Aku mengetuk jendela kamarnya. Awalnya pelan saja, berhubung takut membangunkan ibunya juga. Tak ada jawaban. Aku mengetuk lebih keras, lalu memanggil, “Nda? Nanda?” Lagi-lagi tak ada jawaban—atau tak dijawab?
Kalau mau jujur, aku tak terlalu berharap. Dua kali aku dicampakkan, yang terakhir lebih parah ketimbang yang sebelumnya. Jadi, apa prospek dari percobaan ketiga? Tidak bagus. Bila melihat dari pola, maka ini harus berujung dengan lebih kacau.
Maksudku ... kenapa pula aku berasumsi bahwa Nanda masih tinggal di sini, di kamar ini? Dan andai memang demikian, kenapa pula pula aku berasumsi bahwa dia masih tidur sendiri? Besar kemungkinan ketika tirai dibuka, bukan wajah Nanda yang muncul, melainkan sosok seram berkumis brewok. Sebentar. Kenapa pula pula pula aku berasumsi kalau pria itu akan berkumis brewok? Tak ada Gen-Z yang memelihara kumis! (Kecuali aku, mungkin, dan itu pun masih bisa dipersoalkan, berhubung bulu di wajahku lebih jatuh ke diliarkan ketimbang dipelihara.)
Akan tetapi, waktu itu, semua hal tersebut tak terlintas di benakku. Ada seorang bocah di pangkuanku; dari bokongnya, keluar tinja cair yang punya dua warna. Aku ketakutan, aku panik, aku putus asa. Sambil terisak-isak, aku kembali memanggil nama Nanda. “Jangan jadi orang asing. Itu janji kita, kan? Lo lupa?” Sedot ingus. “Nda? Plis tolongin gue.” Sedot lagi. “Gue gak tau mesti minta bantuan ke siapa lagi. Cuma lo yang bisa gue harepin.” Sedot. “Tolongin ... tolongin anak gue, Nda.”
Lalu tirai tersingkap. Wajah familier tampak di baliknya. Tidak sama persis dengan yang kuingat. Dia agak kurusan dan mengenakan kacamata. Kulitnya juga lebih pucat. Oh, sebentar, ralat. Itu bukan pucat alami.
Nanda pemberani, tapi bukan berarti dia tak merasa takut. Fitrahnya sebagai perempuan mungkin malah membuatnya lebih sensitif, terutama terhadap adegan horor macam ini (bayangkan rupaku yang sudah seram itu ketika dalam kondisi basah.) Nanda hanya memilih untuk melawan instingnya. Itu saja. Tampak tangan kecilnya yang gemetar dan mata besarnya yang membelalak, pelipis dibuliri keringat dingin. Begitu melihatku, si gadis langsung pegang jantung dan meringis kesakitan.
“Nda!” kataku penuh harap.
Nanda meremas dadanya, mengatur napas, lalu coba menatapku tepat di mata walau masih ketakutan. “Setan?” Maafkanlah dia yang bilang begitu, berhubung ini tengah malam dan hujan deras, dan wajahku juga tidak sedang terlalu tampan.
“Habil. Orang. Gue.” Maafkan sahutanku yang gelagapan pula.
“Habil?” Nanda kedengaran tak percaya. “Kamu ... gila?”
Aku menggeleng, tapi Nanda mengernyit. Tak ada orang gila yang mengaku gila. “Iya, gue gila,” ralatku cepat. Nanda akhirnya menghela napas.
“Ngapain kamu di sini, aheng?” tanyanya, suara teredam kaca dan hujan.
“Tolongin anak gue, Nda.” Aku memperlihatkan Nasuha yang terkulai di pangkuanku. “Dia ... dia sakit.”
Nanda bergegas membuka jendela. “Anak? Anak kamu?”
Aku mengangguk.
Nanda membuka mulut, hendak berkata, tapi matanya tak sengaja jatuh ke wajah Nasuha. Usai merenung beberapa lama, si gadis menyipit. “Kamu mesti maklumin aku kalo aku nanya gini ... kamu gak ada niat aneh-aneh, kan?”
Aku menggeleng frustrasi. “Gak! Sumpah! Iket gue kalo gak percaya.”
“Okeee.” Nanda mengangguk pelan. “Aku ... percaya.” Dan ketika dia bilang percaya, itu berarti dia masih curiga tapi memberanikan diri untuk ambil risiko. “Awas aja kalo bo’ong. Gak bakal aku maafin seumur hidup.”
***
Nanda membuka pintu rumahnya sedikit. Mata bulatnya mengintip. “Keberatan aku bawa senjata buat jaga-jaga?” tanyanya segan.
Aku menggeleng. Si gadis keluar dengan takut-takut, pisau teracung di tangannya. Bukan pisau sayur, tapi pisau daging, lebar dan berat, jenis yang bisa memotong tulang bila dibacokkan. Tapi, hei! Orang mesti sensibel. Dilihat dari sudut pandang Nanda, aku adalah ancaman, dan tak salah sama sekali untuk mengurangi probabilitas akan risiko. Jika aku pikir-pikir sekarang, aku tak bisa memutuskan apakah gadis itu nekat atau memang baik saja.
