Memasuki tahun terakhirku di SMP, tahun terakhirku bersama teman-temanku, tahun terakhirku sebagai manusia normal.
Aku tumbuh pesat dua tahun belakangan ini—atau setidaknya, begitulah yang kurasa, sebab ketika semester pertama dimulai, aku bertemu dengan Safa, dan kudapati ubun-ubun si gadis yang entah kenapa berada tepat di bawah mulutku.
Tentu ada penjelasan untuk ini. Perempuan tumbuh duluan, sehingga ada kalanya mereka sepantar atau bahkan lebih tinggi dari laki-laki. Biasanya masa-masa ini terjadi di kelas 6 SD atau 1 SMP. Lalu, ketika mereka berhenti, kami memulai. Kini banyak siswi yang mesti mendongak untuk menatap teman laki-laki mereka.
Dalam dua tahun belakangan, banyak perubahan yang terjadi di sekolahku. Banyak bangunan yang direnovasi, banyak pohon yang ditanam, banyak pula binatang yang dipelihara (jika kau pikir SMP-ku macam kebun binatang, nah, itu memang temanya.) Sedikit sedih mengingat waktu kami hanya sebentar lagi. Sedikit bangga juga, mengingat kami ikut berkontribusi dalam perubahan ini. (Dan ketika aku bilang kontribusi, yang aku maksud adalah ikut mencangkul, memikul, menjinjing, menyapu, menembok, menggosok, dst., dsb., dsj. Tak terhitung berapa kali aku menginap di sekolahku, tapi aku tak akan membahasnya terlalu jauh. Cerita yang satu ini tak butuh bagian yang satu itu.)
Tak ada kejutan di tahun ini. Alih-alih diacak macam tahun lalu, absensi kelas dipulangkan ke asal, yang mana artinya Habil Bestari menjadi anak kelas E lagi. Aku bakal bertemu dengan Bobi kembali, pun dengan Nanda Bahari. Aku tak keberatan dengan Bobi, tapi Nanda Bahari itu masalah. Kami belum baikan semenjak Insiden Penghapus Seukuran Tiga Jari.
Sebenarnya, aku ingin minta maaf, tapi aku takut tak dimaafkan. Bang Ramdan sudah lulus sekarang, tak akan kembali—melepas celana biru dan ganti ke celana abu. Sayangnya, selama dia masih di sini, aku tak pernah dengar kabar si jancok jadian dengan Nanda. Pasti gara-gara ulahku.
Awalnya, aku masuk kelas dengan canggung, takut duduk di dekat Nanda secara tak sengaja. Kekhawatiran yang sia-sia. Di luar dugaan, anak-anak masih ingat urutan meja mereka di kelas satu, dan semua orang setuju buat mengulangnya. Perkara beres.
Aku duduk di kursiku sendiri, sibuk dengan urusanku dan kehebohan Wahyu. Nanda duduk di kursinya sendiri, sibuk dengan urusannya dan pelototan guru. Kami saling abaikan, saling tak acuh, saling hindari. Damai tentram abadi.
Atau ... harusnya begitu.
***
Semuanya gara-gara Bobi—jilid tiga. (Disingkat: SGB3.) Hmm. Aku tahu kau bosan dengan alur yang satu ini. Aku juga, lebih malah—aku muak. Urusanku dengan Safa dimulai dari Bobi; urusanku dengan Rintik dimulai dari Bobi; kali ini, urusanku dengan Nanda bakal dimulai pula dari si Babe Babi Bobi. Dendam apa makhluk keparat ini padaku di kehidupan sebelumnya, hanya Tuhan yang tahu. (Itu pun kalau kau percaya soal kehidupan sebelumnya.)
Ceritanya simpel saja—sama seperti sebelum-sebelumnya. Sebulan telah berlalu semenjak semester baru dimulai. Pak Tarno mengadakan ujian harian begitu bab satu selesai. Bobi mencontek padaku.
Sebagai teman yang jahat, aku tak peduli ketika si jadah mencontekku. Aturanku cuma satu: jangan ganggu. Asal Bobi tak berisik dan merusak ritme kerjaku, maka peduli setan mau dia mencontek sampai ke noda tip-ek juga. Toh, nilaiku tak bakal berubah, dan orang yang rugi bukanlah daku melainkan ayah-bunda Bobi berhubung sudah membiayai pendidikan seorang kutu kupret yang malas buat berpikir sendiri.
