Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #9

11 Tahun Lalu, Desember 2012 (3)

Ujian akhir semester datang, lalu lewat. Pekan olahraga antarkelas datang, lalu lewat juga. Aku merasa hampa, tapi tak tahu mesti mengisinya dengan apa.

Di pembagian rapot, aku dan ibuku duduk menghadap Pak Nurdin. Beliau bilang kalau nilai akhirku jelek (turun 2 peringkat) karena jarang mengerjakan PR dan pernah melewatkan UTS sekali, tapi nilai bahasa Indonesia-ku tertinggi di sekolah, lebih dari Safa sendiri. Pak Nurdin bilang kalau aku punya kelebihan dalam kreativitas (yang mana merupakan penyebab kenapa aku pemalas.) Pak Nurdin kemudian menawari ibuku untuk membaca ceritaku, yang mana segera aku hus-kan, berhubung aku jenis penulis yang tak pernah membiarkan tulisannya dibaca keluarga.

“Kamu SMA mau ke mana, Hab?” tanya Pak Nurdin.

Jawabaku adalah sebuah SMA yang paling dekat dan paling mudah dimasuki. Jujur saja, aku tak kelewat memikirkannya sama sekali. Aku tak tertarik dengan dunia akademik.

Pak Nurdin menggeleng dan melirik ibuku. “Tipikal anak cowok, Bu—dewasanya kesiangan. Mereka baru sadar apa yang mereka pengen pas udah telat.”

Padaku, Pak Nurdin berkata, “Kamu gak pengen masuk ke sekolah yang lebih bagus, apa? Ikut sama Nanda, misal?”

“Wah? Gak, gak, gak. Mana bisa saya ikut-ikutan Nanda.” Pilihan sekolah si gadis adalah SMA favorit yang isinya kutu buku semua. Aku jadi murid idiot bila sekelas dengan mereka.

“Nanda siapa?” tanya ibuku.

“Si cewek ikan,” sahutku.

“Dia pinter?”

“Mungkin gara-gara omega-3.”

“Gimana, ah! Kan kamu sendiri tukang makan ikan!”

“Habil Ibu itu pinter, saya yang jamin. Ibu udah besarin dia dengan baik,” Pak Nurdin berkata. “Sayangnya, dia gak punya disiplin, dan jujur ... itu lebih penting ketimbang kecerdasan. Disiplin—di kalangan anak cowok, terutama yang kayak Habil—gak bisa dipaksain. Mereka tipe yang ngeberontak waktu ngerasa diopresi. Motivasi harus muncul sendiri, dan biasanya karena ada hal yang mereka pengen.”

Pak Nurdin bicara padaku. “Jadi, Habil ... apa yang kamu pengen lakuin? Apa cita-cita kamu? Apa yang kamu mau buat di masa depan?”

Aku diam untuk beberapa saat, lalu menggeleng. “Saya gak tau, Pak,” dustaku.

***

Selesai pembagian rapot, aku tinggal di kelas, duduk terbalik di kursi dan menatapi pohon impian. Impian. Adalah sebuah kata yang menggelikan. Hanya anak SD yang punya impian. Di dunia orang dewasa, hanya ada tanggungan dan kewajiban.

“Apa impian lo waktu kecil?” tanyaku.

“Dokter,” jawabku.

“Serius? Kenapa?”

“Konfigurasi default? Emang anak SD punya pilihan cita-cita apaan lagi selain polisi, dokter, guru, sama tentara?”

“Pemain sepakbola?”

“Oh, bener juga. Imajinasi anak bocah sempit banget.”

“Mana ada. Imajinasi bocah itu paling luas. Sayangnya, kalo kita bilang punya cita-cita jadi penyanyi, aktor, atau presiden, kita bakal diketawain. Mimpi itu selalu dianggap konyol dari dulu.”

“Penasaran apa Nanda gitu juga waktu kecil. Sejak kapan dia pengen jadi psikolog? Apa alasannya? Pasti ada ceritanya.”

