Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #16

Bagian 5, Mei 2024 (3)

Aku menengok jam di sudut layar. 01:13. Aku tak sadar kalau hari sudah berganti. Mataku pedih dan pundakku pegal. Aku meminum kopiku, lalu lanjut menulis. Kata-kata mengalir deras dari jemariku. Kalimat demi kalimat aku susun menjadi paragraf, menjadi halaman, menjadi bab. Aku mengangkat cangkirku lagi, tapi isinya kosong. Aku pergi ke dapur dan mendapati Nanda yang sedang mencuci gelas dengan pandangan hampa.

“Lo kurang molor,” kataku seraya menghampirinya, lalu tersandung dan menimpa kursi, lalu terguling dan ditimpa kursi. “Kita kurang molor.”

Nanda tertawa. Dengan rambut kusut dan mata panda, dia tertawa macam orang gila. “Cowok konyol,” celetuknya.

Aku berdiri dan merapikan kursi yang kutabrak (yang kusadari dalam posisi terbalik dan membuat Nanda kian keras tertawa). “Ini mustahil,” kataku.

“Gak kok.” Nanda menoleh ke salah satu dinding dapur yang ditempeli barisan sticky note yang membentuk diagram matriks. Kolomnya adalah hari, barisnya adalah jenis pekerjaan, detail ditumpuk di dalam sel. “Kita masih sesuai jadwal.”

Aku mengangguk. “Sesuai banget.”

“Emang masalah?”

“Masalah.”

“Apanya?”

“Gak ada margin eror,” kataku. Nanda menatapku seolah tak paham, yang kuyakin sebuah dusta. Yang kumaksud adalah, semisal salah satu dari kita ambruk—katakanlah seharian; tidak, semalam; tidak, sejam—jadwalnya bakalan langsung kacau.

Nanda yang mengatur skedulku. Dan dia mengaturnya hingga ke menit—menit! Makan ada jadwalnya, berak ada jadwalnya, memeluk Nasuha pun ada jadwalnya. Kami sibuk bukan main. Begitu sibuk sampai-sampai aku tak punya waktu untuk memikirkan bunuh diri. Itu aneh. Sedikit membuatku khawatir, bahkan. Bunuh diri adalah obsesiku.

Pekerjaanku ada banyak: riset, menyunting, sumbang ide, lain-lain. Akan tetapi, pekerjaan utamaku, yakni pekerjaan yang membuat proyek gila ini jadi mungkin berhasil, adalah ghostwriter—atau semacam itu. Nanda akan memberiku sebuah draf kasar (dan ketika aku bilang kasar, yang kumaksud adalah benar-benar kasar, jenis draf yang kalimatnya acak adut dan nyaris tak bisa dipahami tanpa kehadiran si penulisnya); kadang dia tak memberiku draf dan cuma berceloteh di depanku. Tugasku adalah menerjemahkan ide tersebut ke dalam kalimat, paragraf, dan wacana yang lebih manusiawi, sesuatu yang ternyata amat kukuasai. Sepuluh tahun aku bergelut dengan sastra; aku dituntut untuk bertutur dengan indah, puitis, jernih, kadang lucu, kadang sarkatis, kadang menyirat, apalah-apalah; menulis redaksi karya ilmiah yang jelas dan blakblakan tak membuatku kepayahan. Yang perlu kau lakukan hanyalah menulis kalimat utamanya dengan sintaks generik, lalu menjabarkannya dengan beberapa kalimat penjelas—dan satu paragraf pun selesai.

“Kamu itu penulis,” cetus Nanda. “Kamu orang seni, kamu pemikir bebas, astaga! Kenapa kamu selalu liat sesuatu dari sisi negatifnya?”

“Sebab sisi negatif gak pernah ngecewain gue.”

Nanda memutar bola matanya yang memerah. “Kamu gak mau berharap sebab kamu takut kecewa.”

“Gue kapok kecewa.”

“Kamu takut kapok kecewa.”

“Terserah.”

“Kamu gak boleh lakuin sesuatu atas dasar rasa takut, Hab.” Nanda ambil segelas air putih dan duduk di seberang meja. “Takut itu bunuh akal.”

Dune?”

“Gimana?”