Tapi dasar memang Bobi. Jika dia malas belajar, maka aku harap dia serius dalam mencontek. Kelakuan ngasal si anjing rupanya tidak terbatas ke dalam bidang kebajikan semata. Meskipun sudah kelas 3 SMP, Bobi macamnya masih belum bisa membaca. Maksudku ... bagaimana bisa dia tak mengecek daftar soalnya sendiri, yang mana Tarno bedakan urutan nomornya dengan milikku? Tak heran kami tertangkap basah.
Awalnya Tarno mempermalukanku habis-habisan dengan menyuruhku lari mengelilingi sekolah. Aku bertemu banyak orang dalam petualanganku itu: Safa, Meli, Vani, Ica, Yuni, Husen, Rintik, Ilma, Kemal, dan seterusnya, yang pada dasarnya adalah semuanya, berhubung saat itu jam istirahat.
“Ngapain, Bang!” tanya Rintik, yang untuk suatu alasan ikut ber-joging di sampingku. “Olahraga?”
“Abang lo bangsat!” sahutku.
Rintik tergelak, lalu melompat ke samping abangnya. “Nah, loh. Aku aduin lagi ke Mamah, nih. Padahal udah janji gak bakal buat onar lagi waktu kelas tiga.”
“Jangan dong, Dede Sayang.” Bobi memelas. “Ini salah si Qabil. Dia yang godain Abang.”
Aku coba menendang Bobi, tapi dihindari dengan lincahnya.
“Baju baru!” seru Rintik. Awalnya aku bingung, lalu aku sadar dia sedang minta disuap supaya tutup mulut. Gak abang, gak adek, memang jahanam dua-duanya.
“Baju lo mahal! Tekorlah gue, duh, De ... De ....”
“Ya udah.”
“Eskrim aja, ya?”
“Ew. Aku bukan cewek murahan.”
“Dua?”
“....”
“Oke. Tiga.”
Rintik berhenti dan memberi hormat. “Janji, ya!”
“Tiga, Cok?” komentarku begitu Rintik sudah jauh. “Lo pengen ade lo berak aer apa gimana?”
“Em ... itu ....”
“Apaan?”
“Boleh pinjem duit?”
Aku kembali ke kelas, tapi Tarno masih ada di sana. Dia belum puas. Dipanggilnya wali kelasku yang baru, Pak Nurdin. Tarno ingin solusi permanen untuk perkara Bobi dan dia minta guru terbaikku mengambil aksi.
***
Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan Pak Nurdin dulu.
Aku kenal dengan Pak Nurdin sejak lama. Dia adalah petapa tua penunggu “belantara aksara” (baca: perpustakaan). Dan ketika aku bilang tua, aku serius—dia pensiun tahun ini.
Anak lain mengenal Pak Nurdin dengan sebutan si Mata Tiga. Ketika dia berpikir keras, beliau punya kebiasaan menekan keningnya dengan telunjuk—makanya Mata Tiga. Aku pun kerap memanggilnya begitu. Sampai akhirnya dia menjadi wali kelasku.
Aku suka membaca novel. Jadi buatku, pelajaran Bahasa Indonesia biasanya terasa palsu. Contoh, tentang kata baku, atau unsur intrinsik cerita, atau struktur kalimat. Ketiga aturan itu tak pernah kudapati berfungsi secara efektif di kenyataannya. Lalu, buat apa aku susah-susah mempelajarinya?
Setiap guru bahasaku—mulai dari SD sampai SMP—tak pernah membuatku terkesan juga. Aku merasa lebih banyak belajar dari novel ketimbang mereka. Kemudian aku bertemu Pak Nurdin, sang pahlawan literatur.
Aku masih ingat kelas pertama beliau. Pak Nurdin masuk, memperkenalkan diri, lalu bilang, “Saya pensiun taun ini. Sebelum saya pergi, saya pengen buat peninggalan. Saya pengen buat cerita. Antologi. Sama kalian.”
Pak Nurdin kemudian membacakan cerpen. Hasil karangannya sendiri. Sebuah satir yang membuat seluruh kelas terbahak. Aku ingat diriku sampai terguling dari kursi saking tak kuasanya menahan gelak.