Nanda menyuruhku masuk. Begitu aku menidurkan Nasuha di kursi, aku menangis. Nanda mendesakku untuk menjelaskan situasinya, jadi aku berusaha bicara di sela-sela isakan, suatu usaha yang sama sekali tidak produktif.
“Jangan nangis!” Mungkin gara-gara itu, Nanda jadi iba dan menaruh pisaunya di lantai. “Cowok kok nangis. Udah, udah! Sekarang, ngomong yang jelas.”
Masih agak terbata-bata, aku mengatakan situasinya sebisaku: keracunan, disentri, dehidrasi, muntah, darah ....
“Ambilin handuk sama kotak P3K. Sama air. Sama gelas. Sama sendok.” Nanda membuka mulut Nasuha. “Lidahnya udah bengkak. Buruan.”
Aku bergegas ke dapur, tapi berhubung aku tak kenal tata letak ruangannya, aku ngaret—kondisiku yang panik sama sekali tidak membantu. Ketika aku kembali, kulihat Nanda yang sedang melepas kepompong Nasuha.
“Bikinin air anget seember.”
Aku balik ke dapur, lalu ke ruang tamu lagi.
Selesai memberi Nasuha oralit, Nanda mulai membersihkan tubuh si bocah. Aku sudah pening waktu itu. Kurang gizi, kurang tidur, dan kedinginan bisa membuat otak jadi begitu. Aku dilema antara takut dan khawatir, ingin mengecek kondisi kotoran Nasuha, tapi tak berani menghadapi realita. Dia berak darah.
Nanda mengernyit, kepala terteleng sementara mata terpaku ke tempat yang dibersihkan. “Habil, aku pikir—”
“Apa?” Aku panik, jantung meletup-letup.
“Bukan gitu.” Nanda merengut. “Dia mencret doang. Gak BAB darah.”
“Tapi itu darah!”
“Iya, aku liat, tapi—”
“Merah!”
“Iya Qabil dengerin dulu kenapa sii? Ini keluarnya bukan dari belakang!”
Aku bengong sejenak. “Terus dari mana?”
“.... Depan.”
Aku bengong lagi, lalu melongok. Pisau Nanda menyabet udara. Aku mundur. “Apaansi!” semburnya. “Dia bukan bayi lagi pun!”
“Bendera Jepang?”
“Haid, Qabil. Dan iya.”
“Dia baru sepuluh.”
“Dia udah sepuluh. Haid bisa mulai di umur sembilan.”
“Lo sendiri waktu umur berapa?” Mohon maafkan pertanyaan lancangku, Tuan-Tuan, Nyonya-Nyonya. Tentu saja haid bisa dimulai di umur sembilan. Aku tahu. Sayangnya, saat itu aku kurang konsentrasi. Aku cuma ingin menenangkan diri dengan mencari sampel acuan yang bisa dijadikan variabel kontrol. Tak ada maksud sama sekali untuk ikut campur adalam urusan perempuan.
Nanda melirik tajam. Andai dia sedang haid juga, mungkin sudah ditancapkannya bilah pisau itu ke batok kepalaku. Dia tipe perempuan yang tak sembarangan membahas topik macam ini.
“Aku pikir dia sakit parah bukan gara-gara diarenya doang,” kata Nanda. “Haid juga bikin hormon kacau. Dan dia tipe yang keluar darahnya cepet tapi banyak.”
“Nasuh,” kataku. “Dia namanya Nasuha.”
“Nasuha ... oke.” Nanda mencuri pandang ke arahku penuh arti. Dia menyelimuti Nasuha, memberinya batal, lalu menaruh kain di bagian pinggulnya. “Buat sekarang, kita kasih minum terus, abis itu coba bikin Nasuha makan sesuatu. Aku bakal masak bubur. Kalo besok gak baikan juga, kita ke dokter. Oke?”
“Oke,” beoku, lalu merayap dan mendekatkan wajahku ke wajah anak perempuanku. Aku bisa melihat hidung kecilnya kembang-kempis, dan itu membuatku sendikit tenang. “Makasih banyak, Nda. Sumpah.” Dan aku menangis lagi, kali ini bersama Nanda juga, yang merengek protes kalau dia menangis cuma gara-gara lihat aku menangis.
***
Aku bangun merasakan wajahku digelitik. Aku membuka mata, mendapati Nasuha yang menatapiku, jari tangannya bermain di pipiku. Dia masih tampak lesu. Dia bahkan tak bicara—Nasuha, si Paling Bacot, tak bicara. Aku menegakkan punggung dan mendapati tubuhku diselimuti handuk.
“Kamu boleh istirahat dulu kalo mau,” kata Nanda, yang entah sejak kapan ada di sampingku, membawa baki berisi mangkuk dan sendok dan tisu. “Biar aku yang urus Nasuha.”