“Itu kutipan dari Dune? Frank Herbert? Lo tau? Fear is mind killer, fear is a little death bla-bla-bla.”

Nanda menatapku bingung. “Aku gak tau.”

“Oh. Oke. Bukan tipe buku lo, emang.”

“Tapi dia bener. Takut itu bunuh akal—dalam artian matiin pikiran. Kamu ngerti, kan?”

Aku rasa aku mengerti, tapi karena aku suka mendengar dia bicara, aku diam saja. (Aku tak bohong, oke? Aku tidak bilang tidak. Lagi pula aku masih ragu kalau aku benar-benar paham. Tak ada salahnya mendengar penjelasan dari orang lain. Apalagi Nanda itu spesialisnya. Aku benar, kan?)

“Otak kita itu terdiri dari tiga lapis, Hab: otak reptil, otak mamalia, dan otak manusia—yang mana disebut neokorteks.”

Itu kerjaan si kampret Evolusi, omong-omong. Ketika evolusi memutuskan untuk membuat hal baru, dia tidak membuang hal lama; alih-alih, dia menumpuknya. Macam yang terjadi pada otak kita. Alhasil, tubuh kita dipenuhi oleh hal-hal tak berguna yang harusnya sudah kedaluwarsa.

“Otak reptil bertugas untuk refleks, dan rasa takut ada di dalamnya. Pemikiran kognitif tinggi sendiri terletak di neokorteks.” Nanda mengetuk pelipisnya dengan ibu jari. “Waktu kita takut, otak reptil kita nyala, dan sebab dia ada di lapisan terbawah, dia bisa nge-override neokorteks. Alhasil, apa yang bakalan kita lakuin adalah refleks. Kita gak mikir; kita gak bisa mikir. Dan cuma ada tiga refleks ketika binatang ngerasa takut: flight, fight, freeze. Aku bilang binatang sebab itu emang kelakuan binatang. Manifestasinya sendiri bisa bermacam-macam, tapi fondasinya selalu yang tiga itu: kabur, nekat, pasrah.”

Nanda minum sejenak. “Kita boleh aja takut, tapi kita harus sadar dulu kalau kita lagi takut—kebanyakan orang gak sadar kalau apa yang mereka perbuat itu reaksi dari rasa takut. Seudah kita sadar, kita harus tau, apa yang bikin kita takut? Alasannya? Apa bener-bener berbahaya atau enggak? Apa yang rasa takut suruh kita lakuin? Apa itu udah bener? Apa pro-kontranya? Gimana posisi jangka panjangnya? Apa sesuai sama tujuan sejati kita? Mikir, mikir, terus mikir; terus gunain neokorteks kamu. Dari sana, baru kamu bakalan nemu solusi yang bener-bener optimum dan bukan cuma refleks doang.”

Kami saling diam untuk beberapa menit lamanya.

“Rabu Nasuha ujian,” kata Nanda tiba-tiba.

Aku mengernyit. “Ngapain lo ngadain acara ujian segala?”

“Sebab aku juga sayang dia? Kamu cuma bisa nguasain apa yang kamu ukur, Habil.”

“Tapi di waktu begini? Lo serius?”

“Nah, kan? Kamu refleks lagi sama rasa takut.” Satu alis Nanda naik. “Kita masih ada waktu, kok. Orang gak lama. Dia ngadu kalo kita kelewat sibuk dan kurang perhatian ke dia.”

“Lebay.”

Ih. Kamu harus inget kalau buat sekarang, dunia dia itu ya cuma aku sama kamu doang. Kalo aku sama kamu cuekin dia, itu setara kayak semua orang yang aku ato kamu kenal cuekin kita.”

“Gue pernah digituin, kok.”

“Tapi anak kamu gak usah sampe ngalamin juga, aheng! Kadang kamu nanganin Nasuha kayak dia itu putra kamu alih-alih putri. Aneh.” Nanda menggeleng, lalu bangkit. “Udah waktunya rehat.”

“Gue masih belom selesai kerja.”

“Rehat, Habil Bestari. Kalo kamu maksa, besok malah jadi loyo; ujung-ujungnya produktivitas kamu ya segitu-segitu juga kalo bukan malah nurun. Udah, tidur. Lanjutin besok.”

