Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #5

12 Tahun Lalu, Juli 2011

Memasuki tahun kedua masa SMP-ku. Tak banyak hal yang berubah. HP Cina masih menguasai pasaran anak muda, kegiatan mesum masih dilangsungkan di bilik warnet, bokep 3GP masih diakses bebas tanpa memerlukan VPN.

Hari itu adalah awal semester baru .... Ralat. Hari itu adalah hari libur. Kalenderku masih berwarna merah serupa darah. Sekolah efektif mulai minggu depan. Adapun alasanku datang ke sekolah adalah karena motif yang tidak mulia dalam rangka pelestarian budaya lokal yang nista. Iya, betul, apalagi kalau bukan perpeloncoan. (Beberapa orang memanggilnya MOPD, MOS, ospek, dsb., dsj., dst., tapi tak mengubah fakta kalau pada dasarnya itu adalah aksi pembulian yang dilegalkan—walau untuk ketepatan fakta, kata bully belum ngetren sampai aku kelas tiga.)

Jujur, aku sedang amat bersemangat. Ketika baru masuk sekolah, aku dipermalukan habis-habisan oleh seniorku. Disuruh pakai topi karton, lah; tas kardus, lah; tali sepatu rafia, lah; dan banyak lagi kekejaman lainnya. Sebagai perwakilan dari ekskul pramuka, aku punya suara dalam menentukan kezaliman apa yang mesti dilimpahkan pada anak-anak baru. Mengejutkannya, banyak ideku yang diadopsi—salah satunya adalah ransel tong sampah dan topi pot. Kau tak akan paham bagaimana rasa puasku waktu itu.

Aneh, memang. Mungkin sebagai imbalan atas ide-ide psikopatku, pihak pengurus OSIS memberiku satu kelas untuk dibimbing saat ospek. Aku menerima posisi terhormat itu dengan penuh syukur. Pada malam harinya, aku sampai tak bisa tidur saking tak sabarnya buat menginjak-injak harga diri adik-adikku yang imut itu.

Aku membimbing kelas 7F. Aku satu kelompok dengan dua orang lain, salah satunya adalah Bang Ramdan. Kalau kalian lupa, dia adalah gebetan Nanda yang kini sudah naik ke kelas tiga. Satu orang lagi adalah Ilma, anak ekskul sastra yang baru-baru ini dibuat.

Mungkin sebab itulah di pagi hari sebelum apel ospek, Nanda mendatangiku walau kini (kemungkinan besar) kami tak satu kelas lagi. “Qabil,” panggilnya.

“Apa, Iklima?”

“Kamu jangan ngomong yang aneh-aneh ke Kak Ramdan, awas aja.”

“Aneh kek ... gimana? Kayak ... ngomong pake bahasa tekotek preketek, gitu?”

Nanda menyentak dasiku dengan sepenuh hati.

Ketika itulah orang yang dibicarakan muncul. Bang Ramdan adalah pria kecil. Tak sekecil Nanda, memang, tapi tak setinggi diriku juga. Kurang macho, berkulit putih, wajah tampan, sikap supel walau agak comel. Dibanding denganku, yang tiap minggu berjemur diri di bawah gelora sang mentari, rupa Bang Ramdan tampak lebih manusiawi.

“Ngapain kalian?” tanyanya bercanda. “Pagi-pagi udah mesra aja.”

“Tau, nih, Bang. ‘Ni cewek kek suka banget gitu colek-colekan. Orang gue udah punya pacar juga.”

“Lo masih sama Safa?”

“Masih,” kataku dengan nada ceria walau hati agak berduka.

“Awet banget.”

“Kali gue kelewat setia.” Aslinya, aku kelewat pecundang.

“Setia kok mesra-mesraan sama cewek lain?” Bang Ramdan mengulang, tapi usai tahu status asliku, nadanya jadi serius.

Menyadari kecurigaan Bang Ramdan, mau tak mau aku mempertanyakan kesehatan mata dan kewarasan pikirannya. Mengapa pula bentuk penganiayaan ini dia sebut mesra? Masokhiskah ini manusia?

Demi melindungi integritas Nanda, aku pun menyahut, “Abang salah paham. Nanda udah punya gebetan.”

“Huh?” kata Bang Ramdan.

“Huh?” kata Nanda.

“Anak kelas tiga. Dia gak demen sebayaan, katanya kayak bocah. Apalagi gue.”

“Serius, Nda?”

Ditanyai begitu, Nanda cuma bisa memekik dan merona. Lidahnya langsung kacau, padahal biasanya dia pakarnya dalam berkicau. Dia memelototiku. Lewat matanya, si gadis seolah berkata, Qabil dasar lo cowok cabul yang birahi sama sodara kembar sendiri! Emang dosa lo yang bunuh adek sendiri itu gak cukup, ya?

