Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #6

Bagian 3, Januari 2024

Si bocah tanya apakah itu bekas SD-ku.

“Gue gak mukim di sini,” kataku. “Rumah gue masih jauh. Ke sana.” Aku menunjuk ke barat, ke gunung.

“Oh. Kirain.”

Nah, aku tak pernah bilang kalau tempat ini tanpa kenangan. Aku dan Bobi sering nongkrong di sini. Satu malam Minggu, aku pernah membonceng si bangsat untuk ketemuan dengan pacar barunya. Sambil menunggu, aku merokok dulu beberapa batang. Lalu ibu si gadis muncul. Bobi segera saja colong motorku dan tancap gas, meninggalkanku buat dikejar emak-emak ngamuk.

Sebelah utara SD—yang kerap disebut SD Kompleks oleh orang lokal—ada jalan raya kecamatan. Ke kanan dari sana, beberapa puluh meter, ada bengkel las; belok kanan lagi, masuk ke gang, ada rental PS yang kerap kukunjungi di hari libur, bermain gim sampai perut mual dan mata merah. Aku pertama belajar merokok dari sana.

Sepi betul di sini. Bahkan ketika kami tiba di jalan kecamatan, tak ada orang maupun kendaraan yang lewat. Si bocah minta diturunkan, tapi aku melarangnya. “Nasuh udah sehat, kok,” celetuknya; yang mana kubalas, “Jangan aneh-aneh. Lo sakit, gue juga yang repot.” Aku tahu betul apa yang ada di pikiran si bocah—dia ingin lari-lari di tengah aspal, melompat-lompat, menari, sampai tiduran. Aku tahu karena aku pernah melakukannya ... di umur yang lebih tua pula.

Kuputuskan untuk menyusuri jalan ketimbang kembali menembus pesawahan. Tak bakal ada orang lewat—kalaupun ada, mereka akan terus jadi orang lewat, terlalu takut buat berhenti sebab pikir aku penampakan setan.

Sayang aku datang dari tempat yang lebih kampung, jadi aku tak berhak memanggil tempat ini kampungan (tapi jujur saja, tempat ini memang kampungan.) Bukan berarti aku tak menyukainya. Aku menyukainya. Tuhan. Aku menyayanginya. Aku betah tinggal di sini. Andai diizinkan, aku ingin tua dan mati di tempat ini, dikelilingi oleh kenang-kenangan masa remajaku.

Aku jalan ke barat, melewati kantor kecamatan, polsek, serta konter langgananku membeli pulsa dulu. Ada pertigaan, aku jalan ke kanan; melewati jembatan, ada pertigaan lagi, aku jalan ke kanan lagi. Aku melewati perkampungan, lalu pesawahan, lalu pabrik penggilingan padi—atau bekas, berhubung sekarang bangunan itu sudah bobrok, separuh atap hilang entah ke mana.

“Yah, Yah,” panggil si bocah, menarik telingaku dan memaksa kepalaku menoleh. “Itu apaan, Yah?”

“Mana?”

“Ituuuu.”

“Itu namanya janur kuning.”

“Kenapa gak janur ijo?”

“Gak, Kencit. Janur kuning itu jatuhnya ke kata ketimbang frasa. Gak kayak baju merah, tapi lebih kek ... kuda laut.”

“Gak paham.”

“Kata punya makna abitrer, gak bisa ditebak lewat susunan komposisinya; frasa sebaliknya. Baju merah itu baju yang warnanya merah, tapi kuda laut itu bukan kuda yang ada di laut. Janur kuning juga bukan janur yang warnanya kuning, tapi janur yang dibentuk kayak ‘ntu.”

“Meskipun warnanya lebih ke ijo?”

“He’em.”

“Nasuh tau.”

“Gue gak yakin.”

“Itu barang klenik, kan?”

Klenik emang apaan?”

“Kek tumbal, sihir, syarat kesaktian gitu.”

“Heran lo tau arti klenik tapi gak tau fungsi janur kuning.” Aku menyeka keningku. Ada tetesan keringat dingin di sana. “Itu tanda ada orang yang mau kawin.”

***

Pembaca yang budiman, biar aku edukasi kalian tentang Kaidah Bedil Chekhov: “Ketika ada bedil yang menggantung di dinding pada adegan pertama, maka bedil itu akan ditembakkan pada adegan ketiga.” Istilah yang lebih luasnya adalah foreshadow—sebuah sistem pertanda dalam plot dunia fiksi.

Tak paham? Oke, anggaplah kisah hidupku (yang kacau-balau ini) adalah fiksi. Maka janur kuning di sana adalah foreshadow—sebuah pertanda akan terjadinya hal buruk di masa depan. Hal buruk apa? Hmm ... katakanlah kalau yang menikah itu mantan pacarku.

Tapi untungnya kisah hidupku (yang kacau-balau ini!) bukanlah fiksi. Kalau tidak, tentu semuanya akan lebih masuk akal ketimbang ini. Orang sering bilang kalau fiksi tak masuk akal—mungkin iya jika dilihat dari sudut pandang logika, tapi dari sudut pandang moral? Dalam fiksi, sekejam apa pun plotnya, setiap orang selalu mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Apa yang kau tuai ialah apa yang kau tanam; orang jahat menderita, orang baik bahagia; usaha tak pernah membohongi hasil.