Nanda berkata demikian, jadi barang tentu benar. Aku pun mengucapkan salam dan pergi ke mobil. Di sana aku langsung tertidur, tanpa barang sedetik memikirkan hal-hal yang tak perlu: tidak kemalanganku, tidak rencana bunuh diriku, tidak apa pun, bebas bersih dari gundah-gulana dan kegalauan. Aku kelelahan hingga tulang dan sendiku terasa ngilu. Aku tidak bermimpi.

***

Nasuha muncul dari kamar dengan mengenakan seragam SD. Itu milik Nanda, usianya sudah lebih dari 13 tahun, jadi sudah agak kusam dan luntur, tapi setidaknya masih layak dan tidak malu-maluin untuk dipakai. Kudapati anakku mengepang dua rambutnya, jepit rambut flanel berbentuk lebah bertengger di pelipisnya. Dengan ransel dan sepatu, dia tampak macam anak SD normal yang biasa kau temukan berserak di pingir jalan pagi hari. Nanda bertepuk girang, menghujaninya dengan pujian, lalu memotretnya dengan bernafsu (itu agak-agak meresahkan, jujur saja).

Aku mengecek lembar soal ujian. Hanya ada satu, campuran, 20 soal, semuanya esai (Nanda tak percaya dengan pilihan ganda—yang mana sama sekali tidak ganda.) Aku mengernyit dan meringis. Nanda menyayangi Nasuha, aku tak meragukan itu; tapi rasa sayang Nanda terkadang keras. Maksudku, aku sendiri tak yakin bisa mendapat nilai sempurna. Memang, bentuknya ujiannya open book, kau boleh menggunakan kalkulator juga, kau bahkan boleh mengakses internet (pada kenyataannya, ketika bekerja, kau dituntut untuk memanfaatkan segala fasilitas yang ada); tapi sebagai gantinya, satu soal bisa memeras akalmu hingga kusut. Ujian ini mengetes pemahaman ketimbang pengetahuan.

Aku kembali melirik putriku, yang mana walau berusia 10 dan sudah menstruasi, kelihatan polos dan 2 tahun lebih muda. “Kalo dia anak normal, dia kelas berapa? Empat SD? Tiga SD?”

“Mau ngomong apa kamu, Hab?” Nanda menyahut tanpa berpaling dari kameranya.

“Ini ujian kesusahan, gak, sih, Nda?”

“Nasuha lebih pinter dari anak normal. Dan aku emang sengaja bikin soalnya jadi gitu. Dia hampir mustahil dapat nilai 80—gak, 70.” Nanda angkat bahu. “Pada kenyataannya, kesempurnaan itu sulit buat didapet. Aku pengen dia terbiasa sama kenyataan itu.”

Nasuha duduk sendirian, mengerjakan soal ujiannya dengan ekspresi sungguh-sungguh di meja yang kami sediakan. Aku dan Nanda mengawasinya sambil bekerja di meja makan …. Eeh … lebih ke menemani, sebenarnya, berhubung tak ada yang perlu diawasi; Nasuha bebas untuk melakukan apa pun, termasuk menonton TV kalau memang mau. Ketika aku tanya kenapa, Nanda menjawab, “Dia harus belajar gunain semua sumber daya yang dia punya, entah itu buku, akses internet, atau bahkan TV. Dia bakalan pincang kalo maksa gunain kepalanya doang buat nyelesein segala masalah.”

“Lo jadiin dia kelinci percobaan,” ungkapku, lebih pada diri sendiri ketimbang Nanda. “Lo eksperimenin ideal lo soal pendidikan dan metode asuh ke anak gue.”

Nanda akhirnya menoleh, dan dia tampak terkejut. “Kamu bener …,” akunya setengah terpana. “Aku selalu pengen lakuin ini seandainya punya anak.” Dia terdiam lagi, wajahnya sedikit ketakutan. “Apa yang aku buat salah?”

Aku menatap Nasuha, yang mana walau tegang, kelihatan bersemangat dan penuh gairah. “Dia bahagia, jadi … aku pikir enggak juga.”

