Kami sembunyi di sebuah kandang domba—atau bekas kandang domba, berhubung bangunan itu sudah terbengkalai ketika ditemukan, dengan separuh kayu yang lapuk, atap terlilit sirih liar, genting berat oleh lumut. Bagian bawahnya tak layak ditinggali (baik untuk gelandangan apalagi domba), tapi bagian langit-langitnya masih kering dan kokoh, terlindung baik dari penglihatan dan cuaca. (Ini agak menyebalkan. Di dalam bahasa daerahku, baik kandang domba dan langit-langitnya memiliki sebutan tersendiri.)
Petang menjelang, tanganku mulai sakit. Malam harinya, aku demam. Esok pagi, jariku bernanah. Anying adalah satu-satunya hal yang bisa aku katakan. Anying si Husen yang buat tanganku patah. Anying kehidupan yang tiada henti menumpahkan masalah. Anying diriku yang menyalahkan orang lain.
“Ayah kenapa?” tanya Nasuha. Aku tak tahu apakah dia kahawatir atau cuma penasaran atau keduanya sekaligus.
“Infeksi,” kataku, coba menguatkan pikiran. Tubuhku lemah, finansialku juga, reputasiku apalagi; setidaknya, aku ingin pikiranku kuat. Pikiran adalah satu-satunya hal yang Tuhan lebihkan untukku ketimbang orang lain.
“Infeksi itu apa?”
“Simpelnya, kuman masuk ke luka.”
“Kuman masuk ke luka kok badan yang panas?”
“Panjang ceritanya.”
Nasuha terdiam. Aku kaget, tentu saja—dia tak pernah menyerah untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Kubuka sebelah mataku dan kuintip si bocah yang bersila dengan tak nyaman, wajah menunduk.
“Demam itu bukan penyakit,” terangku.
Nasuha mendongak senang dan beringsut mendekat. “Itu gak masuk akal, Ayah. Demam itu penyakit. Demam itu bikin sakit.”
“Secara morfologi lo bener, tapi ini sebab bahasa Indonesia menganut filosofi kesederhanaan. Kita banyak gunain satu kata untuk segala guna.”
“Morfologi apaan, Yah?”
“Ilmu yang mempelajari bentuk kata, kayak sakit jadi penyakit. Sakit itu adjektiva. Kita tambahin imbuhan pe- buat ngubah dia jadi nomina yang mengacu pada pelaku.”
“Adjektiva apaan, nomina apaan, pelaku apaan?”
“Oke. Macem biasa, kayaknya. Dari awal.”
Nasuh terkikik. “Ini beda dari biasanya. Bukan sains.”
“Ini masih sains. Selama diinvestigasi pake metode saintifik, apa pun juga sains. Nama cabang ilmunya linguistik.”
“Ilmu yang ngatur tata cara berbahasa?”
“Hah? Gaaak. Cara berbahasa gak bisa diatur linguistik kayak gravitasi gak diatur hukum Newton. Linguistik ilmu yang nyelidiki tata cara berbahasa.”
“Gak ada bedanya.”
“Beda. Ngatur itu berarti buat dari awal, sementara nyelidiki itu berarti cari tahu apa yang udah ada dari dulu. Oleh sebab itu, ilmu lingustik mesti selalu up to date sama praktik berbahasa di lapangan, bukan sebaliknya.” Aku mendadak tertawa dan buat Nasuha melotot takut. “Gak, gak papa. Cuma keingetan ... kenangan yang lucu. Nyampe dari mana tadi?”
“Adverbia apaan, nomina apaan, pelaku apaan?”
“Oh, bener. Panjang ingetan, lo. Yang tadi itu kelas kata. Ada tujuh kelas, tapi gak usah dibahas semua. Yang paling penting dari yang tujuh ada dua: nomina sama verba. Nomina itu nama untuk benda sementara verba itu nama untuk prilaku nomina. Orang berlari, misalnya. Orang itu nama benda, berlari itu nama prilaku yang orang perbuat. Simpel?”
Nasuha mangut.
“Gak juga.”
Nasuha manyun.
“Tai itu nomina atau verba?”
“Nomina.”
“Kalo pikiran?”
Nasuha terdiam.
“Nomina. Pikiran itu benda.”
“Pikiran gak bisa dipegang!”
“Kamu mesti inget kalo yang diamati sama ilmu linguistik bukan dunia realita, tapi dunia mental. Tai jadi nomina bukan karena dia benda di dunia nyata, tapi sebab dia benda di dunia mental. Hantu gak ada di dunia nyata, sama kayak pikiran—tapi di dunia mental? Itu disebutnya benda abstrak.”
“Okeeee. Paham.”
“Kencing? Nomina ato verba.”
Nasuha menatapku curiga, tahu aku menjebaknya. “Nomina?”
Aku menggeleng.
“Verba?”
Aku menggeleng, lalu tertawa melihat putriku berkerung sangar. “Kadang satu kata bisa punya dua arti, kayak ... bisa. Arti satu mampu, arti dua racun. Tergantung konteks. Fungsi kata juga sama, kadang bisa ganda, tergantung konteks. Dalam kalimat, Nasuha kencing, kencing adalah verba. Dalam kalimat, Kencing Nasuha, kencing adalah nomina.”
“Gak jelas. Gak masuk akal. Kok kayak yang … sembarangan gitu? Gak ada aturan.”