“Dia gak bakal mau,” sahutku. “Dia bakal nangis kalo gue tinggal.”
“Yang nangis itu dia ato kamu?”
“Lo juga mewek tadi.”
“Itu normal. Aku takut, kunyuk!” Nanda memandangku dengan aneh. “Kamu beda banget. Maksud aku ... apaan itu bulu! Serem, tau!”
Aku mengusap brewok dan janggutku. “Gue juga gak pengen wajah gue ada bulunya, Nda, tapi da tumbuh sendiri.”
“Cukur, astaga!” Nanda menggeleng, mendepakku ke sisi, lalu tersenyum pada Nasuha. “Kamu udah bangun? Aku Mbak Nanda, temen ayah kamu waktu SMP.”
“Bukannya temen bapak disebutnya tante?” selaku, yang mana langsung kena pelotot. Tidak Nasuha tidak Nanda, wanita memang tak masuk akal.
“Kamu bisa makan?”
Nasuha tak menjawab dan cuma berkedip pelan.
Mulut Nanda melengkung ke bawah. “Uh, kasian banget, sih .... Pasti sakit, ya? Tapi kamu harus makan. Biar sembuh.”
Aku ambil posisi di belakang Nasuha dan mengangkat punggungnya pelan-pelan. Si bocah meringis dan hendak menangis.
“Qabil jangan kasar!” perongos Nanda.
Aku diam saja, sebab apa pun yang kukatakan, dia bakal balik merepet lagi.
Nasuha makan sedikit, itu pun nyaris dia muntahkan. Nanda memberinya oralit lagi, lalu si bocah kembali berbaring. Aku melirik keluar dan mendapati matahari belum muncul.
“Dia sepuluh taun, kamu bilang?” tanya Nanda.
“Bulan Februari kemarin dia ulang tahun.”
“Jadi, dia lahir pas ... kapan? Kamu kelas 1 SMA?”
Aku melirik Nanda.
“Jangan liat ke aku,” cetusnya.
“.... Kenapa?”
“Wajah kamu serem.”
“....”
“Kamu paling tau aku benci cowok gondrong. Kamu lebih dari gondrong—kamu brewok!”
“Mungkin maksud lo baplang.” Aku mengusap janggutku. “Brewok itu nama buat bulu di sebelah pipi, tapi orang sering salah pahamin artinya sama baplang.”
“Oh, banyak omong. Sedari kapan kamu jadi puris?”
“Puris itu berarti mempertahankan kemurnian bahasa, bukan keliru dalam penggunaan kosakata.”
Nanda menyipit. “Aku lupa kalo kamu demen ngelunjak.”
“Ini bukan ngelunjak, ini koreksi—”
“Gak penting. Aku udah denger kelakuan kamu.”
Aku terdiam, jantung meletup. Apa dia akan mengadukanku? Anehnya, andaipun memang harus begitu, aku tak keberatan. Dia menolong Nasuha. Itu yang terpenting.
Nanda mengangkat kacamata dan pijat pangkal hidungnya. “Ralat. Aku udah liat kelakuan kamu.”
“Liat?”
“Aku hadir pas nikahan Safa.”
“Eeh ... serius? Lo liat gue waktu ... itu?”
“Gak gitu juga, sih. Situasinya kacau banget, soalnya. Aku cuma liat gudang yang kebakaran. Itu beneran gara-gara kamu?”
“Iya,” kataku ringan. “Omong-omong apa jadinya seudah itu? Si Husen masih idup?”
“Masih. Jangan ngawur. Isi gudang semuanya kebakar, tapi apinya bisa langsung dimatiin. Untungnya, atap gudang pake dak, jadi kebakarannya gak nyebar.”
“Itu gak untungnya, menurut gue. Itu emang desainnya gitu: terpisah dari bangunan utama, jalur udara minim, material gak mudah kebakar. Itu kayak arah buka pintu sekolah ato posisi bak mandi.”
“Oh, bener. Aku pernah denger rumor kamu kuliah di sipil.” Nanda menoleh padaku. “Ada apaan sama hidup kamu, Hab? Ngapain kamu buat ulah begini.”
“Panjang ceritanya.”
“Sedari kapan cerita kamu gak panjang?”
Aku berpikir sejenak, lalu bilang, “Aku bakal ceritain nanti. Janji.”
“Masa? Aku gak percaya kamu.”
“Aku gak bohong,” bohongku.
“Kamu udah bo’ong, Habil. Kamu bo’ong ke aku.”
Aku mengernyit. “Kapan?”
“Idih! Mana lupa, lagi.” Nanda menggeleng, menolak memberi tahu. “Kita kesampingin itu dulu. Nasuha sakit kenapa? Kamu bilang dia keracunan?”
“Diracun.”
“Diracun!”
“Panjang cerita—”
“Ah, nyebelin, deh! Ceritain aja dulu yang nyangkut kesehatan dia!”
“Dia makan kue. Cuma dikiiiit, aslinya. Gue pikir itu diracun.” Aku merenung, amarah kembali tersulut. “Gue pikir itu dikasih barang najis. Bisa … bisa jadi ada … berak orang sakit di sana.”