Malam harinya, aku dan Nanda membagi dua lembar jawaban Nasuha dan memeriksanya bersama. (Atau bisa dibilang bersama. Aku dan Nanda sebisa mungkin menghidari posisi di mana kami hanya berduaan di satu ruangan. Jadi, ketika malam tiba, Nanda akan bekerja di kamarnya sambil menemani Nasuha tidur. Kami terhubung lewat aplikasi video call yang menggunakan jaringan intranet buatanku.) Kami mendapati performa Nasuha yang memuaskan. Tulisannya jelek bukan main, jelek di luar nalar, lebih jelek ketimbang punyaku, tapi kontennya selalu menunjukkan pemahaman akan materi yang mendalam. Cuma ada satu hal yang mengganjal, yaitu tugas menulis esai.

“Secara muatan ini bagus banget,” kata Nanda. “Struktur logikanya jelas, argumennya kokoh, gaya bahasanya gampang dipahami. Tapi ….”

Nanda tampak kesulitan mencari kata-kata, jadi aku coba menawarkan opsi. “Amoral?”

Nanda menekukkan bibir, mata lebar menatap datar. “Kamu yang ajarin dia soal ini,” tuduh dia akhirnya.

“Gak. Dia mikir sendiri.”

“Aku gak percaya.”

“Demi waktu.”

“Genetik, berarti. Gak ayah, gak anak.”

Aku tak heran bila Nanda bilang begitu; esai Nasuha adalah jenis esai yang lebih cocok bila ditulis olehku. Dia membahas tentang seekor kucing liar bernama Garong. Nasuha kenal kucing itu dari kecil. Dia kadang memberinya sisa makanan di panti asuhan. Prilaku baik? Iya, tapi masalahnya bukan di sana. Masalahnya adalah ketika si Garong ini hamil dan beranak 6.

Ketika hanya ada Garong sendiri, semuanya baik-baik saja; ketika Garong diikuti enam mulut lain yang mesti disuapi, masalah terjadi. Tak ada cukup makanan. Garong jadi kurus sebab harus menyusui. Anaknya mati empat, dua yang tersisa kembali kawin dan beranak (bersama Garong), menambah populasi kucing setempat secara eksponensial. Di sini, Nasuha menemukan sebuah pola yang sulit diterima.

Berkembang Biak = Penderitaan

Nasuha pikir alangkah indahnya jika Garong tak beranak, jika dia dikebiri. Tak ada yang bakal kelaparan, tak ada yang bakal tersakiti, tak ada yang bakal kesulitan. Garong akan selalu kenyang dan bahagia. Anak-anaknya yang kelaparan, kedinginan, kesakitan lalu mati tak akan menderita jika tak pernah dilahirkan. Nasuha kemudian mencetuskan bahwa berkembang biak adalah sebuah kejahatan.

“Gaya pikir macam ini punya sebutan sendiri di dunia filosofi,” Nanda berkata, matanya melirik ke samping, ke putriku yang sedang tertidur. “Antinatalis.”

“Dia pernah bilang kalau gue punya tanggung jawab ke dia karena bikin dia lahir.” Aku coba mengingat-ingat kejadian di kandang ayam Bang Reza—rasanya sudah berabad-abad yang lalu. Terlalu banyak hal yang telah terjadi. “Dia bilang kalau dia gak minta buat dilahirin.”

Nanda meringis. “Aku mesti bicarain ini sama dia.”

“Kenapa? Dia gak salah.”

“Jangan gitu, Hab. Perkaranya gak sesimpel punya anak itu baik atau punya anak itu buruk. Ini bukan matematika. Jangan direduksi. Kamu bisa pake pisau buat bunuh orang; kamu juga bisa pake pisau buat masak makanan. Apakah pisau itu buruk atau baik? Ya tergantung. Ledakan populasi yang gak terkontrol itu buruk, tapi berhenti berketurunan bukan jawabannya.”

“Elaborasikan.”

“Kamu pikir siapa orang yang cenderung nganut antinatalis, Hab?” Nanda menunjuk ke depan dan ke samping secara bergantian. “Orang kayak kamu atau Nasuha. Kalo semisal orang kayak kalian gak ngeregenerasi, kalian bakal punah. Terus siapa yang nyisa? Orang-orang yang masih pengen berketurunan; beberapanya adalah yang terus berketurunan tanpa peduli soal filosofi antinatalis, kepadatan penduduk, atau bahkan keluarga berencana. Ujung-ujungnya, ledakan populasi masih terjadi, kalau bukan lebih parah berhubung sekarang kami gak punya kalian. Dunia butuh kalian; kami butuh kalian; kalian punya peran di sini; inget itu.”