“Jadi,” kata Pak Nurdin, “sebutkan unsur intrinsik cerpen barusan.”
Orang yang menyahut adalah Nanda Bahari—macam biasa. Semua jawabannya benar—macam biasa juga. Yang tidak macam biasa adalah Pak Nurdin mengeluarkan pertanyaan lanjutan.
“Apa gunanya unsur intrinsik?”
Tak ada yang menjawab. Seluruh kelas berkersak oleh bunyi buku yang dibuka, tapi jawabannya tak ada di buku. Tanpa kami sadari, kami sudah diseret keluar dari dunia akademi dan mulai memasuki dunia seni.
“Nanda? Kamu gak tau jawabannya?” tanya Pak Nurdin. Nanda menggeleng. “Habil?”
Aku sedikit kaget, tak mengira dia tahu namaku. Aku memang sering ke perpustakaan, tapi kami jarang sekali berbicara. “Uh ... gak tau, Pak,” sahutku dengan mengenaskan.
Pak Nurdin tak kelihatan kecewa, tapinya. Dia sadar kalau pertanyaannya aneh. “Oke. Gak papa. Gunanya unsur intriksik adalah ...” Sejumlah orang membuka buku, siap menulis—tapi tak ada yang siap untuk mendengar perkataan selanjutnya: “... hiburan.”
Sejenak, kelas hening.
“Kalian mesti inget ini. Sifat utama cerita itu menghibur. Kalo pun kalian nulis buat mengedukasi ato ekspresiin diri, tetep aja sifat utama cerita itu ya menghibur. Mau berat ato ringan, mau roman ato misteri, sama aja. Jadi selalu inget ini waktu kalian ngurus karakter, latar, gaya bahasa, narasi, watak, sama amanat di cerita kalian.”
Di pertemuan kedua, Pak Nurdin tiba-tiba saja menyeret kursinya ke tengah kelas dan duduk di sana. “Deskripsikan orang yang bernama Nurdin Syarifudin ke dalam tiga paragraf,” katanya.
Tugas yang kedengaran mudah? Tidak juga. Pertamanya aku kesulitan sebab terlalu banyak yang ingin kukatakan hingga aku bingung mesti menulis apa dulu. Lalu aku kesulitan sebab tak ada yang ingin kukatakan sebab semua ide telah tertuang dalam satu paragraf saja.
Pak Nurdin kemudian memberikan tips. Dia mengajari kami kembali tentang sintaks. Dan bukan secara ngasal pula macam guru lain. Dimulai dari kata dulu, lalu frasa, lalu kalusa, lalu kalimat. Dia bilang kalau cara membuat kalimat adalah hal paling penting yang mesti dikuasai penulis. Ini serupa menorehkan garis bagi pelukis atau menyuarakan nada bagi penyanyi. Seorang penulis yang tak menguasai kalimat bukanlah penulis, melainkan sekadar pemikir.
Lalu, dia mengajari kami tentang paragraf; tentang kalimat pokok dan kalimat penjelas; tentang alur ide, urutan observasi, sudut pandang; dan yang terpenting, dia mengajari kami cara menerapkan semua itu ke dalam menulis.
“Paling simpel buat paragraf deskripsi itu lewat urutan,” katanya. “Katakanlah dari yang umum ke detail. Jadi pertama, kalian jelasin perawakan saya: tinggi, besar, postur. Terus kalian jelasin detail wajah saya: hidung, mulut, mata, rambut. Kalian jelasin pakean saya: baju, celana, sepatu. Terus kayak gitu.
“Cara yang lain—saya lebih suka ini—yaitu lewat sudut pandang kalian. Kalian jelasin apa yang kalian liat, dengar, sentuh, cium, sama rasa per momennya. Tuang aliran informasi sama opini yang lewat di kepala kalian, dimulai dari begitu saya masuk sampe saya duduk. Kalian tulis apa yang ada di pikiran kalian walo pun itu gak sesuai sama realitanya. Gak papa. Jujur aja. Jujur sejujur-jujurnya.”
Dan memang itulah yang kulakukan. Berikut adalah potongan karyaku waktu itu.