“Kok lo bisa tau, sih, Hab?” Bang Ramdan mengernyit.

“Dia sering ngomong.”

Dijelaskan, Bang Ramdan malah makin heran. “Kok bisa dia bocorin hal pribadi ke lo?”

“Kita temen sekelas.”

“Yakin gitu doang?”

Kini giliranku yang terheran-heran. Aku jadi ikut takut Bang Ramdan berpikir kalau aku dan Nanda ada apa-apa. Maksudku ... aku tak masalah, tapi bagaimana dengan Nanda? Padahal Bang Ramdan-lah orang yang digebet Nanda, padahal Bang Ramdan-lah alasan kami bicara, padahal Bang Ramdan-lah yang buat Nanda merona.

Aku merasa harus meluruskan sesuatu.

“Bang, yang Nanda taksir itu sebenernya—”

Nanda menjerit dan memasukkan sepotong penghapus seukuran tiga jari ke mulutku; aku tersedak dan meludahkan sepotong penghapus seukuran tiga jari ke wajah Bang Ramdan. Tak ada yang tahu dari mana asal musasal sepotong penghapus seukuran tiga jari itu muncul. Yang jelas, gara-gara insiden itu, aku dan Nanda dinobatkan sebagai “Abang/Mbak Paling Gokil” oleh anak-anak baru di hari terakhir ospek.

***

Nanda menangis. Mungkin saking malunya, dia menangis, lalu kabur. Aku tak mengejarnya berhubung ini bukan cerita cinta di novel romansa. Bakal canggung luar biasa andai aku betulan melakukannya. Gara-gara insinden ini, hubungan kami pun merenggang. Kami sudah tak satu kelas, jarang bertemu—andai bertemu pun, kami saling buang muka dan pura-pura tak kenal.

Aku menghampiri Bang Ramdan yang mencuci wajah di wastafel. Aku minta maaf. Dia menyiramku dan menendangku dan mengumpatku—tapi sudah, cuma itu. Aku pikir inilah enaknya jadi laki-laki. Kami praktis. Andai kami punya kejengkelan terhadap seseorang, kami menuntaskannya. Tak ada drama berkelanjutan. Nanda beda lagi. Aku merasa berdosa padanya. Gara-gara kecelakaan konyol, dia mulai malu untuk bertemu Bang Ramdan.

Ketika memasuki ke kelas bimbinganku, aku jadi selebriti. Aku ditunjuk-tunjuk dan dibisiki, namaku disebut-sebut bahkan sebelum aku memperkenalkan diri. Ada seorang anak lulusan SD-ku yang sekaligus adalah keponakanku di kelas itu (lebih tepatnya, dia adalah putri sepupuku dari pihak ibu). Dia menyebar aib keluarga dan membuatku dikenal sebagai Bujang Mahiwal, yang mana merupakan fitnah keji tiada terkira.

Saat itu, aku pikir musnah sudah semua wibawa senior misterius yang aku punya. Para bocah tak akan lagi menghormatiku. Alih-alih menunaikan tugas muliaku sebagai pembuli, malah diriku yang kini dibuli.

Pulang ke rumah, semangatku surut hilang musnah. Tak tersisa lagi antusiasme yang kurasa di pagi hari. Mengingat ospek yang masih sisa enam hari membuatku sedikit mual.

Ponselku berdering. Ada SMS masuk. Dari Safa. Dia bertanya perkara insiden penghapus seukuran tiga jari. Aku menyahut sekenanya, lalu bertanya soal Nanda. Seperti yang kuduga, gadis itu masih ngambek bahkan sampai sekarang.

Kembali ponselku berdering. SMS. Kali ini dari Bobi.

—Cok, denger-denger lo ikut ospek, ya?

Jujur saja bulu kudukku sedikit merinding ketika itu. Aku tak mau percaya, tapi mungkinkah kabar tentang aibku sudah sampai di telinga murid bajingan ini? Gawat bukan main andai benar begitu. Bisa ludes diledek aku.

—Kenapa emang?

Untunglah kecurigaanku keliru. Begini balasan Bobi: —Ade cewe gue ikut ospek juga. Ini bocah tukang buat onar. Bisa gue titip dia ke lo kalo-kalo ‘ni anak ketiban masalah?

Sebab tak punya alasan untuk menolak, aku mengiyakan saja permintaannya.

—Kelas apa ade lo?

—Gak tau. Bisa lo cari sendirilah. Sama ... jangan bilang-bilang kalo gue titipin dia ke lo.

—Gak bisa jamin.

—Kenapa, anjing?

—Takut terjadi fitnah.

Maksudku ... andai aku mengawasi siswi kelas satu tanpa bilang niat asliku, apa yang bakal dikatakan dunia?

