Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #8

11 Tahun Lalu, Oktober 2012 (2)

Esoknya, Tarno mengadakan UTS. Resminya UTS berlangsung minggu depan, tapi ini bukan praktik aneh di SMP-ku. Namanya saja yang seram—Ujian Tengah Semester—padahal implementasinya tak berbeda dengan ujian harian: tak ada lembar soal atau lembar jawaban yang standar, tak ada alokasi waktu khusus, tak ada campur-campur kelas.

Di kesempatan ini, sebangku dengan Nanda sedikit membuatku lega. Tak ada lagi Bobi atau teman laki-laki yang nyaris semua babi. Akhirnya aku bisa fokus mengerjakan ulanganku sendiri tanpa mesti terganggu oleh psat-pset dari tetangga sebelah.

Tapi di hari itu, Nanda datang dengan wajah pucat. Matanya sedikit merah, bibirnya pecah, hidungnya basah. Dia bersin semenit sekali, batuk sedetik sekali, dan meriang tak henti-henti.

“Lo gak usah ngotot sekolah juga kali kalo sakit,” komplainku. “Conto gua. Sariawan dikit langsung izin.”

Nanda menatapku dengan setengah sebal dan setengah merana. “Pemales.”

“Bukan. Peduli. Gue peduli sama temen sekelas gue. Sama temen sebangku gue. Takut mereka ketularan. Makanya gue gak sekolah.”

Dari raut wajahnya, Nanda jelas tahu kalau itu cuma alasan belaka. Untung dia kelewat lesu buat melawan. “Udah. Diem. Suara kamu masuk semua ke kepala aku.”

Aku pun diam. Aslinya, aku sedikit khawatir pada si gadis, tapi gengsi saja buat terang-terangan menunjukkannya, takut dikira ada rasa atau apa.

Giliran pelajaran matematika tiba. Pak Tarno masuk membawa lembar soal dan jawaban. Tapi sebelum dia bagikan, si guru pergi ke pintu dan membukanya lebar-lebar. “Buat yang gak bawa penggaris, busur, sama jangka: keluar.”

Seminggu sebelumnya, kami sudah diperingatkan untuk membawa peralatan itu. Tak heran. Bab yang dibahas adalah perkara bangun ruang sisi lengkung. Semua orang mengingatnya, semua orang membawanya.

Tarno terkenal bengis. Ketika dia bilang keluar, ya keluar—tak ada pengecualian. Waktu kelas satu, pernah ada kelas yang disuruh membawa penggaris untuk ujian. Semua orang lupa, kecuali satu. Semua orang dikeluarkan, kecuali satu. Semenjak saat itu, tak ada murid yang meremehkan perkataan Tarno, bahkan Bobi sekali pun.

Jadi, ketika Nanda memanggilku, aku tak pernah menduga dia sedang dalam masalah. “Habil.”

“Hm?”

“Aku mesti gimana?”

“Gimana apanya?”

“Aku lupa.”

Sontak aku menoleh dan mendapati Nanda yang sudah diujung tangis. Aku belum pernah melihat dia yang tampak semenyedihkan ini. Aku nyaris tak mengenalinya. Dengan wajah pucat, bibir gemetar, dan mata berkaca-kaca.

“Lo serius?” bisikku.

“Gimana dong Habil ....” Dia berkata macam aku ini adalah ayahnya yang bakal menyelesaikan setiap masalah asalkan diminta.

“Gimana gimana? Gue cuma bawa satu-satu!” Aku menjejerkan penggaris, busur, dan jangkaku.

Uuuh ....” Nanda mulai terisak, wajah merah masak. “U-uh .... Kok gini, sih? Padahal udah maksa sekolah juga ....”

Aku menghela dan melirik Tarno yang berwajah bengis. Aku mengerang dan menatap Nanda yang nyaris menangis. Lima detik berlalu. Kutinggalkan mejaku dan pergi keluar. Usai memelototiku, Tarno menggebrak pintu.