Pintu dibanting terbuka. Berikut hal pertama yang melintas di benakku: “Bangsat goblok mana lagi yang pikir sekolah ini punya emaknya?” Engselnya yang sudah berkarat pasti sekarang kian sekarat. Tapi rupanya bukan. Itu Pak Nurdin, wali kelasku, dan walaupun aku tak kenal-kenal amat dengannya, kuyakin beliau bukan bangsat goblok yang pikir sekolah ini punya emaknya.
Soal perkara diksiku, Pak Nurdin menyukainya—sangat. Dia sampai menulisnya di papan tulis dan membuatku malu setengah mati. “‘Bangsat goblok mana lagi yang pikir sekolah ini punya emaknya?’” Pak Nurdin membaca, lalu tertawa. “Kamu pernah belajar retorika, Hab?”
Aku menggeleng. Waktu itu, aku bahkan belum tahu retorika itu apa.
“Saya pernah bilang buat menghindari penggunaan satu kata yang sama di sebuah paragraf.” Pak Nurdin menunjuk tulisanku. “Tapi Habil gak hanya ngulang satu kata; dia ngulang klausa: bangsat goblok yang pikir sekolah ini punya emaknya. Sekarang, pertanyaan, kelirukah cara menulis seperti itu?”
Nyaris seluruh kelas menyuarakan persetujuan.
“Alasan?”
Nyaris seluruh kelas menyuarakan keheningan. Mungkin sebab tak punya pilihan lain, Nanda mengangkat tangan.
“Gimana, Nda?”
“Gak efisien,” katanya. “Kalo bisa dijelaskan pake satu kalimat, kenapa mesti nulis dua?”
“Kamu bener. Kalo bisa dijelaskan pake satu kalimat, kenapa mesti nulis dua? Pertanyaan lagi, apa yang dijelaskan?”
Nanda diam sejenak. “Informasi?”
“Apa itu informasi?”
“Semua yang kita rasa lewat indra kita? Sama ... ide—semua yang kita pikir lewat akal kita.”
Kuyakin Pak Nurdin senang sekali bisa mendapatkan murid macam Nanda. Jawaban macam itu hanya akan kau dapat dari seorang filsuf. Orang dengan pikiran yang cukup jernih untuk mampu menjelaskan makna sebuah konsep.
“Tapi, Nanda, infomasi bukan cuma itu.”
“....”
“Boleh liat buku-buku kamu?” Pak Nurdin kemudian memilih beberapa dan mengangkatnya. Buku matematika, sejarah, dan PKn (tak paham kenapa gadis ini membawa buku yang tak ada di jadwalnya). “Ini buku ngandung infomasi: pengetahuan. Penulis memindahkan apa yang dia tau ke kepala pembaca.” Kemudian, Pak Nurdin mengangkat buku lain—sebuah novel. “Ini buku juga ngandung informasi: emosi. Penulis memindahkan apa yang dia rasa ke hati pembaca.”
Pak Nurdin kembali ke bor dan ambil kapur. “Cara penyampaian emosi agak beda sama pengetahuan. Misal, saya sedang marah. Kalo saya pengen nyampein pengetahuan bahwa saya lagi marah, saya bakal nulis begini.”
—Saya sedang marah.
“Beda halnya kalo yang saya pengen sampein itu emosi. Saya bakal nulis begini.”
—ANYING!
Terang saja semua orang tertawa. Belum pernah kami melihat seorang guru dengan terang-terangannya menuliskan umpatan di bor dengan aksara sebesar itu.
“Habil juga sama. Dia ngulang frasa dia buat nyampein emosi. Supaya pembaca ngerasa betapa jengkelnya dia sama bangsat goblok yang pikir sekolah ini punya emaknya.”
Kembali, seluruh kelas tergelak.
“Ah. Ini juga. ‘Engselnya yang sudah berkarat pasti sekarang kian sekarat. Tapi rupanya bukan.’ Kalo dipikir-pikir, ada penyalahgunaan kata di sini—engsel gak napas, engsel gak sekarat. Habil pilih ini kata demi dapetin rima karat-sekarat. Itu juga salah satu cara manipulasi emosi pembaca.