Aku mendengus. “Orang-orang kayak gue gak dilahirin secara genetik, Nda. Lo pikir bokap-nyokap gue kayak gue? Jauh. Orang-orang kayak gue itu hasil didikan, bukan kelahiran. Kami bukan anak biologi, tapi anak ideologi. Lo bisa aja bunuh orang kayak gue di seluruh muka bumi, taun depan juga bakalan muncul lagi. Kalo lo pengen spesies kayak gini punah, bakar juga buku-bukunya, bukan cuma orangnya.”

***

Esoknya, Nanda memberi Nasuha hadiah. “Inget,” wejang Nanda, “Mbak kasih hadiah bukan karena nilai Nasuha bagus, tapi karena Nasuha udah berusaha secara maksimal.”

“Apa arti usaha kalo gak ada hasil, Mbak?” tanya anakku.

“Manusia cuma bertanggung jawab atas apa yang bisa dia kontrol, Nasuha. Kamu bisa pilih buat duduk dan baca buku, kamu bisa pilih buat berpikir dan bertanya, kamu bisa pilih buat nyari tahu apa yang kamu gak tahu. Itu semua ada dalam kontrol kamu. Tapi hasil? Hasil gak ada dalam kontrol kamu, yang berarti bukan tanggung jawab kamu. Kamu bisa aja males-malesan tapi tetep punya hasil bagus gara-gara beruntung. Yang jadi pertanyaan, apakah kamu layak dikasih hadiah semisal kasusnya begitu?” Nanda menggeleng. “Gak. Kamu lebih layak dikasih hadiah kalo kamu usaha keras walau hasilnya buruk.”

Putriku tersenyum dan mengangguk.

“Anak pinter.” Nanda mencium puncak kepalanya, lalu meraih ke belakang. “Ini buat kamu.”

Untuk suatu alasan, Nanda memberi putriku sebuah gitar—jenis yang kecil, tapi masih enam senar; half size? ¾? (Aku tak tahu banyak soal alat musik, maaf.) Untuk suatu alasan, Nasuha tak kelihatan senang; tidak, dia bukannya tak senang, dia … ketakutan? Matanya melebar, mendelik bergantian ke arah barang yang diberi dan wajah si pemberi.

“Kenapa?” Nanda mengernyit khawatir. “Kamu enggak suka?”

Nasuha menggeleng. “Kenapa gitar?” cicitnya.

“Mbak liat histori internet kamu. Kamu selalu nonton channel musik akustik, kan? Mbak pikir kamu pengen belajar main gitar.”

“Histori?”

“Sejarah internet,” kataku. “Setiap situs yang lo kunjungin bakalan direkam dan dicatet. Lo mesti pake mode incognito ato hapus histori lo kalo gak mau dipergok sama orang kayak Nanda.”

Nanda memelototiku.

“Gue selalu incognito, omong-omong.”

“Orang berdosa emang cenderung sembunyiin kelakuan dia.”

Setelah agak lama, Nasuha menerima hadiahnya. Nanda berceloteh tentang kursus gitar daring apalah-apalah, tak memperhatikan kalau putriku tengah menyetel senar gitarnya dengan begitu serius. Beberapa saat kemudian, jemari mungilnya mulai memetik, melantunkan nada yang kukenal sebagai intro Ya Sudahlah dari Bondan & Fade2Black. Nanda pun terdiam.

“Kamu anak yang penuh kejutan, Nasuha,” ungkap Nanda dengan wajah terpesona. “Dari mana kamu belajar main gitar?”

“Temen,” sahut si bocah lirih. Ada nuansa gelap dalam suaranya. Dia kemudian lanjut bermain, lalu bernyanyi. Aku dan Nanda mendengarkan dengan hikmat, hanyut di dalam keindahan bunyi di udara dan makna dalam kata. Ketika selesai, Nasuha menangis histeris.