***

Pertamanya aku berniat menunggu di kantin, tapi tak berani sebab takut digerebek guru lain. Ujung-ujungnya aku pergi ke perpustakaan pula. Ini masih jam KBM, jadi kupikir Pak Nurdin sedang tak ada di sana. Aku salah. Baru aku menjulurkan kepala di pintu, guru bahasa Indonesia-ku memergokku.

“Ngapain kamu di luar jam segini?” tanyanya keheranan. Untuk suatu alasan, dia duduk di lantai, segunung buku menghampar di hadapannya.

Aku tak mampu berbohong padanya, jadi kuceritakan apa adanya. “Uh ... dikeluarin Pak Sutarno, Pak.”

“Kenapa?”

“Gak bawa busur-penggaris?” Apa adanya dengkulku, memang.

Pak Nurdin menatapku dengan pandangan kecewa, dan itu lima puluh kali lebih menyakitkan ketimbang pelototan Tarno. Aku jadi menyesal sudah bersikap sok jantan.

“Ya udah sini masuk. Jangan keluyuran. Orang lain masih belajar.”

“Ma-makasih, Pak.”

“Jangan diulangin, ya. Pak Sutarno susah banget nerima susulan. Dan kalopun diadain, paling banter nilai kamu cuma KKM. Rapot kamu nanti jatuh banget. Apalagi ini UTS, kan?”

“Bapak lagi ngapain?” tanyaku, coba mengalihkan topik. Padahal Pak Nurdin tak barang membentak atau merongos, tapi entah kenapa itu malah buat aku kian tak tahan.

“Nomorin buku baru.”

“Saya pengen bantu, boleh?”

“Duduk sini.”

Aku bersila di samping guruku.

“Ini. Kasih nomor di sini, terus cap di sini, sini, sama sini.”

Bekerja sebagai sukarelawan sedikit membuatku merasa lega. Mungkin sebab waktuku tak habis secara sia-sia. Pak Nurdin juga memujiku. Dia bilang kalau kerjaku lambat.

Oke. Ambigu memang. Awalnya aku juga pikir dia sedang meledek, tapi rupanya tidak.

“Kamu kalo misal ada kerumunan suka antre apa maksa nyerobot?”

“Antre?”

“Kalo waktu di kelas? Suka langsung nanya kalo ada yang gak paham ato nunggu beres terus nyari tau sendiri?”

“Nyari tau sendiri, kayaknya.”

“Kalo buang aer kamu berapa jam?”

Aku tertawa sebab itu pertanyaan mengena. “Sampe kaki saya gemeteran, sih.”

“Kamu cocok kalo jadi penulis,” simpulnya mendadak.

“Kenapa, Pak?”

“Menurut kamu sifat apa yang paling unggul di dunia?”

Aku berpikir sejenak. “Baik?”

Pak Nurdin mendengus geli. “Jauh. Yang bener itu berani. Nyaris semua sifat lain kalah sama keberanian. Orang pinter yang gak berani lumpuh. Orang rajin yang gak berani jadi bawahan. Orang baik yang gak berani lemah.”

“Uh. Nandaisme,” keluhku.

Pak Nurdin menyeringai, kelihatannya paham dengan maksudku. “Tapi ada satu yang keberanian gak bisa lakuin.”

“Apa, Pak?”

“Nulis.” Pak Nurdin mengetuk sebuah buku tebal di tangannya. “Berani itu bikin orang cenderung panas—tegang, siaga, waspada; buru-buru juga, pengen terus lari supaya cepet sampe tujuan. Gak tahan kebosanan. Sama sekali bukan sifat yang ngedukung penulis.

“Penulis itu orang yang duduk seharian, sendirian, musingin apa yang gak usah dipusingin. Penulis itu orang yang abisin waktu berjam-jam buat susun satu kalimat, yang mana dia apus lagi, susun lagi, apus lagi, susun lagi, apus lagi, terus stres. Ulangin kegiatan ini selama 30 hari sebulan, 12 bulan setahun, seumur hidup.