“Kultur emang selalu absurd. Makanya banyak orang yang coba bikin bahasa sintetis yang lebih logis—tapi itu buat cerita yang lain. Kita lanjut ke dua kelas kata berikutnya, adjektiva sama adverbia.
“Dua kelas kata yang tadi fungsinya agak beda sama nomina-verba. Mereka gak berdiri sendiri. Fungsi mereka buat memodifikasi kata lain. Adjektiva modifikasi nomina, sementara adverbia modifikasi semua kelas kata, termasuk adjektiva.”
“Haduh ... kacau.”
“Nasuha itu kata nomina. Kita bisa modifikasi itu pake kata cantik—Nasuha cantik. Cantik di sana itu adjektiva, penambah keterangan.”
Nasuha mengangguk hikmat, entah karena dia paham atau karena dia setuju dengan contoh kata yang kuambil. “Nasuha sangat cantik. Sangat itu adverbia.”
Aku mengangguk. Dia paham rupanya.
Nasuha menambahkan, “Sakit itu kata adjektiva. Buat dijadiin nomina, kita tambahin pe- di depannya, penyakit, yang mana mengacu pada konsep yang menyebabkan sakit—alias pelaku.”
Oh, benar. Kita sedang membahas itu tadi. “Macem yang gue bilang, itu secara morfem. Tapi macam yang gue bilang juga, linguistik itu absurd. Kadang makna kata gak bisa ditebak lewat susunannya.”
“Kayak kuda laut.”
“Iya.”
“Jadi, maksud Ayah bilang demam bukan penyakit itu apa? ‘Penyakit’ definisinya apa?”
“Sesuatu yang menyebabkan gangguan kesehatan. Dalam bahasa Inggris, sakit disebut ill, sementara penyakit disebut disease.”
“Demam bukan gangguan kesehatan?”
“Bukan. Kalo gitu kita keluar dulu dari ranah linguistik dan masuk ke biologi sama fisika.”
“Fisika?”
“Ya semuanya nyambung. Gak bisa dipisahin. Pertama-tama, demam. Demam itu reaksi tubuh buat lawan penyakit. Kayak kalo orang nemu ular, terus dia lompat. Bukan ular yang bikin dia lompat, tapi reaksi dia sendiri buat hindarin ular.”
“Kenapa kalo orang sakit mesti demam? Emang ada fungsinya?”
“Sama kayak kenapa kita masak makan.”
Nasuha berpikir sejenak, lalu mata besarnya melotot, membulat dan bercahaya. “Pemecahan protein!”
“Iya.”
“Panas itu getaran atom, getaran buat senyawa renggang dan pecah. Demam bikin kuman mati!” Nasuha petakilan, dilanda banjir adrenalin. “Kalo gitu deman gak boleh disembuhin!”
“Iya. Anak pinter.”
“Peluk!” Dan Nasuha memelukku. “Biar makin panas! Biar cepet sembuh!”
Rasanya gerah bukan main dan si bocah baunya asem sekali. Anehnya, aku tak memberontak.
***
Esoknya, penyakitku kian parah. Lukaku melebar, berubah jadi borok yang berbau busuk. Dalam kelinglungan pikiran, aku ketakutan. Aku takut tak bisa menulis lagi. Kemudian aku merasa geli. Aku memang sudah tak mampu menulis lagi bahkan ketika tanganku baik-baik saja. Aku memang sudah kehilangan tujuan hidupku.
Infeksi ini membunuhku. Ada makhluk asing yang menggerogoti tubuhku. Sistem imun coba melawan, tapi mereka tak menemukan apa pun untuk dijadikan energi; tidak lemak dan tidak gula, hanya protein. Maka diambilan protein. Tubuhku memakan dirinya sendiri.
Aku sempat bermimpi tentang masa kecilku. Kali ini bukan ketika SMP, melainkan lebih jauh lagi, saat SD. Di dalam mimpi, aku demam juga. Aku dirawat ibuku. Dia tampak jauh lebih muda dari yang terakhir kuingat, cantik dan lembut, kulit kencang tanpa kerutan.
Aku membuka mata, dan ibuku digantikan oleh sosok yang lebih muda lagi. Dia memaksaku untuk minum, lalu menyuapiku dengan sesuatu yang manis. Aku nyaris lupa bagaimana itu rasa manis. Bukan barang mewah, aslinya, hanya ubi biasa. Diberi asupan layak, tubuhku membaik.
Baru esoknya aku sadar kalau Nasuha mencuri ubi itu dari kebun orang. Aku tak memarahinya. Aku tak tega. Sebab apalagi yang mesti dia perbuat? Akulah yang salah sebab tak mampu memberinya banyak pilihan. Nasuha sendiri sepertinya sadar dengan apa yang dia perbuat, dan dia terus menunduk sejak aku bangun, terlihat malu dan takut. Aku mengusap kepalanya.
“Gue belum cerita soal cerita pertama gue,” kataku.
Nasuha mendongak, lalu beringsut mendekat, telinga lebar dipasang baik-baik.
“Ini cerita gue buat pas gue masih SMP,” runtutku, “waktu gue baru kelas tiga. Itu berarti ... 11 tahun yang lalu.” Tuhan. Rasanya macam baru kemarin. Aku kerap mendengar istilah serasa baru kemarin dari para orang tua, tapi aku tak menyangka akan mengalaminya sendiri. Sama sekali tak menyenangkan, buat bulu kuduk merinding, seolah ada waktu yang dicuri dalam hidupku.
“Yah?”