Aku mengirim pesan pada Safa, memintanya agar membantuku melacak si bocah (sekalian menghindari kecurigaan aku selingkuh). Esok paginya, Safa mempertemukanku dengan salah satu teman OSIS-nya, Ica. Kami mengobrol sebentar sebelum apel pagi dimulai.

“Itu anak adeknya Bobi?” Ica melotot. Sedetik berlalu, si gadis mangut-mangut. “Pantes ....”

“Pantes apanya?” tanya Safa.

“Pantes gitu.”

“Gitu apanya?” tanyaku.

Ica rupanya agak autis dan susah sekali diajak berkomunikasi, sebab alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah balik bertanya, “Kamu disuruh Bobi buat jagain dia?”

Aku angkat bahu. “Lebih ke awasin, keknya, kalo-kalo dia buat onar.”

“Telat.”

“Hah?”

“Udah telat.” Ica menoleh pada Safa. “Saf, dia ini anak yang itu.”

Awalnya Safa terteleng, mata berkedip pelan. Beberapa saat berlalu, dan si gadis terkesiap. “Oh.”

Macamnya cuma aku saja yang tak paham mana kepala dan mana ekor dari obrolan ini. “Kenapa? Emang dia gimana?”

Ica, seperti Ica pada umumnya, menjawab dengan bertele dan berbelit. “Aneh banget kamu belum tau. Semua anak OSIS udah tau padahal. Ini kasus heboh banget. Kamu kuper apa gimana?” (Si jalang tidak memikirkan kalau aku bukan anak OSIS.) “Dia nonjok.”

“Gi ... mana?”

Ica memperagakan gerakan menonjok dengan menempelkan tinju kecilnya ke hidungku.

Kutepis tangannya. Lebih tepatnya, kubenturkan tulang lenganku dengan tulang lengannya hingga terdengar suara duk. Si gadis mengaduh, tapi aku tak peduli. “Maksud gue, siapa yang dia tonjok, anj—”

Safa mencubit pinggangku. Aku insaf.

“Maksud aku, siapa yang dia tonjok, Ica?”

“Mbak Wendi,” sahut Ica, matanya berkaca-kaca. “Kakak pembimbing dia.”

***

Ketika istirahat tiba, aku pergi ke kelas 7H untuk menengok adik Bobi. Ingat, menengok. Tak ada niatan sedikit pun buatku untuk menemui bocah merepotkan macam itu. Aku tak ingin kecipratan masalah. Rencanaku adalah mengintip lewat jendela, memastikan orangnya masih hidup, lalu cabut.

Sayangnya, ketika aku sampai, aku tak mendapati bocah yang dideskripsikan Ica. Kuduga dia pergi ke kantin, jadi kusambangi dua yang buka saat itu. Tak ada. Aku pergi ke gerbang, kira dia jajan di luar. Tak ada. Sisa toilet, tapi terang saja aku tak mau dikejar massa sebab dituduh tukang intip.

Menghela napas, aku duduk sendirian di belakang perpustakaan. Kebanyakan aktivitas berlangsung di kompleks bawah, jadi tempat ini sepi bukan main. Temanku hanyalah segerombolan kalkun dan angsa di kandang mereka, kedua spesies saling sorak dengan berisiknya.

Bob, ketikku di ponsel, ade lo diculik.

Bobi membalas dengan segera: Ganti rugi.

Kenapa mesti aku yang harus tanggung jawab, memang sulit dipahami. Toh bukan berarti aku pernah pegang-pegang itu anak. Melihatnya pun aku belum pernah. Tapi .... Tapi berhubung dia adik temanku, kupikir aku mesti sedikit berusaha lagi. Sebab walau begitu-begitu, Bobi pun akan melakukan hal yang sama jika posisinya dibalik.

“Jadi, ke mana ‘tu anak kabur?” tanyaku.

“Dia adenya Bobi. Kelakuannya gak bakal jauh dari Bobi,” jawabku.

Aku pergi ke ujung barat kompleks bawah, dekat kolam kura-kura. Semenjak rute minggat lama dibenteng (belakang kantin dekat kelas 7G itu), siswa badung mulai berdatangan ke sini. Aku memanjat benteng di samping kelas—atau tanggul, berhubung elevasi tanah di luar lebih tinggi. Bukan hal sulit. Sudah disediakan kursi butut sebagai pijakan di sana. Sejumlah anak kelas satu menunjukku dan memanggilku Bujang Mahiwal. Aku mengabaikannya untuk kali ini. Kesempatan balas dendam masih banyak.

Aku tiba di sebuah lahan rimba. Dulunya ini kebun singkong, tapi tanahnya sudah dibeli pihak sekolah sehingga tak lagi dirawat. Aku melutut dan mulai mencari jejak.