“Gak penting. Yang penting itu, apa yang lo pengen?

“Gue pengen bahagia.”

“Tapi apa yang bikin lo bahagia?”

“Gak tau. Manusia gak simpel. Manusia pengen banyak hal, dan dilema antara dua keinginan itu udah kayak bagian dari sehari-hari.”

“Macem kata Nanda, bayangin aja lo punya lampu ajaib yang bisa ngabulin satu permintaan. Apa yang bakal lo minta?”

“Lo pikir itu metode cacat logika, gak, sih?”

“Maksudnya?”

“Hidup gak sesimpel itu. Gue gak yakin kalo ngejar keinginan secara langsung bakalan bikin kita bahagia. Gue pikir bahagia itu sesuatu yang muncul dari syukur, kompromi, dan kesederhanaan.”

“Macem kata Nanda, lo ngomong gitu sebab lo takut gagal dan males berusaha. Lo pura-pura jadi realistis, padahal lo cuma gak punya nyali doang. Sekarang gue tanya, kalo semisal lo gak punya rasa takut, kalo semisal lo gak punya rasa males, apa yang bakal lo lakuin?”

Aku terdiam, tak mampu menjawab.

“Dalam hidup, kita memang tak bisa mendapatkan semua yang kita mau,” kataku, mengutip Antipode, “tapi kita bisa mewujudkan satu yang paling kita inginkan.”

Lima detik kemudian, aku berdiri, mencabut kertas impianku, menyobeknya, lalu membuangnya ke tong sampah.

***

Aku masuk perpustakaan dan menghampiri Pak Nurdin yang sedang membaca di mejanya. “Saya pengen jadi penulis,” kataku. “Itu impian saya.”

Begitu aku mengatakannya, aku langsung menyesalinya. Ngelantur apa pula ini bacot? Tak ada salam, tak ada basa-basi, tiba-tiba saja bilang mimpi. Tentunya Pak Nurdin bakal pikir aku sedang kumat.

“Waktu saya seusia kamu, saya juga bilang begitu,” kata Pak Nurdin, wajah belum berpaling dari bukunya. “Dan guru saya bilang, Nurdin, itu gak beda jauh sama judi, cari kerjaan yang pasti-pasti.

Aku termenung sejenak, “Gak papa, saya bisa terima risikonya.”

“Kamu bakal hidup miskin. Beda sama kerjaan lain, sukses sebagai penulis gak berarti uang—itu pun kalau kamu sukses.”

“Gak papa, saya terima risikonya.”

“Kamu mungkin bisa, tapi gimana sama anak-istri kamu nanti? Kamu tega biarin mereka hidup susah demi cita-cita kamu?”

Aku meragu agak lama di sini. Aku mengingat gairah yang kurasa saat menulis cerita pertamaku, dan aku menginginkannya lagi. “Gak papa, saya bisa ngelajang.”

“Kamu yakin? Kamu gak pengen berkeluarga?”

“Pengen, tapi kalo itu bayarannya, saya bayar. Itu sepadan.”

Akhirnya, Pak Nurdin mendongak juga, seringai di mulutnya. “Saya selalu mikir kamu punya karakter seniman, Habil.”

“Itu bagus?”

Gak.

“....”

“Jadi, kamu udah mulai nulis?”

“U ... dah.”

“Gimana?”

“Delapan ribu kata. Terus buntu.”

Pak Nurdin tertawa. “Itu namanya WB—writing block. Mandek, kalo kata saya. Tanda-tanda kamu udah jadi penulis serius. Selamat.”

Aku sama sekali tak senang diberi ucapan selamat macam itu. “Bapak mau baca drafnya?”

“Huh? Oh. Jangan, jangan! Jangan dikasi liat siapa-siapa!”

“....”

“Lebih bagus lagi kamu jangan ceritain ke siapa-siapa juga. Tapi gak apa. Kamu belom ngomong soal plot ato idenya. Itu riskan banget.”