Tak ada yang tahu kenapa dia menangis. Kami bertanya sekali, tapi tak dijawab, jadi kami memutuskan untuk mundur dan menghormati ruang privasi si bocah. Nanda cuma memeluknya, mengusap kepalanya, menciumi keningnya hingga dia tenang. Malam harinya, saat Nasuha tertidur menggulung di kursi tamu sambil memeluk gitarnya, Nanda bertanya padaku soal teman anak itu. “Kamu kenal dia?”

“Gak,” kataku. “Ini anak jarang banget cerita soal masa lalu dia: di mana panti asuhan dia, siapa yang ngurusnya, ngalamin apa aja dia di sana …. Gue hampir gak tau.” Aku mengernyit, lalu merogoh pisau-sendokku dari saku.

“Ngapain kamu bawa yang begituan, Habil?” celetuk Nanda, yang mana tengah berjongkok di depan Nasuha, jari membelai pinggir wajah si bocah.

“Jaga-jaga?”

“….”

“Jangan salfok, Nda.”

“Aku tanya soal temen Nasuha; kamu malah ngeluarin sajam—gimana aku gak salfok? Apa hubungannya, coba?”

“Hubungannya, Saudari Nanda-ku yang cantik, adalah ini barang punya Nasuha, yang mana konon dia dapet dari temennya.”

“Temen yang sama dengan yang ajarin dia gitar?”

“Gue yakin gitu.” Aku berpikir sesaat. “Dia gelandangan.”

Nanda sepertinya sampai di kesimpulan yang sama, sebab ekspresi wajahnya langsung muram. Gitar untuk mencari nasi; pisau untuk menjaga nyawa. “Tapi mereka kenal dari mana? Nasuha anak panti, kan?”

“Pantinya bubar. Gue pikir … ada selang waktu antara bubar panti dan dia datang ke kosan gue.”

“Dia hidup di jalanan?”

“Mungkin. Gue gak berani nanya. Dia kayaknya agak trauma.” Aku menatap wajah tidur anakku yang dibingkai rambut ikal lebat. “Dia masih sembilan taun waktu ketemu gue. Gak mungkin dia bisa hidup di jalanan sendirian. Pasti dia dijagain sama temennya ini.”

“Aku harap dia baik-baik aja.”

“Dia baik-baik aja.”

“Bukan Nasuha. Bukan … dia doang, maksud aku.” Nanda terdiam beberapa saat. “Aku harap temen Nasuha, yang udah jagain Nasuha, juga baik-baik aja. Semoga aku salah, tapi kayaknya anak itu masih tinggal di jalanan juga sekarang.”

***

Nasuha amat menyukai hadiahnya. Dia menyayangi gitarnya bagai kekasihnya sendiri. Dia gosok kayunya hingga mengkilap, dia rawat senarnya agar tak gampang kendor, dia ajak bicara selayaknya manusia. Dia juga memberinya nama, Nada, yang mana dipanggil menjadi Nda—Nanda sendiri tak kelihatan keberatan dan cuma tertawa geli oleh kekonyolan anakku.

Awalnya aku merasa lucu juga oleh omong kosong itu. Aku pikir, Liat bocah ini; betapa bodoh, konyol, dan polosnya dia. Aku lupa kalau anak ini selalu perhatian terhadap sekitar dan mengetahui apa yang tak seharusnya dia ketahui.

Dia menyanyi, oke? Dia menyanyi banyak lagu. Suatu ketika, di waktu bersantai setelah makan malam, Nasuha bilang kalau dia punya lagu untukku. Aku agak risau di sana, berhubung berdasarkan pengalaman, si bocah punya kecenderungan menyanyikan lagu-lagu yang tidak ramah situasi. Kerisauanku tervalidasi, ketika dengan percaya dirinya si bocah memetik gitar dan mulai menyanyikan Bunga sambil mencuri-curi pandang padaku! Mati-matian aku mempertahankan tampang datar dan tidak melirik Nanda yang duduk di meja seberang.

“Ayah gak kasih Nasuh hadiah?” ceplosnya setelah selesai bernyanyi.

“Gue pengen, tapi Nanda larang.”

“Loh, kok?”

Nanda cemberut. “Kamu belum cukup usia buat itu, Nasuha.”