Sedari dulu, aku punya wawasan luas soal hal-hal aneh, hal-hal yang tak bakal membantuku dalam ujian maupun kehidupan. Ketika SD, wawasan itu biasanya berupa sains murni: spektrum cahaya, rambat suara, asal-usul semesta. Ketika dewasa, wawasan itu makin aneh: cara bunuh diri yang tidak sakit, alasan kantong pelir mengerut, kenapa laki-laki punya pentil. Pak Nurdin bilang bahwa penulis dituntut untuk tahu sedikit tentang banyak hal, tapi aku sudah begitu bahkan sebelum mulai menulis.

Melacak jejak itu aslinya tak ada hubungannya dengan jejak kaki. Oke, jejak kaki mungkin berguna, tapi realita tak sesimpel itu. Alih-alih, jejak yang kumasuk lebih subtil. Misalnya, embun. Rumput di pagi hari biasanya menghasilkan embun. Bila ada orang lewat, embun jatuh. Hal lainnya adalah kerikil yang terusik, sarang laba-laba yang putus, atau daun yang layu.

Dengan telaten, aku bergerak meter demi meter sambil memindai lingkungan sekitar. Kalau boleh jujur, aku sedikit menikmatinya. Rasanya seperti menjadi karakter utama dalam cerita petualangan.

Jejak yang kususuri membawaku ke tempat yang sama sekali tak asing. Ketika kelas satu, aku beberapa kali kemari, menemani Bobi bila dia membuat gara-gara dengan anak preman lain. Bukan kenangan indah, jatuh ke kenangan buruk, malah—membekas begitu dalam serupa trauma. Gak ade, gak abang.

Aku tiba di kuburan belakang sekolah.

***

Kuburan belakang sekolah. Aku pernah menyebutnya sekilas di bagian sebelumnya. Jika kau memperhatikan dengan baik (yang mana kucurigai tidak), kau harusnya ingat. Setiap sekolah setidaknya punya satu tempat macam itu. Tempat yang ditakuti setiap anak laki-laki culun yang menggodai pacar preman secara tidak sengaja.

Seperti namanya, tempat itu ada di belakang sekolah, di sebuah bukit kecil yang begitu kecil hingga tak layak disebut bukit sekali pun beradjektiva kecil. Konon kuburan di sini tua-tua dan tak bernama, angker pula. Ibuku kerap bermain di sini ketika kecil. Katanya, pernah sekali ketika musim hujan, satu sisi bukit terbawa longsor, menyingkap gua tersembunyi dengan seekor jenglot seukuran anak bayi di dalamnya.

Saat itu, aku masih punya masa depan, masih punya harapan. Manusia macam itu biasanya banyak takutnya. Mereka terlalu sayang hidup. (Sesuatu yang tak terpikirkan oleh Habil Seperempat Baya, yang benci hidup dan ingin segala sesuatunya segera selesai saja.)

Aku menghindari jalanan dan memilih untuk memanjat bukit lewat belakang. Aku mendengar suara sebelum aku melihat orang. Sebuah isakan. Bulu kudukku merinding. Kusingkap pelan semak di hadapanku. Ada seorang gadis—atau bocah, lebih tepatnya, berhubung dia masih mengenakan seragam putih-merah. Dia duduk di atas kuburan orang, tangan memeluk kaki sementara wajah terkubur di lutut.

Aku langsung tahu kalau itu adik Bobi. Warna kulit mereka sama. Bukan karena panas-panasan, kukira. Kulitku hitam sebab panas-panasan, jadi aku tahu. Dia beda. Bisa dibilang, hitam miliknya adalah hitam yang manis—mulus, bersih, kemerahan, cerah.

Sejenak, aku bingung dengan langkahku yang berikutnya. Andai saja bocah itu memutuskan untuk lanjut minggat dan pulang, maka dengan hati damai aku akan membiarkannya. Tapi sepuluh menit aku menunggu, dan dia belum bergerak dari tempatnya. Jam istirahat sudah selesai. Sejumlah SMS dari Bang Ramdan masuk ke ponselku.

Kuputuskan untuk menakuti si bocah dengan melemparinya kerikil. Kecil saja, pelan juga, tapi ini kuburan. Si bocah terperanjat, terbeliak, menoleh ke sekeliling.

Jujur, aku sedikit terpesona. Butuh beberapa tahun lagi sebelum seleraku terhadap tipe dede-dede berkembang, tapi aku tak pernah mengira dia bakal semanis itu. Maksudku ... kupikir wajahnya tak bakal jauh beda dengan Bobi—hanya dengan rambut yang lebih panjang, bulu mata lebih lentik, serta wujud yang lebih mini.