“Riskan gimana, Pak?”

“Ceritanya bisa gak beres-beres.”

“....” Aku mengernyit. “Saya ... gak beres nulis, gitu?”

“Percaya. Masalah penulis itu bukan soal nyari ide bagus ato nyusun diksi puitis, tapi soal beresin apa yang udah mereka mulai.”

Entah kenapa aku jadi takut. “Bisa Bapak ... ajarin saya?” tanyaku malu-malu. “Kalo lagi gak sibuk?”

Reaksi Pak Nurdin lebih positif dari yang kupikir. Saat itu aku belum memahaminya, tapi kini aku berbeda. Sudah menjadi naluri manusia untuk meninggalkan sesuatu dari dirinya sebelum dia mati. Normalnya peninggalan ini dalam bentuk keturunan—seseorang yang mewarisi tubuh kita. Tapi ketika yang ingin kau wariskan adalah isi kepala, maka murid adalah jawabannya. Mereka adalah anak dengan ikatan akal alih-alih darah, seseorang yang berpikir macam kita alih-alih berwajah macam kita.

Sampai sekarang aku masih ingat pelajaran pertama yang Pak Nurdin berikan padaku. Sesuatu yang begitu mendasar dan penting. Sesuatu yang menjadi fondasi dari menulis.

Cobalah kau datang ke seminar menulis atau beli buku tentang hal tersebut. Apa yang kau dapat kemungkinan besar adalah tentang hal teknis. Cara buat plot. Cara buat karakter. Cara buat kerangka. Cara buat kalimat. Cara revisi. Itu semua tak salah, tapi menyesatkan, sebab masalah utama menulis bukanlah perkara membuat cerita melainkan menyelesaikan cerita.

“Pertama-tama, kamu harus sadar kalau bahasa itu suara dan bukan aksara—tulisan baru ditemuin belakangan ini. Dari sana, kita bisa simpulin kalau dasar semua cerita—entah itu cerpen atau novel—adalah dongeng lisan.”

“Itu ... penting, Pak?”

Banget. Manusia itu punya dorongan untuk berkomunikasi, Hab, sama halnya kayak kita punya dorongan buat makan. Kita punya insting untuk bicara, sehingga waktu kita ngobrol sama temen kita, kita gak pernah tuh ngerasa mandek ato bosen. Sekarang, menurut kamu, apa syarat dari komunikasi yang seru?”

Aku merenung sejenak. “Audiens?” tebakku, sebab tak asik untuk mengobrol dengan angin.

Pak Nurdin tersenyum. “Cerdas. Kamu udah bener, tapi kurang tepat. Nulis itu gak punya audiens konkret, makanya sering gak memotivasi. Tapi gimana sama pidato? Kamu punya audiens, tapi tetep aja gak banyak orang yang mau lakuinnya.”

“Audiensnya mesti tunggal?”

“Dan mesti spesial juga, bukan orang random, apalagi orang yang kamu benci. Sependiem apa pun manusia, dia pasti selalu punya seseorang yang pengen dia ajak ngobrol. Dia gak perlu disuruh atau dipaksa, dia punya hal yang pengen dia sampein, dan dia bakal lakuin itu dengan senang hati.”

Aku menyipit. “Saya waktu nulis Antipode gak pake beginian bisa aja.”

“Kamu asyik nulis Antipode, Hab?”

Aku mengangguk.

“Kamu yakin kalau itu cerita bukan sesuatu yang pengen kamu sampein ke seseorang?”

Aku membuka mulut, berpikir, lalu urung bicara. Dia benar. Antipode adalah sebuah debat.

“Gini, waktu kamu nulis, kamu gak berhadapan sama angin, tapi sama pembaca khusus kamu. Kamu lagi mendongeng ke dia lintas ruang dan waktu. Gak ada siapa-siapa lagi, cuma kamu sama dia, jadi sampein semua hal yang pengen kamu sampein ke dia, dan kamu gak bakal pernah mandek lagi, kayak kamu kalo lagi ngobrol sama perempuan yang paling kamu suka.”