Nanda merengut, tertular kemarahanku. Aku bisa melihat kalau dia mati-matian menahan diri untuk bertanya soal detailnya. “Kalo gitu, gara-gara bakteri, bukan virus.”
“Iya.”
“Dia mesti dikasih antibiotik, Hab.”
Aku terdiam. “Gue gak demen antibiotik.”
“Yaa ... antibiotik emang gak boleh sembarang dikasih. Kayaknya kita mesti bawa Nasuha ke dokter.”
Aku bersyukur punya brewok dan rambut yang gondrong. Saat ini, kemungkinan besar wajah dan telingaku merah semua. “Gue gak punya duit.”
“Kamu gak kerja?”
Aku menggeleng.
Aku bisa melihat rasa penasaran berkelebatan di wajah Nanda. Mata besarnya seolah-olah bertanya, Ada apaan sama hidup kamu, Habil? Untungnya Nanda masih bisa mengesampingkan hal itu. “Aku bisa biayain. Gak papa.”
Aku ingin menolak. Aku luar biasa ingin menolak. Rasa malunya benar-benar tak tertahankan. Andai yang sakit itu aku sendiri, mungkin aku benar-benar akan menolaknya. Aneh. Padahal aku tak merasa malu ketika menembakkan kencing ke teras gudang Safa.
“Gak usah,” sebuah suara berkata, dan itu bukan aku.
Nanda dan aku menoleh pada Nasuha. Si bocah masih membuka matanya, mungkin mendengarkan obrolan kami sedari tadi. Bibirnya tak terlalu kering lagi, tapi wajahnya masih pucat dan sakit.
“Mbak Nanda,” panggil putriku, suaranya lemah, tapi jelas dan sadar. “Gak usah bawa Nasuh ke dokter.”
Nanda membelai kepala si bocah. “Kenapa, Sayang?”
“Nasuh gak mau ngemis.”
Nanda melirik padaku dan melotot. Sudah berapa kali dia memelototiku semenjak kami bertemu lagi? Apa dia pikir akulah yang mengajari si bocah untuk mengatakan itu? “….” Aku kira memang aku—walau secara tidak langsung.
“Tapi kamu sakit, Sayang. Kamu mesti diobatin.”
“Kenapa?”
“Kenapa … gimana?”
“Kenapa Nasuh mesti diobatin?”
Dan inilah dia, kenapa-kenapa-kenapa™, selogan khas milik PT Nasuha Tbk. Aku senang sekali ada orang lain yang sebentar lagi akan merasakan penderitaan yang sama denganku.
“Karena … kamu sakit,” sahut Nanda ragu.
“Terus kenapa kalo sakit mesti diobatin?”
“‘Ntar makin parah.”
“Terus kenapa kalo makin parah?”
“Mati.” Nanda memberengut, lalu mendelik padaku. Kamu ajarin apa ini anak? Itulah yang mata besar tersebut katakan.
“Terus kenapa kalo mati? Orang gak boleh mati, kah? Mati itu dosa? Mbak gak bakal mati?”
“Kamu masih anak-anak, Sayang. Gak wajar orang mati kalo masih muda.”
“Definisikan wajar.”
Tebak apa? Nanda menoleh lagi padaku. Apa dia pikir aku ini iblis? Sang sumber segala kejahatan dan kenistaan di dunia? Eksistensi yang bisa disalahkan untuk semua kesesatan? Jujur saja, aku tak setuju dengan argumen itu. Adam dan Hawa diusir dari surga bukan karena iblis. Manusia harus bertanggung jawab untuk aksi mereka sendiri.
“Wajar itu … keadaan apa adanya. Keadaan natural. Gak dibuat-buat. Gak berlebihan, gak kekurangan.”
“Itu definisi samar. Siapa yang nentuin keadaan natural? Siapa yang nentuin berlebihan sama kekurangan? Mbak Nanda yang nentuin? Terus apa yang bikin Nasuh gak punya hak nentuin keadaan natural punya Nasuh sendiri?”
“Orang rata-rata meninggal di usia 75 tahun, Nasuh.”
“Rata-rata? Oh. Maksud Mbak, kita liat acuan dari mayoritas, gitu? Tapi orang kebanyakan itu bodo, Mbak. Berarti pinter itu salah, dong. Gak wajar.”
“Nanda,” kataku, menahan tawa. “Jangan anggap dia anak-anak. Dia bakal paham semua yang lo omongin. Kalo pun enggak, dia bakal nanya, dan lo tinggal jelasin.”
“Okeh.” Nanda menarik napas, pipi putihnya sedikit memerah, seperti ketika dia berdebat denganku dulu. “Mbak yang keliru.”
“Berarti Nasuh boleh mati, dong?” tanya putriku.
“Itu … lupain dulu itu, deh. Mbak tanya, Nasuh sendiri pengen mati?”
“Enggak.”
“Nah. Kalo gitu Nasuh mesti terima bantuan Mbak.”