Kenyataannya, si bocah beda jauh dengan Bobi. Nyaris tak bisa dibilang saudaraan. Hidung kecil, mulut mungil, pipi chubby, kening tinggi. Yang paling mencolok adalah matanya. Bulat besar. Dengan iris lebar yang gelap serupa malam sendiri. Aku tak pernah bertemu orang dengan mata seindah itu di seumur hidupku. (Kecuali Sofia, mungkin.)

Kau pikir dia anak yang manis? Koreksi lagi opinimu. Menurut lagu Soleram, anak manis ketika dicium pipinya memerah. Kalau adik Bobi ketika dicium malah marah. Dia tukang marah-marah. Macam abangnya. Macam sekarang.

Alih-alih takut, minggat, dan memanggil ibunya, si bocah malah mencabut batu nisan salah satu kuburan dan mengangkatnya ke atas kepala.

Jujur, aku agak terbengong juga. Batu nisan yang dia cabut berasal dari kuburan lama, kuburan tak bernama. “Batu nisan”-nya sendiri sebenarnya cuma batu biasa, sekadar penanda mana kaki mana kepala. Tapi tetap saja. Itu masih batu nisan, wahai kau anak celaka. Dan ukurannya tidak kecil pula.

Apa anjing!” sergah si bocah, air mata dan ingus mengalir deras. Kudapati wajah polos dan chubby-nya tak lagi manis melainkan bengis. “Gak manusia gak setan gangguin gue anjing! Sini gue mampusin anjing! Makan ‘ni batu nisan lo anjing!

Si bocah ambil ancang-ancang. Andai aku sampai ketiban itu batu nisan, paten sudah aku bakal menyusul pemiliknya ke kuburan.

Buru-buru aku keluar. “Bit! Bit! Bit! Bentar. Gue—”

Aku sempat berpikir si bocah bakal meragu. Salah diriku. Lupa kalau ini adiknya si Wahyu.

Batu dilempar. Aku menghindar. Telat. Keningku tergores. Belum sempat aku mengaduh, si bocah SD datang menerkam. Pemandangan yang absurd. Melihat seorang gadis kecil berok merah melompat setinggi itu.

Dia mendarat di perutku dengan bokong kecilnya. Aku jatuh. Terkapar. Napas hilang dan lambung mual.

“Setan bangsat!” serunya, lalu mencakariku.

“Bukan setan! Bukan setan! Bukan setan!” Aku menutupi kepalaku dari serangan. Untuk beberapa detik aku kewalahan, tapi kemudian dia berhenti. Merasa sedikit aman, aku mengintip melewati lenganku.

“Bukan setan?”

“Iya.”

“Manusia?”

“Iya.”

“Manusia cabul!”

“.... Gak.” Untuk suatu alasan, dia mengingatkanku pada Nanda.

Si bocah mengernyit, kepala terteleng-teleng, mata besar menatapiku. Dengan kasar dia menepis kedua tanganku dari wajah. “Oh!” serunya. “Bujang Mahiwal!”

Gak .... Iya si .... Tapi ....” Alah. Terselah, lah. Yang penting sekarang dia mengenaliku. Aku menghela napas. Lega. Si bocah mencubit hidungku. “Nga-ngapain!”

“Lo yang lemparin gue, kan?”

“....” Tuhan. Macamnya aku berurusan dengan calon psikopat. “Gue bisa jelasin.”

“Mau perkosa gue lo, ya?”

Astaga .... Ngeri amat khayalannya. Mana ada aku terangsang dengan pantat sekepal dan dada tepos begitu. Lagian aku ragu dia sudah datang bulan.

“Siapa yang suruh lo? Si jalang itu ya?” Si bocah tampak makin marah—kalau memang itu masih bisa. Dengan tangan kecilnya dia mulai mencekikku. “Gue mampusin lo—”

Perlu diketahui, segarang apa pun si bocah, dia masilah wanita. Fisiknya dibuat berbeda dengan laki-laki. Aku sadar ini, jadi aku menahan diriku sedari tadi.

Ketika si bocah mencekikku, aku kaget. Tanganku bergerak spontan, tinju menghujam tepat ke ginjalnya. Semuanya aku lakukan dalam kepanikan, jadi tak bisa ditahan.

***

Ibuku sayang, jangan kaget, tapi putra yang kau banggakan sudah jadi kriminal sekarang.

Aku tak punya pilihan. Pukulanku terlalu telak dan tubuh adik Bobi terlalu rapuh. Si bocah kehilangan kekuatan dan napasnya. Tergeletak di tanah, apa yang mampu dia lakukan hanyalah mengerang kecil dan engos-engosan. “Mamah ... Mamah ... tolong .... aku mau diperkosa .... AW!

Kutendang bokongnya keras-keras. Aku tahu. Ini masuknya pelecahan seksual juga. Lagi pula, kemungkinan besar bapak si bocah sendiri belum pernah menghajar bokongnya macam ini. Apa yang kulakukan adalah tindakan tak senonoh. Aku pantas dipenjara karena ini.

