Tak ada asyiknya membaca cerita tentang orang yang kontes menunggu, jadi izinkan saya untuk meringkas kejadian-kejadian berikutnya, demi kewarasan kita bersama dan kelestarian pohon di dunia.
Selama beberapa minggu, aku datang ke kampung Rintik. Tak banyak hal yang kulakukan; hanya mengawasi, lalu mundur. Sesekali aku menemukan penampakan Bobi, tapi tidak pernah dengan Rintik. Penasaran bagaimana bentuk setan kecil itu sekarang.
Waktuku lebih banyak dihabiskan untuk mengajari Nasuha. Putriku menyerap ilmu serupa liang kloset menelan tahi. Segala jenis materi dia konsumsi, mulai dari matematika (Yah, kenapa dua pangkat nol hasilnya satu?), geometri (Yah, kenapa nilai phi itu 3,14?), biologi (Yah, kenapa binatang harus bernapas pake oksigen?), etika (Yah, siapa yang mutusin nilai-nilai moral yang bener kalo tiap manusia punya kepercayaan beda?), hingga filosofi (Yah, kenapa Nasuh dilahirin?). Dia suka mempertanyakan postulat, mempertanyakan hal-hal yang orang lain anggap benar tanpa perlu dibuktikan. Dia amat suka dengan kata kenapa hingga membuatku sedikit ingin menggoroknya dan memutilasinya.
Sebab aku pikir bakalan menyesal bila benar-benar menyembelihnya (kehilangan tujuan hidup, kesepian, dan sebagainya), aku coba mencari cara untuk membungkam mulut itu walau hanya untuk sesaat. Ketika itulah aku mengajarinya catur. Aku membuat papan dan bidaknya dari kardus. Bukan sebuah mahakarya dan mungkin punya efek samping terhadap kesehatan mata jika dipandang terlalu lama, tapi setidaknya masih berguna. Nasuha amat menyukainya. Dia belajar dengan cepat. Hanya butuh waktu seminggu sebelum dia mendapat kemenangan pertamanya (harga diriku sedikit terluka, jujur saja.)
Cedera tanganku sudah sembuh, dan ketika itulah aku sadar kalau tiga bulan telah berlalu. Tiga bulan—lebih lama dari dugaanku, tapi tidak lebih membosankan dari perkiraan. Pakaian Husen kian butut dan butut saja sebab kupakai terus, tapi tak separah pakaian Nasuha, yang mana bahkan tak bisa diidentifikasi lagi oleh para ahli forensik sekalipun mereka berkerja sama dengan ahli arkeolog.
***
Malam itu, aku pergi ke kampung Rintik seperti biasa. Seperti biasa pula, Nasuha mengintilku macam anak itik. Ketika aku sampai, kudapati penjagaan di sana dipangkas hingga nyaris hilang sama sekali. Pasukan Bobi yang tersisa hanyalah empat preman pasar yang kerap terlihat berpatroli di dekat rumah Rintik. Aku tidak tahu dari mana si bangsat mendapatkan uang untuk menggerakkan massa sebanyak dan selama itu. Beberapa orang punya terlalu banyak uang hingga tak tahu mesti dibuang ke mana.
“Om Bobi kaya, ya?” tanya Nasuha.
“Kayaknya.”
“Dia pinter?”
“Pinter gak bikin lo jadi kaya. Pinter cuma bikin lo jadi aman.”
“Terus apa yang bikin orang jadi kaya?”
“Risiko,” kataku. “Bobi sedari dulu hidupnya emang penuh risiko.”
Nasuha diam sejenak. “Kenapa lebih banyak orang miskin ketimbang kaya? Bukannya kata Ayah alam itu selalu nyari keseimbangan?”
“Sebab inilah keseimbangan.”
“Gak paham.”
“Seimbang gak selalu berarti simetris. Di alam liar, jumlah predator selalu lebih sendikit ketimbang mangsanya—”
“Berapa?”
Selalu haus detail. “Predator 5-10% dari total populasi, mangsa 90-95%.”
“Kenapa?”
“Piramida ekologi. Konsumen tingkat atas selalu lebih sedikit ketimbang konsumen di bawahnya.”
“Iya, tapi kenapa?”
Aku menghela napas. “Katakanlah ada lima serigala dan lima domba di sebuah padang rumput. Apa yang terjadi?”
“Serigala makan domba.”
“Terus?”
“Terus ... domba abis ... dan serigala mati kelaparan?”
“Katakanlah dombanya jadi ada sepuluh. Apa yang terjadi?”
“Sama? Emang bakal lebih lama, sih, tapi ujung-ujungnya dombanya abis, kan?”
“Bener. Jadi, supaya seimbang, ketika serigala makan 5 domba, harus ada 5 domba yang lahir juga. Populasi ideal untuk mewujudkan siklus ini adalah 95 domba—alias 95% dari total populasi.”
“Ooooooooh ....”
“Udah, diem.”
“Kenapa?”
“....”
***
Kami sedang melewati jembatan ketika menemukan bungkusan keresek yang tergeletak di aspal. Aku membukanya dan mendapati sepotong kue di sana. Bentuknya sudah separuh hancur, tapi masih bersih dan segar, krim putih menyelimuti isian cokelat, sepotong ceri merah bertengger di puncak. Nasuha memintaku untuk membawanya pulang. Perlu diketahui, walau aku kerap menggeledah tong sampah, aku tak pernah memungut makanan dari sana, apalagi sampai memberikannya pada Nasuha. Aku tak bisa. Harga diriku bakal terluka luar biasa karenanya.
“Anggep ini hadiah ulang tahun Nasuh,” bujuk si bocah dengan wajah yang hendak menangis. “Yah, pliiiis!”
Pada tanggal 24 Februari kemarin, Nasuha berulang tahun yang ke-10. Dia minta diberi hadiah, yang terang saja aku tanggapi dengan sebuah kernyitan di dahi. Maksudku ... apa si bocah tak paham posisiku saat ini? Sayangnya, terkadang anak itu bisa jadi tak logis.
“Nasuh pernah datang ke ulang tahun temen sekelas,” si bocah mendadak curhat walau tidak ada yang bertanya. “Namanya Wulan. Wulan ini cantiiiiiik banget. Wulan juga pinter. Wulan punya ayah yang kerja jadi guru. Waktu ulang tahun, Wulan pake pakean bagus, renda-renda kayak tuan putri. Ayah Wulan kasih Wulan boneka beruang yang tingginya sepantaran aku; mamah Wulan kasih Wulan sepatu cantik warna merah.”
“Wulan ini, Wulan itu. Buat apa gue ngajarin lo pronomina kalo gak dipake?” komentarku masam. Aku ingin mengalihkan topik. Aku tak ingin mendengar cerita macam itu dari Nasuha.