“Nasuh gak mau mati, tapi Nasuh juga gak mau ngemis.”
“Mana yang paling Nasuh gak mau? Mati ato ngemis?”
“Ngemis.”
“Definisikan mengemis.”
Nasuha diam sejenak, matanya berputar-putar menatapi langit-langit. “Meminta,” kata Nasuha—aku langsung meringis. Itu salah langkah, sebab Nanda memberi tanpa diminta. Nasuha menyadarinya dan langsung memekik, “Ralat! Itu. Nasuh bukan gak mau ngemis, Nasuh gak mau jadi pengemis.”
“Okee .... Definisikan pengemis, kalo gitu.”
“Orang yang nerima sesuatu dari orang lain.”
“Tapi anak-anak nerima makanan dari orang tua. Apa mereka pengemis?”
“Bukan, sebab orang tua punya utang sama anak begitu dia mutusin punya anak. Itu kewajiban.”
“Hmm. Oke. Kamu bener.” Nanda, uniknya, sedikit tersenyum. “Kalo gitu, murid sama guru?”
“Masih sama. Guru kasih murid ilmu sebab dibayar.”
“Oke, oke. Dulu, ayah kamu pernah pinjemin Mbak penggaris. Apa itu juga disebut ngemis?”
“Enggak.” Nasuha agak kelabakan. “Eeh … Mbak Nanda? Boleh Nasuh ralat lagi?” cicitnya takut-takut.
“Boleh, Sayang.”
“Pengemis adalah orang yang nerima sesuatu dari orang lain, dengan catatan si penerima punya posisi lebih rendah ketimbang si pemberi, sehingga si penerima mustahil balas memberi.”
Nanda tersenyum lebar dan bertepuk senang. “Pinter. Tapi posisi kita setara, loh.”
“Kontradiksi. Nasuh gak bisa kasih apa-apa ke Mbak.”
“Bukan ke Mbak, Sayang, tapi ke manusia lain. Kamu tau manusia itu makhluk sosial?”
Nasuha mengangguk. “Manusia mesti saling bantu buat hidup.”
“Aslinya, gak sesimpel itu. Si A kasih bantuan ke Si B, jadi si B kasih bantuan ke si A. Gak, gak gitu. Struktur masyarakat kita lebih kompleks dan spesialis. Petani tanam padi buat dimakan guru, guru ngajar anak jadi teknisi listrik, teknisi listrik sediain listrik buat produser TV, produser TV bikin film buat hibur petani. Jadi, kalo didefinisikan secara ketat, kita gak saling membantu—kita jalanin peran.
“Mbak anak yatim. Cuma punya mamah. Dulu Mbak juga kayak kamu. Dan dulu juga Mbak sering dibantuin sama orang, sehingga sekarang Mbak bisa bantuin kamu, sehingga nanti kamu bisa bantuin yang lain, dan terus begitu. Paham?”
Nasuha terdiam sejenak, otak kecilnya mengunyah tiap kata pelan-pelan, meresapi rasanya, lalu menelannya. “Mbak bener. Nasuh salah.”
“Kamu mau ke dokter?”
“Iya. Mau. Makasih banyak, Mbak Nanda.”
Nanda terdiam agak lama. Sedetik, dua detik, tiga detik. “Mbak pikir Mbak jatuh cinta sama kamu. Boleh Mbak cium kamu?” tanyanya mendadak.
Nasuha menyeringai lemah. “Boleh.”
Dan Nanda mencium pipi Nasuha dengan brutal. Nyaris aku berpikir dia hendak memakan wajah anakku. “Kamu kok ngegemesin, sih!” Cium. “Pinter banget juga.” Cium. “Persis kayak ayah kamu!” Gigit. “Habil! Kasih Nasuha ke aku aja, gimana?”
Mungkin karena merasa diperebutkan, Nasuha tertawa. Di seumur hidupnya dia tak pernah diinginkan, apalagi diperebutkan. Pasti rasanya luar biasa.
***
Pagi tiba, tapi kondisi Nasuha belum membaik juga. Terpaksa kami harus pergi ke dokter. Nanda memberi Nasuha pakaian lamanya, yang mana keberadaannya saja sungguh ajaib, tapi ini ditambah lagi kondisinya yang terawat baik. Sebuah blus pink, gampang dilepas dan dipakai, biku-biku melingkari lengan dan leher. Aku agak kesulitan membayangkan Nanda kecil dalam balutan baju itu. Aku pikir Nanda tipe anak yang memakai celana pendek, kaos oblong, dan topi.
“Ih, cantik!” seru Nanda sembari mengusap kepala putriku. Aku sudah tahu Nanda bakal melirikku lagi, jadi buru-buru aku membuntut, “Iya, lucu.” Terang saja Nasuha kegirangan—aku tak pernah bertemu anak sepuluh tahun yang lebih haus pujian ketimbang dia.