Sayangnya, aku lemah ketika berurusan dengan psikopat. Dia buat kesabaranku habis—keahlian yang juga dimiliki abangnya. Mumpung masih kecil, kupikir aku harus menyepak pantatnya setidaknya sekali saja.

“Awas aja ya!” sumpah si bocah. “Mampus lo abis ini! Gue lem korea biji lo ke aspal tau rasa lo! Bos lo si jalang juga!”

Mengabaikan fakta bahwa tulisan di “lem korea” adalah katakana alih-alih hangeul, aku menyahut, “Gue gak disuruh ... sama ‘si jalang’ ini.”

Adik Bobi menatapku, mata basah berkedip pelan. “Inisiatif sendiri?”

Gak! Duh.” Frustasi, aku mengeluarkan ponselku dan menampilkan pesan dari Bobi.

Wajah si bocah berubah lega. Atau ... kurang tepat. Memang ada kelegaan di sana, tapi ada marah juga. Tuduhan? Seolah dia sedang menyalahkan sesuatu padaku.

“Lo kacung abang gue.”

Temen,” ralatku, walau aku mulai ragu juga. “Temen sebangku. Dia titipin lo ke gue kalo ada apa-apa.”

Dan tahu apa reaksi si bocah? Dia murka. “Lo kalo disuruh jagain gue yang bener dong kerjanya!”

Dasar bocil psikopat, memang. Merasa gemas, kucubit kedua pipi tambunnya hingga memerah. “Lo ... lo kalo bukan ade temen udah gue banting juga.”

“Bang! Bang! Sakit, Bang! Ampun!”

Hatiku sedikit melunak sebab akhirnya dia memanggilku dengan sebutan yang pantas. Kulepaskan dia dan kuseka wajah beceknya dengan dasiku. “Perut lo masih sakit?”

“Sakit, Bang ....”

“....”

“Kalo semisal gue gak bisa hamil, gimana, Bang?”

“Gak segitunya juga, bangsat.” Walaupun berkata begitu, aku aslinya sedikit khawatir. Malu juga. Kenapa aku memukul anak perempuan di pertemuan pertama kami? Hmm. Bukan sepenuhnya salahku. Situasinya kurang wajar dan pemerannya kurang ajar.

Ponselku bergetar. Ada SMS masuk.

“Abang gue?” tanya si bocah penuh harap.

“Anak OSIS,” sahutku masam. “Mereka nyariin kita.”

“Oh.” Mendadak si bocah jadi murung. “Gue bakal diaduin ke bonyok?”

Aku menoleh. Untuk pertama kalinya, aku melihat ekspresi takut di wajah polos itu. “Gak bakal. Ngerepotin.”

“Huh?”

Kasus pemalakan itu nyaris ada di setiap sekolah, tapi pikir, berapa banyak korban yang mengadukan hal itu pada guru atau orang tua mereka? Setahuku tak ada. Kami anak-anak cenderung enggan membawa orang dewasa ke kehidupan sekolah kami.

Hal yang sama berlaku untuk situasi sekarang. Andai si bocah cuma membolos, mungkin masih mending; tapi minggat di acara ospek dan kelayapan tak jelas arah? Anak OSIS juga bakal sedikit waswas, takut disalahkan terlalu keras dalam “aksi balas dendam” mereka. Apalagi kalau sampai terjadi apa-apa pada adik Bobi. Jadi skandal, tuh.

Oleh sebab itu, aku pun coba bernegosiasi dengan Bang Ramdan. Kujelaskan situasiku padanya—tak semuanya, tapi cukup yang penting saja. Aku bilang kalau aku sedang menemani “si biang kerok”, mengawasinya supaya tak berbuat aneh-aneh. Bang Ramdan cerdas, sebab dia langsung paham dan bilang agar aku membawanya ke sekolah kalau bisa.

Sayang, kemungkinan besar aku tak bisa.

“Lo udah mendingan?” tanyaku. “Kita disuruh balik.”

“Ogah,” sahut si bocah ketus.

“Kasian anak OSIS. Mereka bakal kena semprot kalo ada masalah sama ospek.” Tololnya diriku. Coba main empati dengan psikopat.

Terbukti, adik Bobi malah tertawa. “Rasain! Mampus!”

“Lo kena denda kalo bolos.”

“Uh.”

“Cepek sehari.”

“Uuuuuh.”

“....”

“... Bang? Duit jajan suka dikasi berapa?”

Aku pijat keningku. Puyeng, aduh. “Gini aja. Gue bakal ngomong sama mereka. Lo balik ke sekolah. Gak perlu ikut ospek. Diem aja di UKS. Asal tetep di sekolah sampe acara bubar. Gimana?” Itu satu-satunya jalan tengah. Kupikir pihak OSIS juga tak akan peduli asal mereka tak kecipratan masalah.