“Yah, Yah! Ada namanya, Yah!”

“Gak usah dibaca!”

“Kenapa?”

“Eeh ....” Kenapa? Kuusap wajahku sekali, lalu kugosok-gosok. Rasanya lengket, berbulu, dan menjijikkan. “Gue gak pengen tau.”

“Kenapa?”

“Gak semua hal mesti dicari tau.”

“Aneh. Nasuh mah pengen tau semuanyaaaaa! Soalnya kalo gak tau, Nasuh penasaran!”

“Gak heran. Lo kepoan.”

Dari jalan aspal, kami berbelok ke kiri. Ada jalan setapak beton di sana. Beton. Aku baru sadar. Dulu, jalan itu masih terbuat dari tanah. Melewati pinggir penggilingan padi, aku mendongak, lalu terdiam di tempat, mendadak merasa mulas.

“Anjing.”

“Mana, Yah?”

Gak. Gue ngumpat.”

Si bocah mengusap wajahku. “Ngumpat itu gak baik, Yah.”

“Anjing.”

Tak barang seratus meter di depan sana, ada pemukiman. Ada satu rumah, yang paling panjang, paling lebar, dan paling tinggi. Ada panggung di sana. Ada tenda biru. Ada pelaminan. Aku bisa mendengar suara manusia, sibuk mengangkut kursi, sepiker, piring, makanan, buket, tirai, lain-lain.

Si bocah coba mengintip melewati kepalaku, lalu terdiam untuk beberapa detik. “Yah?” panggilnya. “Patah hati?”

“Gak.”

“Yakin?”

“Gak.”

“Gak yakin?”

“Gak papa.” Iya. Aku tak apa-apa. Orang lain kerap frustasi dengan masalah cinta—aku tak pernah. Cinta itu asyik, tapi tak sepenting mimpi. “Gak papa. Gak papa. Gak papa.”

Gak papa-nya empat kali.”

“Tiga.”

“Empat!”

“Serius?” Mungkin aku tak se-gak papa yang kupikir. “Tapi gak papa.”

“Lima!”

“Gak usah diitung, Kencit.” Aku menghela. “Sebenernya ini malah jadi masuk akal.”

“Kenapa?”

Aku melirik ke samping. Ada wajah kecil, mata besar menatapku. Untuk suatu alasan, aku terdorong untung mengusap kepalanya yang berbulu lebat.

“Kenapa?” tanyanya, lalu menyeringai. “Ceritanya panjang?”

“Gak panjang,” sahutku, “cuma sedih.”

“Kalo sedih kok Ayah gak nangis?”

“Gak sesedih itu.”

“Kalo Ayah aja gak nangis, Nasuh apalagi. Ayah lebih cengeng daripada Nasuh.”

“Anjing.” Tapi hei, dia ada benarnya. “Oke, katakanlah Safa ini nyokap lo.”

“He’em.”

“Macem yang lo liat, dia mau kawin. Dia gak bakal mau ada anak haram yang ganggu rumah tangga baru dia. Makanya dia ... serahin lo ke gue.” Aku nyaris berkata buang, tapi tak tega. Aku. Tak tega.

“Ayah yakin kalo yang nikah itu dia? Bukan embak dia? Ade dia?”

“Safa anak tunggal.”

“Mamah dia?”

“Salut ama imajinasi lo, tapi gue yakin bukan.”

“Kali Ayah diundang. Kali kita bisa numpang makan di sana.”

“Jangan ngomong sesuatu yang bikin gue sedih.”

Aku menoleh ke pelaminan lagi. Gak. Aku yakin betul aku tak punya angan-angan untuk berada di sana. Aku tak ingin. Tapi masalah ini jadi super merepotkan. Safa adalah gadis baik. Aku tak ingin merusak kebahagiaannya—

“....”

Persetan. Mungkin kehadiran si anak haram bisa merusak kebahagiaan Safa, tapi bagaimana dengan kebahagiaanku sendiri? Aku bukan ayah bocah ini. Aku mungkin hanya seorang sampah yang gagal menjadi manusia, tapi aku masih punya harga diri untuk tidak bertanggung jawab atas nafsu birahi dari pria lain. Aku sudah cukup menderita. Sekarang giliran orang lain untuk mencicipi apa yang kehidupan cekokkan padaku.

***

Kusuruh si bocah untuk turun dari punggungku.

“Kenapa?” tanya curiga.

“Tadi katanya pengen turun.”

“Gak lagi.”

“Turun aja.”

“Enggak mau.”

“Gue gak nanya konsensus lo.”

“Gak mau gak mau gak mau!”

“Dengerin gue—”

“Kalo Nasuh bilang gak mau ya gak mauuuuu! Ayah bawel banget, sii!”

Aku coba paksa menurunkannya, tapi dia malah mencekik leherku. Kupikir aku bakal mati saat itu. “Dengerin gue dulu—”

Gak! Ayah pasti mau kibulin Nasuh!”

Dia benar.

“Ogah! Nasuh gak mau sendirian lagi! Nasuh gak mau dibuang lagi! Nasuh kapok!” Dan dia mulai menggigiti kepalaku.

Lihat selengkapnya