“Kemudian, dia awalin kalimat dia pakai kata tapi. Ini salah kalo menurut ketentuan. ‘Tapi’ itu kata hubung yang gak bisa dipake di awal kalimat, kayak ‘dan’ sama ‘atau’. Nanda, kamu tau kata hubung yang bisa dipake di awal kalimat?”
Tentu saja Nanda Bahari tahu. “Namun? Akan tetapi? Sementara itu?”
“Jadi, sebelum nulis, kalian mesti tau dulu infomasi apa yang pengen kalian sampein. Di ekstrem kanan, ada pengetahuan, diwakilkan sama tulisan macam dokumen kontrak, yang mana haram kalimatnya punya makna ganda. Di ekstrem kiri, ada emosi, diwakilkan sama puisi, yang mana kata, frasa, klausanya lebih bebas penerjemahannya.”
***
Belum pernah aku menghormati guru lain sebesar aku menghormati Pak Nurdin. Jadi, ketika Tarno membawa-bawa wali kelasku ke dalam masalah mencontek itu, aku malu bukan kepalang.
Pak Nurdin untungnya sudah terlalu tua untuk drama. Dengan entengnya dia mengusulkan solusi praktis, yakni dengan menukar posisi duduk antara Bobi dan Nanda. Bobi kini ada di depan, tepat berhadapan dengan meja guru, bersebangku dengan anak perempuan yang tak bisa diajak dalam kebadungan. Nanda sendiri ... aku pikir kalian bisa tebak. Dia sebangku denganku.
Sebenarnya, asalkan Bobi ada di meja depan dan bersebangku dengan anak perempuan, itu saja sudah cukup. Nanda tak perlu sebangku denganku. Tapi jika dia tak sebangku denganku, mau sebangku dengan siapa dia? Kelas ini punya jumlah murid genap—siswa dan siswi pas sepasang-sepasang.
Ada satu solusi alternatif, yaitu dengan melesat ke gudang dan embat meja baru. Aku tak pernah melakukannya. Maksudku ... andai yang jadi teman sebangkuku adalah gadis lain, maka tak masalah. Sayang ini Nanda Bahari. Semisal aku lebih pilih susah-susah ambil meja lain dan duduk sendiri, aku takut dia tersinggung. Padahal hubungan kami sudah tak benar pula.
Pada hari pertama, tingkah kami macam siswa baru di acara ospek. Sekali-sekali kami bicara, tapi itu cuma untuk berkata “misi”, “sori”, “pagi”, dst., dsb., dsj. Mantan kekasih yang baru putus malam Minggu kemarin lebih akrab ketimbang kami. Setidaknya mereka bisa saling hina alih-alih saling cuek. Hinaan adalah bentuk komunikasi juga sementara kecuekan bukan.
Aku pikir kami berdua akan menghabiskan tahun terakhir SMP dalam kondisi canggung begitu, tapi tidak. Minggu berikutnya, pelajaran Pak Nurdin tiba.
Perlu diketahui, di pelajaran Pak Nurdin, aku dan Nanda selalu punya pendapat yang berbeda. Guru lain jarang menanyakan opini muridnya, dan andaipun iya, jawabannya jarang mengundang prahara. Bahasa Indonesia beda. Sastra dan literatur beda. Di sini, semua teori bisa dibenarkan asalkan kau cukup pandai beralasan. Habil Bestari dan Nanda Bahari pandai beralasan. Satu-satunya hal yang tak membuat kami berdebat panas adalah jarak meja belaka.
Sekarang kami tetangga sebangku. Tak ada lagi yang membatasi kalimatku dan kalimatnya. Begitu sesi diskusi dibuka, perang kata dimulai.
Saat itu kami sedang membahas kata yang sedang tren: bully. Pak Nurdin bilang bahwa kata tersebut bukan bahasa Indonesia dan menyuruh kami mencari padanannya. Nanda—seperti halnya Nanda pada biasanya—mengajukan kata umum yang dia ketahui: menindas, menganiaya, menjahili, mengganggu, merisak. Aku—seperti halnya Habil pada biasanya—coba mencari pendekatan alternatif. Aku mengajukan penyerapan. “Kita adopsi,” kataku, “terus ubah ejaannya. Kita tulis jadi buli.”
Dengan wajah masih menghadap ke depan, Nanda berkata, “Gak bisa gitu.” Suaranya kecil. Aku mendengarnya semata karena kami sebangku.