Kami pergi naik mobil Toyota tua peninggalan ayah Nanda. Si gadis menyetir, aku dan Nasuha duduk di belakang. Kami tiba di sebuah klinik yang baru didirikan. Kami pasien pertama—aku tak melihat kendaraan orang lain di parkiran.
“Bentar,” kata Nanda, mematikan mobilnya dan keluar. Dia membukakan pintu untuk Nasuha, kemudian memangkunya. Aku baru hendak menyusul ketika Nanda menghadangku. “Kamu tungguin aja.”
“Kenapa?” tanyaku panik.
Nanda menghela. “Haruskah aku bilang kenapa?”
Aku melirik sosok yang tercermin di spion tengah: lusuh, jabrik, kotor. Seorang ODGJ yang diburon dengan harga 50 juta. Sebagian orang akan trauma ketika melihatku, sebagian lagi akan berebut untuk meringkusku.
“Tapi Nasuha gak bakal mau jauh-jauh dari gue.” Aku coba beralasan. Aslinya, akulah yang paling tidak mau jauh-jauh dari anak itu. “Iya, kan, Nasuha? Lo pengen ditemenin sama Ayah, kan?”
Nasuha melirikku dengan bola matanya, lalu berbisik ke telinga Nanda. “‘Gak papa,’ katanya,” Nanda meneruskan.
Aku terpana untuk sesaat. “Serius?”
“Gak usah khawatir, Habil. Aku janji bakal jagain Nasuha kayak anak aku sendiri.” Lalu dia menutup pintu.
Dengan perasaan tak karuan, aku menyandarkan punggungku ke kursi. Lima detik berlalu, dan seluruh ketegangan seolah mencair dari otot-ototku, mengalir turun ke kaki, lalu menguap di udara. Aku menghela napas dan memejamkan mata.
***
Ketika aku bangun, kudapati hari sudah malam. Itu gila. Waktu itu aku pikir ada apa-apa dengan Nanda dan Nasuha hingga mereka belum keluar-keluar juga (mungkin jadi korban malapraktik dokter mesum), tapi rupanya tidak. Nanda dan Nasuha sudah keluar, sudah pulang, sudah kembali ke rumah. Aku saja yang ditinggal di dalam mobil, macam anak kucing yang tidak diinginkan.
Iya. Aku tahu. Usai diselidiki, Nasuha mengadu pada Nanda kalau aku belum tidur lebih dari 24 jam ketika merawatnya. Nanda tak sampai hati membangunkanku. Alhasil, dibiarkanlah aku tidur. Tapi tetap saja. Ditinggalkan macam ini membuatku kesepian.
Samar-samar, aku mendengar suara orang tergelak. Itu Nasuha. Bukan. Itu Nanda. Bukan. Itu keduanya. Kelegaan menghantam mengetahui anakku sudah bisa tertawa lagi. Penasaran apa yang sedang mereka lakukan di dalam.
Tak kulihat penampakan orang di sekitar sana. Rumah Nanda bisa dibilang agak strategis jika soal beginian. Halamannya dijepit rumah orang, bagian depan separuh terhalang dari jalan oleh ruko. Jadi, kecuali para tetangga keluar dari belakang, yang mana merupakan hal langka, tak ada orang yang lewat sini.
Aku mencium sesuatu yang wangi. Ada kantong keresek tergantung di jendela, sepucuk surat terselip di sampingnya. Aku mengambil surat itu: Makan. Awas kalo enggak.
Rasa malu yang kurasa tak bisa terdeskripsikan. Sumpah aneh. Aku tak malu memungut barang dari tong sampah, aku tak malu mengkonsumsi cacing dan bekicot dan serangga, aku tak malu foto bugilku dipajang untuk konsumsi umum, tapi kenapa aku malu ketika Nanda memberiku makanan?
Aku benar-benar luar biasa malu hingga aku menangis. Aku bisa mencium aroma ayam yang dipanggang, dan perutku bergemuruh, air liurku lumer, lambungku memberontak. Aku kelaparan, dan aku malu merasa kelaparan. Tak lagi kuasa menahannya, aku pun keluar dari mobil dan kabur.
***
Malam hari adalah waktunya para kodok keluar. Aku menangkap beberapa, menyembelihnya, mengulitinya, lalu merebusnya di dalam botol plastik. Ketiadaan Nasuh membuatku sedikit kesepian. Oke. Aku sangat kesepian. Tapi bukan berarti Nasuha melupakanku juga. Mengingat dia yang mengingatku agak menghangatkan angin dingin di dalam hati.
Aku makan dengan rakus. Berapa hari aku belum makan? Aku terlalu terbiasa untuk mengabaikan rasa lapar belakangan ini. Di balik pakaian, rusukku kian menonjol dari tempatnya. Kuduga aku tak bakal bisa bunuh diri dengan gantung leher lagi—kelewat ringan.