“Tapi gue gak punya apa-apa lagi, Nda. Cuma itu doang harta gue yang bisa gue kasih ke dia.”

“Dia. Belum. Cukup. Umur. Buat. Itu,” ngotot Nanda.

“‘Itu’ téh apaan?” tanya Nasuha. “Kasih aja! Kasih ke Nasuh! Kasih, ih!”

“Lo bujuk dulu mbak lo,” kataku.

Dan Nasuha pun mulai merengek dan mengerang dan memelas dengan manja, yang mana merupakan jenis serangan yang jadi kelemahan terbesar Nanda. Setelah sepuluh menit berlalu, Nanda pun menyerah. “Kamu boleh punya itu,” kata dia akhirnya, “tapi janji jangan dibaca sampe kamu masuk SMA—minimal SMP-lah.”

“Baca apaan?”

“Pinjem KBBI lo,” kataku sambil mengambil pulpen.

Nasuha mengeluarkan KBBI kedaluwarsanya.

“Nih.” Aku menyerahkan buku kesayangannya itu. “Itu ID sama password buat akun drive cloud gue. Di dalemnya ada seluruh tulisan gue dari zaman SMP sampe sekarang.”

Nasuha kegirangan; terlalu kegirangan hingga membuat Nanda resah. Si gadis kemudian merebut pulpenku dan meminjam KBBI Nasuh. “Ini ID sama password akun cadangan drive cloud Mbak. Kamu bisa akses semua tulisan Mbak juga lewat itu. Semoga bisa jadi penawar buat pemikiran-pemikiran radikal ayah kamu.”

“Lo ngapain, asem?”

“Lindungin anak ideologis aku.”

“Lo udah kasih hadiah lo! Tuh, gitar! Jangan sok caper ngasih lebih dari gue!”

“Ini mah beda. Ini hadiah ulang tahun.”

“Ulang tahun dia udah lewat.”

“Tapi, kan, aku belum sempet ngucapin.” Nanda berpaling dariku. Ekspresi judesnya berubah 180 derajat. “Selamat ulang tahun, Sayang. Makasih udah lahir ke dunia dan mau kenal sama Mbak.”

Aku kembali protes, tapi tak diacuhkan macam kerikil di pinggir jalan. Nasuha sendiri cuma tertawa terbahak-bahak, lalu lari dan memeluk kami berdua secara bergantian. “Aku sayang kalian,” bisiknya ke telingaku. Aku, dia bilang; bukan Nasuh, tapi aku. Entah kenapa rasanya ganjil. Seolah melihat si bocah mendadak menjadi dewasa dalam sekejap mata.

***

Saat itu subuh. Seseorang mengetuk pintu mobil, yang mana biasa Nanda lakukan bila aku bangun kesiangan. Aku pikir itu memang Nanda. Aku menengok, tapi tak menemukan siapa pun di kaca pintu. Aku menggosok mataku yang kurang fokus, lalu kembali melihat, kali ini dengan baik-baik. Ada sepasang mata besar yang mengintip di bagian bawah kaca.

Aku membuka pintu mobil. “Kenapa?”

“Mbak Nanda sakit,” kata Nasuha pelan. Situasi sunyi dan hening. Kata-kata anakku serupa besi dingin yang menghujam ke dalam pikiran.

“Sakit apa?”

“Gak tau. Badan dia panas, terus dia gak bisa bangun, terus dia muntah juga pas maksa bangun. Dia manggil-manggil mamahnya.”

“Lo gak becanda, kan?”

Nasuha menggeleng.

“Tai.” Kalau si gadis sampai bertingkah macam anak kecil lagi seperti itu, maka dia sakit dengan cukup parah.

Aku masuk ke dalam rumah lewat pintu dapur, berjalan ke kamar Nanda, lalu berhenti di depan pintunya. Lima detik berlalu, dan aku berbalik. Ada Nasuha di belakangku, menatapku, seolah menunggu sesuatu. Aku melutut. “Gue gak bisa masuk.”

“Pintunya gak dikunci.”

“Bukan itu maksud gue.”

“Nasuha enggak paham.”

“Gue gak boleh masuk. Gak pantes.”

“Ayah gak khawatir sama Mbak Nanda?”

Lihat selengkapnya