“Kenapa?”
“Pelestarian identitas bangsa.”
Aku sedikit tersulut. Jadi, kubuat serangan balasanku senyelekit mungkin. “Bisa diulangin?”
“Aku tau kamu denger.”
“Ulangin aja.”
“Huh. Pelestarian identitas bangsa.”
“Kontradiksi. ‘Identitas’ itu serapan dari ‘identity’. Bahasa Inggris. Dari mana pelestarian identitas bangsanya?”
Akhirnya Nanda menoleh pula. Sayang dia melakukannya sambil melotot dan menganga.
“Pelestarian identitas bangsa itu berak. Kalo lo ngotot sama identitas bangsa, jangan pernah ngomong ‘bangku’, soalnya itu serapan bahasa Belanda ‘bank’. Lo gak boleh ngomong ‘baca’, soalnya itu serapan bahasa Sansakerta ‘vaca’. Lo gak boleh ngomong ‘kabar’, soalnya itu serapan bahasa Arab ‘khabar’. Ato ‘acar’—itu Persia. Ato ‘bendera’—itu Portugis. Ato bahkan ‘lo-gue’—itu Cina.”
Wajah Nanda memerah. Mungkin gara-gara malu, mungkin juga gara-gara marah. Kupikir yang terakhir. “Gak relevan. Semua kata yang kamu bilang tadi udah diserap di kamus besar, udah jadi bahasa Indonesia. Tapi buli? Itu kamu ngarang sendiri.”
“Sori-sori, nih, tapi kamus dapet leksikon dari mana?”
“Dari—” Nanda seketika berhenti dan cemberut. Dia melihat jebakanku. “Itu beda.”
“Sama,” bantahku. “Kamus dapet leksikon dari bahasa lisan—bahasa yang dipake orang sehari-hari, bahasa yang dipake sama gue. Kalo semisal antara lisan sama kamus beda, yang salah bukan lisan, tapi kamusnya aja kudet.”
“Kita ngomongin bahasa tulisan di sini. Bahasa tulisan terikat sama KBBI.”
“Masa?”
“Iya!”
“Kenapa?”
“Soalnya lo ngomong gak sama satu-dua orang, ogeb!” Nanda mulai merongos, macamnya terbawa amarah. “Kalo lo ngebacot, lawan lo ya temen lo doang—paling banter, sama orang sekampung. Sama aja. Lawan bacot lo ya itu-itu doang. Mereka yang dialeknya sama kayak lo.
“Tapi tulisan beda. Begitu lo nulis, lo berarti lagi ngomong sama semua orang yang lagi pake bahasa Indonesia. Dan bukan cuman orang di zaman ini aja, tapi kemungkinan juga orang di masa depan. Supaya mereka paham, supaya gak ada ambiguitas, bahasa tulisan butuh standarisasi. Ini fungsi KBBI.
“Iya, iya. Gue tau. KBBI ambil leksikon dari bahasa lisan. Tapi siapa lo sok nentuin mana yang kudu diadopsi? Gak seenak udel itu! Ada aturan! Ada syarat! Ada standar! Bahasa itu konsensus, yang artinya mesti disetujui sama semua penggunanya. Kalo lo masih ngotot juga, sana nulis diari aja! Mau pake bahasa preketek tekotek bulu ketek juga terserah!”
Aku terdiam. Bukan sebab tak punya argumen balasan, melainkan sebab malu. Entah sejak kapan perhatian seisi kelas mulai terfokus pada Nanda dan aku.
Kami memulai diskusi (atau debat) ini dengan suara pelan. Aku terpancing, lalu menggunakan suara keras. Nanda terpancing, lalu berteriak sekalian. Kini kami kembali ke kewarasan, digerogoti oleh perhatian yang tidak diinginkan.
Wajah Nanda memerah, tapi beda dengan yang tadi, sekarang penyebabnya adalah malu. Dia coba berpaling, tapi mau ke mana pun dia menghadap, penonton ada di sana. “Uh ....” Nanda mengerang, menggosok wajah, mata berkaca-kaca. “Uh ... Qabil ogeb.”
“‘Napa jadi salah gue?” tanyaku.
“Pokoknya kamu ogeb.” Dan dia pun mewek.
***