“Orang berani waktu dapet masalah dia nerjang maju. Cari cara paling efektif, paling efesien, paling cepet. Penulis gak efektif atopun efisien, apalagi cepet. Penulis itu orang yang ngarang seribu kata cuma demi nyari satu kata. Orang berani selesaiin apa yang dia mulai, mau seburuk apa pun hasilnya. Penulis hanya nerima kesempurnaan. Demi itu, dia rela nunggu selama apa pun juga.

“Penulis cinta sama rasa bosen. Penulis gak boleh pengen buru-buru selesai sama tulisan dia. Ini bukan soal kecepatan, tapi kesabaran. Kamu bisa aja nulis lima ribu kata sehari, tapi biasanya itu bunuh diri—gak butuh waktu lama sebelum kamu ilang motivasi. Nulis itu mesti dinikmati. Kata per kata, kalimat per kalimat, paragraf per paragraf. Kapan selesai gak penting, yang penting terus lakuin sama jangan berhenti. Kayak kerja kamu sekarang.”

Aku merasa hidungku melambung.

Pak Nurdin kelihatan menyadarinya, sebab buru-buru dia menambahkan, “Tapi buat kerjaan ini, kamu gak kepake.” Sungguh bonus komentar yang tidak diperlukan, memang.

***

Sejam terlewat. Tinggal tiga puluh menit lagi sebelum istirahat dimulai. Kerjaanku masih banyak. Seperti yang Pak Nurdin bilang, kesabaranku tak terpakai di tugas ini.

“Habil.” Suara kecil.

Aku menoleh, mendapati Nanda yang mengintip dari ambang pintu. “Udah beres?”

“Udah. Yang lain masih pada di kelas, sih.” Nanda terdiam. “Kamu ... kamu lagi ngapain?”

“Nomorin buku baru.”

“Aku pengen bantu, boleh?”

“Duduk sini.”

Nanda bersimpuh di sampingku.

“Ini. Kasih nomor di sini, terus cap di sini, sini, sama sini.”

Kontan saja Pak Nurdin terbahak. Dia pernah bilang kalau ciri khas tulisanku ada di repetisi (mengulang frasa, klausa, kalimat, atau bahkan struktur untuk menekankan impresi). Tentu dia tak menduga kalau aku bakal menerapkannya di kehidupanku juga.

“Kenapa?” tanya Nanda kebingungan.

“Kumat,” sahutku pelan. Nanda menyikut rusukku sambil cemberut.

Selepas itu, kami kerja sambil diam. Baik aku, Nanda, dan Pak Nurdin sama-sama condong ke introver, yang artinya kami nyaman dengan kesunyian dan cenderung membenci omongan kosong (alias basa-basi).

Kudapati Nanda yang bekerja lebih gesit dariku. Tangan kecilnya bergerak dengan lihai dan cepat, ritme sempurna tanpa kekeliruan. Lantaran dirinyalah kami bisa menyelesaikan gunung buku ini sebelum istirahat.

“Hab, beliin plastik jilidnya di fotokopian.” Pak Nurdin memberiku sejumlah uang. “Dinota, awas lupa. Kembaliannya buat kalian.”

Aku nyengir saja. Nanda mencoba menolak, tapi terlambat. Aku sudah menyakui uang itu dan bergegas keluar dari perpus.

“Gak tau malu!” ejek Nanda. Dia masih membuntutiku, tapinya.

Begitu barang dibeli, kami mendapati kembalian yang sungguh besar jumlahnya. Nanda mengajukan untuk menyerahkannya balik pada Pak Nurdin. Aku menolak dan mengancam buat kabur bila dia terus ngotot.

Nanda menyipitkan mata bulatnya. “Plastik jilidnya jangan dibawa lari juga, aheng. Pak Nurdin nungguin.”