“Dengan satu syarat!” jerit si bocah dengan tak tahu malunya.

“Apalagi, Manis?”

Huh? Oh. Ma-makasih.”

“Sarkatiiis! Gue lagi saaarKAtis!”

“Sarkatis teh apa, Bang?”

“Lupain.”

“Tapi Bang—”

“Entar gue ajarin! Sekarang bilang! Mau lo apa!”

“Gendong.”

“Tau malu dooong!”

“Ya gue juga malu, Bang.”

“Terooos?”

“Bang. Jangan ngalay. Jijik.”

“....” Kucubit kembali pipi si bocah. “Terus?”

“Perut gue sakit Bang. Kan Abang yang jotos.”

“Lo duluan yang cari ribut.”

“Tapi sakit mah sakit, Bang.”

“Udah lewat lama juga.”

“Gue cewek rapuh, Bang.”

“Cewek rapuh mana bisa nyabut nisan orang.”

“Aduh, duh, duh! Perut gue ...!”

“Gak ada hubungan sama kaki.”

“Abang gak kasian apa? Psikopat.”

Lo yang psikopat, bangsat. “Lo udah SMP sekarang. Bukan anak SD lagi. Udah jadi cewek. Malu dikit. Minta gendong? Sama orang yang baru ketemu? Gue siapa coba?” Mesti diakui aku sedikit kaget. Kupikir psikopat itu orang yang tak punya empati. Rupanya mereka tak punya urat malu juga.

“Bang, ngemeng terus kek cewek,” celetuk si bocah. “Jadi ke sekolah lagi, gak?”

“Oke. Sini. Naik.” Habis kesabaran, aku pun membiarkan anak SD itu memanjat punggungku. “Lo dengerin gue.”

“Apaan, Cok?”

“Nanti. Beberapa taon lagi. Seudah lo dewasa. Seudah lo kenal sama malu. Gue jamin. Ini kenangan bakal jadi mimpi terburuk buat lo.”

***

Aku pun mengantar si bocah sampai ke UKS. Letaknya ada di depan perpustakaan. Dulunya adalah ruang TIK, tapi kini direnovasi dan dialihfungsikan. Banyak infrastruktur yang dibangun di tahun ini. Akan lebih banyak lagi di tahun berikutnya. Eraku adalah era perubahan, jadi banyak sekali hal yang menjadi kenangan.

“Lo molor di sini,” kataku, tak mampu menggunakan kata-kata sopan sebab luapan emosi. Begitu si bocah membaringkan diri di ranjang pasien, aku menyelubungnya dengan selimut. “Pengen minum? Ada air anget.”

“Ada susu, Bang?”

“Si anjing ....”

“Sama gorengan, sekalian.”

“....” Aku diam sejenak, lalu angkat tangan dan pergi. “Okeh. Bentar.”

Lima menit kemudian, aku kembali. Si bocah tampak kegirangan betul. Orang tak bakal pernah sangka kalau sebelum ini dia habis menangis sedirian di kuburan.

“Abang, kok, baik banget, si?” katanya sambil nyengir. “Ih! Suka! Suka!”

“Lo ... gue gak tau masalah lo sama ... Mbak Wendi.” Aku menghela napas. “Tapi denger. Gue pernah diospek. Rasanya gak enak. SMP beda banget sama SD. Gak ada yang gue kenal. Jadi sepi juga. Serem, jujur aja.”

Si bocah menatapku. Macamnya dia mendengarkan dengan serius. Syukurlah.

“Tapi ... lo bakal biasa. Tahan aja bentar. Paling cuman seminggu doang. Seudah gitu, ini tempat jadi serasa punya lo. Sama anak sebaya gak lagi canggung, senior gak lagi nyeremin, guru juga gak lagi asing.” Aku diam, mengernyit, lalu melanjutkan. “Tapi kalo semisal lo ngerasa butuh ditemenin sama orang yang lo kenal, gue ada di kelas 7F.”

Si bocah masih menatapku. Masalahnya, dia diam saja. Mau tak mau aku merasa malu juga. Masudku ... apa yang barusan kukatakan entah kenapa mulai kedengaran cringe.

“Ngomong sesuatu,” desakku.

“Abang nama siapa?”

“....” Aku usap wajahku. “Bener juga, bangsat.”

Adik Bobi menyeringai. Semua senyumnya selalu seperti itu, mau yang kecil atau lebar. Semuanya kelihatan jahil.

“Habil. Gue Habil Bestari. Dan kalo lo manggil gue Qabil kek abang lo, gue banting kalian bedua.”