Apa yang sedang dilakukan Nanda dan Nasuha sekarang? Sungguhpun, mereka terlalu cepat akur walau belum kenal lebih dari 24 jam. Aku pikir usia Nanda sudah lebih dari 26 tahun juga sekarang dan bukan lagi 16. Aku tak pernah merasakan kesukaan pada anak-anak dulu—mereka berisik, mereka bodoh, mereka egosentris. Sekarang agak beda. Sekarang anak-anak punya kemampuan menggelitik satu bagian di lubuk hatiku, rasa gatal yang begitu dalam sehingga tak bisa kugaruk sendiri. Nanda mungkin merasakannya juga—kalau bukan lebih, berhubung dia perempuan.
Nasuha juga spesial. Dia pintar, dia kritis, dia manis. Serupa Nanda. Aku agak enggan untuk mengakuinya, tapi kedua perempuan itu jelas punya potongan otak yang serupa. Rintik dan Nasuha punya keserupaan juga, kali ini di tingkah. Keduanya sama-sama tomboi dan resek. Jujur kecurigaanku lebih jatuh padanya ketimbang pada Nanda.
Kenyang mengisi perut, aku pergi untuk menyelesaikan urusan yang masih menggantung.
***
Dari rumah Nanda ke rumah Rintik jaraknya tak jauh, mungkin hanya 600 meter jika ditarik garis lurus. Menyeberangi jalan kecamatan ke selatan, masuk ke kebun bambu, naik dan turun bukit, melewati sawah, menyusuri jalan, dan aku pun tiba. Aku tak mendapati penjagaan di mana-mana. Aku melenggang dengan bebasnya di tanjakan landai di muka kampung. Di sana, aku mendapati sebungkus kantong keresek baru. Bobi bisa tekun juga kalau ada niat. Aku mengambilnya dan mengantonginya.
Aku terus berjalan hingga melewati pertigaan, lalu tiba di kompleks empang. Dari sana, aku merayap naik ke barat laut, memasuki kebun bambu, lalu belok lagi ke utara. Aku bergerak dengan hati-hati, tak ingin membuat suara sekecil apa pun. Ketika aku tiba di pinggir pemakaman, tak ada orang yang menyadari kedatanganku.
Aku bisa melihat bagian belakang rumah Rintik dari sini, tak barang sepuluh meter jauhnya. Ada dua preman di sana, lesehan di teras sambil bermain catur. Mereka tampak santai. Tak heran. Pikiran manusia tidak didesain untuk waspada dalam jangka waktu yang lama. Tiga bulan menjagai gawang kosong, dan ekspektasi mereka jatuh. Mereka tak berpikir aku bakal muncul malam ini juga.
Aku menghabiskan waktu sepuluh menit untuk membuat jerat dari rumput di sekelilingku, lalu lima menit untuk mengingat posisinya. Setelah semuanya siap, aku mengeluarkan katapel yang kurakit dari barang rongsok, lalu mulai membidik. Meleset. Batu malah jatuh ke papan catur dan menghamburkan semua bidaknya.
Pembaca yang budiman, Anda tahu catur? Tahu cara main catur? (Goblok saja kalau tidak—kuyakin kalian datang dari generasi smartphone yang tiap jamnya selalu diisi hiburan.) Satu hal yang paling menyebalkan dalam catur, lebih dari kekalahan sediri, adalah ketika seseorang mengacak-acak posisi bidakmu. Uh! Rasanya ingin kubunuh saja orang yang melakukan perbuatan bejat macam itu.
Umpatan dikumandangkan, jari ditudingkan, gigi diunjukkan. Tahu-tahu, dua pria berwajah seram berlari ke arahku. Aku memungut kerikil kedua dan mengatapelnya. Kena ke wajah—preman satu jatuh. Aku memungut kerikil ketiga, mengatapelnya, tapi meleset. Preman dua mendekat, menjeritkan seruan perang yang berupa leksikon kebun binatang, lalu jatuh terguling ketika tersadung jerat, lidah tergigit. Aku memulung batu sebesar kepalan dan menghantam belakang kepalanya. Kudapati preman satu sudah bangkit dari kejatuhannya, lari menghampiri, untuk kemudian jatuh lagi gara-gara terjerat. Aku memberinya penganiayaan yang sama dengan preman dua.
Preman tiga dan empat muncul dari halaman depan rumah. Sulit dipercaya memang, tapi mereka juga jatuh ke jebakan yang sama. Aku lupa kalau manusia itu normalnya bodoh dan ceroboh, terutama ketika mereka bersama-sama. Aku sampai sedikit merasa kecewa. Maksudku … tak ada orang yang ingin membaca kisah antiklimatik.
Setelah kuyakin tak akan ada lagi preman yang muncul, aku keluar menghampiri rumah Rintik. Penasaran kenapa Bobi belum nongol—antara dia belum pulang atau memutuskan untuk tetap di samping adiknya. Aku harap yang terakhir.
“Bobiiiii!” senandungku. “Maiiiin yuuuk!”
Tak ada sahutan, jadi kuputuskan untuk menyanyikan salah satu lagu band Kotak, Terbang. (Aku tak tahu apa yang terjadi denganku saat itu. Mungkin aku kelewat semangat gara-gara mabuk adrenalin—macam yang kita tahu, aku jenis orang yang tertawa ketika histeris. Mungkin juga karena kodok yang kumakan sebelumnya.)