***

Saat mengikat tali sepatuku di teras perpus, aku diterjang anak setan .... Ralat. Lebih tepatnya, adik setan, yang kurang lebih masih setan juga, hanya dalam versi kecil dan feminin.

“Berita baik!” umum si setan kecil sambil membusungkan dada dan berkecak pinggang. Aku yang sedang kesakitan dia abaikan. “Di luar dugaan, nilai abang aku ada perkembangan. Rupanya eh rupanya, duduk sama Abang Habil emang ada pengaruh buruk sama dia.”

“Bisa gak lo muncul pake cara yang lebih adem?” pintaku dengan baik-baik.

“GAK BISA!” serunya dengan jahat-jahat. “Aku cewek hot! Gak bisa jadi adem! Aku bikin gerah setiap cowok yang liat aku!”

“Gerah pengen nonjok.”

Rintik nyengir dan membantuku buat berdiri. “Abang ranking berapa?”

“Tujuh.”

“Sama dong! Aku ranking dua ‘lapan.”

“Lo budek apa cuma gak paham konsep bilangan bulat aja? Dua ‘lapan sama tujuh dari mana samanya coba?”

“Dua ‘lapan itu ranking tujuh dari yang terakhir.”

“Dipikir-pikir lo bikin gemes juga, ya?”

Rintik merona tersipu.

“Bukan maksud gemes yang ‘ntu, ampas.”

“Abang udah putus sama Mbak Safa?”

“Lo kalo ngebacot beneran gak pake embargo, ya?”

“Embargo teh apaan, Bang?”

“Inhibisi.”

“Bisa ... pake bahasa yang lebih manusiawi? Aku bukan Mbak Nanda.”

Prohibisi. Represi. Restriksi.

Rintik menggeplak kepalaku. “Kalo belom ya bilang aja belom. Ribet bener.”

Aku ganti menginjak bokongnya. “Sopan dikit ama senior.”

“Bang! Astaga!” Rintik melompat dan mengusap cap sepatu di pinggulnya. “Pelecehan seks, tau!”

“Lo ngomong kek yang baru pertama gue jamah aja itu bokong.”

“Mau kedua, ketiga, ato keseratus juga gak jadi bener! Makin parah yang ada! Tubuh perawan aku ternoda!” Rintik manyun. “Kalo udah gini, Abang mesti tanggung jawab.”

“Lo bunting dulu baru gue tanggung jawab.”

“Abang kritik orang aja bisa, padahal bacot sediri gak diembrio.”

Embargo, dodol. Embrio mah fetus.”

“Fetus teh apaan, Bang?”

“Mudigah.”

“Si anjing. Bahasa planet keluar mulu. Gue naksir alien apa gimana, sih?”

Aku tersenyum tanpa bisa ditahan. Dengan Nanda, aku bebas untuk bicara soal hal-hal aneh: filosofi, psikologi, politik, moral, ideologi. Rintik tak punya ketertarikan akan hal-hal tersebut. Dia tak punya ketertarikan akan semua hal yang berbau teoritis. Kelebihannya adalah kau bisa bicara macam si gadis adalah laki-laki, dan dia tak bakal keberatan sama sekali. (Malah, kau harus bicara dengan gaya itu andai ingin omonganmu sampai padanya.)

Aku berjalan buat pulang. Rintik membuntut dari belakang.

“Bang. Ayo nge-date.” Lagi, si setan kecil mengeluarkan pernyataan super random yang bisa jadi skandal andai sampai ke kuping orang. “Banyakan murid udah pada pulang ini. Gak bakal ketauan. Jamin.”

“Anak kecil dilarang ngedate-ngedate.”

“Aku udah kelas delapan, Bang.”

“Gue masih kelas sembilan.”

“Tapi Abang udah bisa hamilin orang, kan?”

“Secara teknis iya. Secara etis ... lo pengen gue jadi korban sodomi napi di penjara, ya?”