***

Begitu kembali ke kelas, aku ditertawakan orang. Pasalnya seragamku kotor dan kusut, wajahku penuh luka cakar, rambutku awut-awutan. Menyesal aku tak berkaca dulu. Ini semua gara-gara adik psikopat si Bobi. Setidaknya, kasih tahulah kalau penampilanku berantakan.

 “Yang barusan good job,” hibur Bang Ramdan sembari menepuk pinggangku. “Urusannya bisa repot kalo ada apa-apa sama itu anak.”

Nah, kan? Apa aku bilang. Masa oritentasi kali ini memang sedikit lebih rawan ketimbang biasanya, sebab banyak sekali berita soal perpeloncoan yang menghasilkan korban. Pak Yusuf sendiri, guru penanggung jawab acara ini, mewejang agar kami hati-hati dalam membimbing para junior, terutama jika urusannya menyangkut kontak fisik dan duit.

“Cape, Bang,” keluhku.

“Gak papa. Lo diem aja dulu.” Bang Ramdan berpikir sejenak. “Sebenernya, lo fokus aja awasin dia. Kalo bisa, jangan sampe ada masalah lain lagi. Entar gue ngomong ke anak OSIS biar mereka pada maklum.”

Aku mengernyit, merasa enggan tapi tak punya alasan. “Itu bocah labil, Bang,” kataku. Aslinya aku ingin bilang psikopat, tapi berhubung yang kuajak bicara ini Bang Ramdan, jadi kuhaluskan. “Gak jamin dia bakal adem ayem.”

“Omong-omong, lo playboy juga, ya?”

“Hah?” Aku melongo beberapa detik. Begitu banyak hal yang ingin aku katakan, tapi untuk pertama-tama, mari bilang begini, “Ngaca.”

Si bangsat cuma tertawa. “Awas entar Safa cemburu.”

“Bang. ‘Ni bocah SD anjir.” Aku mengedik ke arah gerombolan adik kelasku yang masih berseragam putih-merah. “Bau kencur, anjir. Maksud gue ... iiiiiih! Brrrrrr! Uek.”

Bagi pembaca dewasa sekalian, kamu-kamu yang usianya sudah tak lagi remaja, tentu agak sulit untuk memahami perasaanku saat itu. Tak apa. Kalian cuma lupa. Ketika dewasa, beda umur tak lagi jadi masalah yang kentara—setahun, dua tahun, lima tahun, meh.

Proses kedewasaan itu tidak linear, melainkan logaritmik—cepat pada awalnya, untuk kemudian melambat. Antara anak kuliahan dan anak SMA tak beda jauh; antara anak SMA dan anak SMP beda sedikit; antara anak SMP dan anak SD beda sekali. Coba kenang lagi. Ketika SD, pernahkah kau berpikir kalau seniormu yang cuma beda setahun kelihatan begitu dewasa? Hal yang sama berlaku sebaliknya.

Aku cuma setahun lebih tua dari adik Bobi, tapi kami macam beda spesies saja rasanya. Kini, setelah dewasa, kami bisa dibilang sebayaan. Tapi dulu, dia tampak bagai bocil ingusan di mataku.

***

Malam harinya, Bobi mengirim SMS: —Bang, yo!

Satu jam berlalu, baru setelah itu aku membalas: —Jangan lupa besok surat izin kemah balikin lagi.

—Hehe. Tau ini siapa?

—Awas pulsa abang lo ludes. Beda operator.

Mengingat budaya di eraku, ada kemungkinan ini adalah Bobi yang menyamar jadi adiknya. Tapi aku tak peduli. Sebab mau itu si ade atau si abang, balasanku bakal tetap sama.

—Aku gak ikut kemah gak papa, Bang?

—Matamu.

—Tapi Papah aku gak izinin. Takut aku kenapa-kenapa. Abang tau sendirilah aku ini rapuh banget. Gampang sakit, gampang mati. Iya?

—Yang gak bisa sekarang, bakal ikut kemah susulan semester depan. Sama yang panitiain itu langsung guru.

—Ew. Bang, gak bisa aku pindah ke kelas Abang?

—Lo mau pindah juga gue tetep gak bakal ngurus kelompok putri, dodol.

Untuk setengah jam kemudian, tak ada balasan. Aku sedang menonton TV ketika ponselku kembali berdering. —Sori, Cok. HP gue barusan dicolong monyet. Omong-omong, gue liat-liat ‘ni anak lengket juga ke elo, ya?

Aku mengernyit dan mulai mengetik. —Susu Indomilk dua rebu. Gorengan serebu. Total tiga rebu. Itu jajanan dia tadi siang. Ganti rugi.

—Lo boleh cipok dia di pipi kalo mau.

—Gue pengen duit aja.

—Di bacot kalo gitu.

—Duit aja, anjing.

—Matre.

Lihat selengkapnya