“Oh. Sori.” Kuselipkan gulungan plastik ke ketiak Nanda. Si gadis pasrah saja ketika dimainkan macam itu. “Sekarang boleh lari?”

“Pengen beli apaan sih kamu sama duit segede itu.”

“Buku.”

Ideku kelihatannya membuat Nanda tertarik juga. Sangat, malah, berhubung segera saja dia melantur, “Bentar. Itu duit ada bagian aku juga, kan?”

“Mana ada.”

“Tadi Pak Nurdin bilang kembaliannya buat kalian, bukan kamu.”

“Hak lo udah diveto.”

“Kapan?”

“Pas lo saranin buat balikin ‘ni duit.”

“Gak, gak gitu aturannya!”

“Ceria banget. Sakit lo mendingan, ya?” Aku menghela napas. “Ya udah. Pengen lo gimana? Bagi dua?”

“Kalo dibagi dua kita dapet berapa?”

Aku menerangkan rumus aritmetik ekonomi sederhana yang kelihatannya Neng Nanda Bahari hapus dari ingatannya.

“Gak bakal cukup, dong.” Nanda cemberut.

“Buat?”

“Beli buku, kan?”

“....” Aku segera paham apa yang Nanda inginkan. Curang bukan main, memang. “Oke. Oke, oke. Kita bacanya giliran, gimana?”

“Hmm.” Nanda mengusap dagu macam ide itu bukanlah dia yang mengajukan. “Boleh, boleh. Sini. Takut kamu repot, biar aku aja yang beli bukunya.”

“Matamu biar gue gak repot. Udah. Gue aja. Lo lagi sakit, kan?”

“Kamu berangkatnya hari ini?”

“Gue sibuk,” kibulku. “Cuma bisa hari ini.”

Nanda menyipit. “Emang kamu mau beli buku apaan?”

“Hm? Eh. Itu, tuh. Religi.”

Si gadis terdiam. “Aku gak percaya orang komunis beli buku religi.”

“Siapa yang komunis, bogeng?”

“Kamu pernah bilang G30S itu konspirasi, kan?”

“Gak relevan. Gak bikin gue jadi komunis. Lagian gak semua komunis itu ateis. Lo mesti inget akar kedua PKI datangnya dari SI.”

Dan begitulah.

Ketika sekolah bubar, aku dan Nanda pergi ke toko buku bersama.

***

Aku tinggal di tempat terkucil di sebuah kota terpencil. Dengan mudahnya aku mengatakan klausa pergi ke toko buku seolah itu kegiatan iseng sepintas. Aslinya, perjalanan makan waktu sejam dan ganti angkot tiga kali.

Untuk menyingkat cerita yang tidak singkat ini, katakanlah aku sudah sampai di tujuan—sebuah toko buku yang terletak di sebuah mal yang terletak di sebuah plaza. Segera saja Nanda meninggalkanku dan pergi ke bagian favoritnya. Aku mengabaikannya dan pergi ke bagian favoritku.

Seperti anak lelaki pada umumnya, aku suka cerita fantasi. Aku jatuh hati dengan kesatria, dengan pedang, dengan perang; dengan banjir darah dan kibaran panji dan seruan tempur. Aku suka kisah yang penuh kekerasan dan kesulitan dan perjuangan.

Novel fantasi pertamaku adalah—aneh, memang—Lord of The Rings. Walau ini adalah bapak dari genre fantasi, orang biasanya lebih kenal dengan filmnya. Aku lanjut dengan The Hobbit. Lalu Eragon.

Aku suka dengan buku, bukan secara konten, tapi secara fisik. Aku suka bentuknya, jilidnya, bobotnya. Ketika aku pergi ke toko buku, biasanya aku akan menghabiskan banyak waktu sekadar untuk kebingungan. Aku ingin itu, aku ingin ini, tapi duit tak pernah mencukupi.

Aku suka buku yang tebal. Buku yang berjilid keras dan berdiksi berat. Buku yang andai kita timpukkan pada kucing lewat, si makhluk malang dijamin tewas di tempat. Aku selalu bermimpi untuk menulis buku macam itu.