Ketika aku selesai bernyanyi, kudapati Bobi yang berdiri di ambang pintu. “Husen bener. Lo udah gila.”
Aku tersenyum gila. “Iya, gue gila.”
Bobi bengong. Aku lupa. Dia bukan Nanda—dia tak bisa menangkap lelucon intelek. “Pengen apa lo ke sini?” tanyanya.
“Gue pengen nantang lo sparing.”
“Ngapain?”
“Sebab ngasih gue bolu najis khususnya; sebab ancurin idup gue umumnya.”
“Gue gak ngasih lo bolu. Lo aja yang main pungut.” Bobi menyeringai geli, mendengus. “Lagian apa urusan gue kalo idup lo ancur?”
“Lo gak nyadar, tapi semunya gara-gara lo.”
“Gaje. Tau kalo gak ada orang yang demen sama lo sekarang?”
“Gue pernah dijutekin banyak orang waktu nolongin ade lo.”
“Gak usah bawa-bawa masa lalu.”
“Yang kita punya itu cuma masa lalu, Bob. Masa sekarang cuma lewat, masa depan belum tentu kejadian—cuma masa lalu yang selalu ada dan pasti.” Aku mengeluarkan keresek bolu dari sakuku. “Lo ada utang budi ke gue. Makan ini bolu ampe abis, gue anggep lo lunas.”
“Gak, makasih. Gue bukan gembel, gak kayak lo.”
Aku tertawa. Lepas dan keras. Hal ini, uniknya, membuat Bobi kelihatan risau. “Kenapa lo ketawa?” tanyanya, mata mengernyit. Aku tak menjawab dan malah terbahak kian keras. “Diem, bangsat!”
Aku. Gembel. Jika Bu Fitya mendengarnya, dia tak akan percaya. Aku bukan anak yang rajin, tapi aku pintar. Bu Fitya tak pernah mengkhawatirkan masa depanku; dia mengkhawatirkan masa depan Bobi. Tapi lihatlah sekarang siapa pecundangnya. Lagi-lagi aku bertemu dengan majas ironi. Mengesampingkan rasa sakitnya, aku mesti mengakui kalau ini adalah perkembangan plot yang rapi.
“Maju,” kataku, menarik satu kaki dan mengangkat kedua tinju.
Bobi tak kelihatan terkesan. Dulu, aku lebih kecil darinya. Sekarang, aku liliput dibandingkan dirinya. Bobi tumbuh sepuluh senti lebih tinggi dariku. Dia mendapat asupan protein yang baik untuk memberi makan otot-ototnya. Semisal Bobi diikat dan aku memukulinya sepuas hati, kupikir Bobi cuma bakal menguap dan bilang, “Ah! Iya. Di situ. Atas dikit. Lebih kerasan. Emm. Enak banget.”
Aku meninju udara. Kiri, kiri, kanan, kiri. Aku melompat maju, mundur, maju lagi, mundur lagi, kanan, kiri, maju, tinju, tinju. Kultur premanisme diisi lebih banyak gertakan ketimbang kekerasan. Bahkan dalam pembukaan perkelahian, etika menuntutmu untuk memancing lawan dengan meninju udara di dekat wajahnya. Kalau lawan berkedip takut, dia kalah, dan kau boleh menertawakannya; kalau lawan bergeming, dia menang, dan kau akan ditertawakannya.
Aku coba mempraktikan budaya tersebut dengan mengayunkan tinju di depan wajah Bobi. Kiri, kiri, kanan, kiri. Bobi bergeming, mata melotot. Kembali, aku mengayunkan tinjuku. Kiri, kiri, kiri, KANAN! Alih-alih mengepal, aku membuka tanganku, dan tanah terlempar dari sana, masuk semua ke mata Bobi yang terbuka.
Aku mundur dan merasa kecewa. Apakah orang-orang selalu sebodoh ini? Pantas saja tak ada yang paham dengan apa yang aku tulis. Kau boleh saja mengkonsumsi sepuluh kilo protein tiga kali sehari, datang ke gym empat belas kali seminggu, suntik testosteron dua puluh liter per bulan, tapi semua itu tak akan membuat matamu lebih tahan banting. Mata adalah kelemahan nyaris semua orang, tua-muda, pria-wanita, pelajar-tentara, sama saja. Mata itu organ ringkih, tapi punya fungsi vital dalam penangkapan informasi.
Satu organ lagi yang tak bisa kau perkuat dengan latihan: kepala. Aku memutari Bobi, lalu meninju kepalanya dari samping dengan jab. Kiri, kiri. Aku mundur ketika Bobi mengayunkan tangannya tak tentu arah, berputar lagi, lalu meninju lagi. Kiri, kiri. Tanganku kurus bagai ranting, jadi jab kiriku lebih mirip penghinaan ketimbang serangan. Terlihat dari Bobi yang kian liar dan liar saja tiap kali kepalanku mengenai wajahnya.