“Kalo suka sama suka mana dipenjara, Bang.”

“Kalo gak dipenjara, gue dihajar warga. Koit nyawa. Mending mana?”

“Bang. Jomblo kapan?”

Auk.”

“Jangan pas kelulusan dong, Bang. Beda sekolah nanti. Gagal mesra-mesraan kita.”

“Sekolah bukan tempat mesra-mesraan.”

“Tempat apa, atuh?”

“Tempat bermain.”

“Kalo gak termasuk bermain, mesra-mesraan termasuknya apa?”

“Bermukah.”

“Eeh ... kalo aku nanya bermukah apaan, Abang jawabnya gimana?”

Aku ingin bilang fornikasi, tapi berhubung gerbang sudah dekat, kuputuskan untuk memberi adik kelasku sedikit ilmu bahasa. “Berzinah.”

“... Serius?”

“KBBI ada di perpus.” Aku berbalik dan angkat satu tangan. “Gue balik dulu. Dah.”

“Bang, aku serius.” Rintik memelankan suaranya yang biasa serupa toa itu. “Aku pengen jadian sama Abang. Kalian pacaran udah dua taun? Abang gak bakal putus sama Mbak Safa, apa gimana?”

Sejenak, aku kehabisan kata-kata. Atau setidaknya, kata-kata yang tulus, yang bukan sekadar candaan atau bunga bahasa. “Aku gak tau,” sahutku akhirnya.

Rintik cemberut. “Abang bakal kesinggung, gak, kalo aku sebut pengecut?”

Aaaah ... yang barusan itu sakit. Akan tetapi, rasanya tak asing sama sekali. “Lo bakal kesinggung gak kalo dituduh demen sama pengecut?” tanyaku, kembali ke retorik buat mencari perlindungan.

“Kesinggung,” cetusnya. “Makanya, jadi cowok berani dikit.” Lalu dia pun kabur.

Nanda muncul.

Aku nyaris menjerit histeris saking kagetnya. Si gadis menjelma begitu saja di sampingku. Wajahnya datar dan tawar, jadi aku tak usah tanya apa dia lihat aksi badboy-ku atau tidak.

“Bilang soal ini ke Safa,” celetuknya.

“Hah?”

“Bilang ke dia kalo ada cewek lain yang naksir ke kamu.”

Aku mengernyit. “Gak berarti gue balik naksir juga, kan?”

“Bilang aja apa susahnya, sih?” Nanda menghela napas dan mengusap wajah. “Kamu pengecut.”

“Berita basi.”

“Aku serius. Kamu ... bisa jadi orang yang keren banget, Hab. Kamu pinter, kamu baik, kamu peka. Rendah hati, gak egois, peduli sesama. Kreatif, inovatif, toleran. Kamu kayak nama kamu banget: bestari.” Tangan Nanda turun perlahan seolah habis tenaga. “Tapi kalo kamu pengecut, kalo kamu gak punya nyali, kamu bisa jadi orang payah. Lebih buruk lagi, orang jahat.”

“Peduli lo apa?” Secara intelektual, aku tahu aku yang salah; tapi secara emosional? Aku serasa dicemooh. Sayangnya aku tak cukup marah untuk tetap begitu. Sedetik kemudian aku sadar, lalu malu datang menyerbu.

Nanda sedikit terbeliak, tampak terkejut, lalu tersakiti. “Aku peduli,” katanya perlahan. “Lebih dari yang kamu pikir,” tambahnya pelan. “Lebih dari ... kamu peduli aku juga, kayaknya.”

***

Besok bakal canggung, aku berpikir, lalu tersadar, tak akan ada besok. Kami sudah memasuki libur semester. Selama dua minggu aku tak akan bertemu lagi dengan Nanda. Lega? Tidak sama sekali. Lebih buruk, malah. Setidaknya konfrotasi menyelesaikan masalah. Lah, begini? Liburku malah cuma bakal rusak belaka.

Lihat selengkapnya