Aku sedang berjongkok di antara rak, terhanyut membaca buku pertama dari Trilogi Bartimaeus ketika sebuah suara kecil memanggilku.

Psst! Habil!”

Aku menoleh, mendapati separuh mata Nanda mengintip di puncak rak sebelah.

“Sini!”

Aku menaruh buku yang kubaca dan menghampiri temanku. “Pa’an?”

“Aku pingin ini!” Nanda menyongsong buku psikologi berjudul Pragmatisme karangan William James, seorang yang nantinya kutahu merupakan bapak psikologi modern Amerika.

“Tapi gue gak pingin.”

Nanda manyun. “Kamu pengen apaan, Hab?”

“Yang jelas bukan nonfiksi.”

Nanda makin manyun. “Ini seru, loh.”

“Mana ada. Kelainan lo, ah.”

“Tau, gak? William James itu belajar psikolog buat ngobatin dirinya sendiri.”

Jujur, dia berhasil memancing sedikit ketertarikanku. Mati-matian kutahan wajahku supaya tetap datar. Aku masih lebih suka fiksi.

“William James punya kecenderungan buat bunuh diri. Dia udah coba berobat kemana-mana, tapi gak ada hasil. Jadi, buat selametin dirinya sendiri, dia belajar psikologi dan kembangin teori pragmatisme.”

“Gak minat.”

“Habil ... kamu itu pinter. Orang paling pinter yang pernah aku kenal.”

“Gue masuk lima besar kelas aja jarang.”

Bukan soal ranking. Lebih ke ... pikiran kritis. Kamu gak pernah gengsi buat pertanyain semua hal—mau sekecil ato sekonyol apa pun. Itu pola pikir filsuf. Dan kamu tau? Psikologi itu anaknya filsuf. Kamu bakal suka buku ini.”

“....”

“Ya? Ya? Mau, ya? Bilang iya, gituh.”

Aku menyerah. Bukan sebab kena rayu, tapi sebab takut. Aku takut si kesemek coba memujiku lagi walau tak tahu apa sisi baik dariku yang bisa dipuji. Itu bakal menyinggung bukan main andai terjadi.

Nanda kelihatan senang sekali ketika membawa bukunya ke kasir. Dia melangkah dengan melompat, pinggul berayun lembut. Aku memalingkan wajahku, merasa berdosa, tapi penasaran juga. Bukan sebab pikiran kotor, camkan. Memang, sih ... ada sedikit ... tapi yang paling kurasa adalah kekagetan menyadari perbedaan tubuh kami yang kian senjang, sebab waktu kuraba bokongku sendiri, rasanya begitu tipis dan bertulang.

Usai membawa kembali tas dari penitipan, kami bergegas pergi berhubung hari sudah sore. Begitu tiba di luar mal, hujan turun, deras pula. Parahnya, kami tanggung sudah lari dan kini terjebak di depan kafe tutup, jauh dari mana-mana. Terpaksa kami menunggu sambil berdiri.

Aku, sih, tak ada masalah, tapi Nanda kelihatan kesusahan dengan ranselnya yang menggembung begitu. Jangan lupa kalau dia belum sembuh betul dari sakitnya juga.

“Gue bawain,” kataku.

Nanda menatapku dengan mata lebar, lalu menyerahkan ranselnya buat kugendong. Beginilah komentarnya: “Kamu ... malu-maluin.”

“Anjing.”

“Maksud aku ... kamu keliatannya konyol. Bawa dua tas. Satu punya cewek pula.” Nanda berjinjit dan meloloskan tas selendangku untuk dia kenakan. Dia mengernyit, melompat-lompat, lalu membuka isi tasku. “Kok enteng? Kamu niat sekolah, gak, sih?”

“Jangan samain gue sama lo yang gak tau jadwal.”

“Kok cuma buku tulis, sih?”

“....”

Lihat selengkapnya