorong wajah bocah kencit itu jauh-jauh.

“Gak mau! Gak mau! Jangan tinggalin! Jangan tinggalin! Gak mau lagi! Gak mau sendirian lagi!”

Aku menghela dan berjongkok. “Denger, cit. Kalo ngebacot coba pakai logika dikit. Di dunia ini, gak ada satu pun tempat buat gue, jadi gue mau ninggalin lo ke mana pula? Lo pinter, jadi mikir.”

Si bocah manyun, naik ke atas batu, lalu mulai menyanyi.

 

Di mana kamu di mana

di sini bukan

ke mana kamu ke mana

ke sini bukan

 

Katanya pergi sebentar

ternyata lama

tahukah aku sendiri

menunggu kamu

 

Jujur saja dia membuatku terbengong untuk beberapa detik. Kalau aku tak salah, itu lagu band Vierra yang sempat populer di tahun 2010-an. Heran kenapa bocah sebesar ini tahu lagu macam itu. Lebih heran lagi kenapa suaranya begitu lembut dan manis, cukup untuk membuat bulu kudukku merinding.

 

Jangan janji-janji terus

aku tak mau kau bohong

temani aku ‘tuk sebentar saja

agar aku tak kesepian

 

Jangan pergi-pergi lagi

aku tak mau sendiri

temani aku ‘tuk sebentar saja

agar aku tak kesepian

 

Melihat reaksiku yang terpukau, si bocah berkecak pinggang dan tersenyum bangga. Dadanya dia busungkan tinggi-tinggi, dagu naik dengan berlebihan sehingga lebih mirip orang yang keramas alih-alih menyombong.

“Lo belajar nyanyi dari siapa?” tanyaku waswas.

“Temen.”

“Siapa?”

“Papah gak bakalan kenal.”

“Terus itu lagu tau dari mana?”

“Temen.”

“Temen yang tadi atau beda lagi?”

“Masih yang tadi.”

Aku mengernyit curiga. Kusingkap rambut si bocah dari wajahnya dan kutengok baik-baik tiap sudutnya, mulai dari alis tebal, mata besar, hidung mungil, pipi tembam, dahi tinggi, telinga lebar, dan kulit cokelat. “Hmm. Mirip gak mirip,” putusku.

“Mirip siapa?”

“Safa.”

“Safa siapa?”

“Mantan gue.”

“Yang mana?”

“Lo ngomong kek mantan gue ada belasan.” Aku mengeluarkan foto kelulusanku dari ransel si bocah dan menunjuk satu anak perempuan yang terculun. “Ini.”

Lihat selengkapnya