Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #17

Setengah Tahun Lalu, Juni 2023

Ketika aku bangun, kusadari aku sudah tak bisa menulis lagi.

Bagaimana caraku untuk menjelaskan sensasi ini pada kalian? Aku harap ada analogi dan padanan tentang hal ini dalam kehidupan sehari-sehari, tapi tidak. Sulit untuk memahami seorang penulis yang kehilangan kemampuan untuk menulisnya. Maksudku, memang apa susahnya? Kau cuma perlu duduk, cuma perlu menggerakkan jari, dan kau pun menulis. Andai memang segalanya sesederhana itu. Kau mesti menjadi seorang penulis dulu untuk memahaminya, untuk bergelut dengan bahasa tiap waktunya—dengan diksi, dengan makna, dengan segala sesuatu yang normalnya dibiarkan mengalir begitu saja.

Ini bukan fenomena akut. Aku tidak mendadak begitu saja tak bisa menulis lagi. Ini kronis, sesuatu yang menjangkit lama dan secara perlahan. Awalnya cuma sekadar kehabisan kata-kata, seringnya diriku terhenti di tengah-tengah kalimat; lalu hilangnya visi; lambat-laun produktivitasku menurun; hingga akhirnya terhenti sama sekali. Kutengok sumur yang bernama inspirasi itu, dan kudapati dasarnya sudah kering sama sekali, tidak ada apa-apa, tidak bahkan lumpur sekali pun, hanya gas beracun.

Bagaimana bila begini? Seseorang pernah bilang padaku bahwa dorongan menulis muncul dari sumber yang sama dengan yang membuat kita bicara pada orang-orang yang kita suka: keinginan untuk menyampaikan sesuatu pada mereka yang kita cinta. Aku tak bisa lagi bicara sebab aku sudah menyampaikan segala yang ingin kusampaikan. Dan kini aku benci segala yang berjalan dan bernapas di dunia.

Pada pagi yang nista itu, aku kehilangan arah hidup yang selama ini menuntunku. Aku tak menangis, aku tak menjerit, aku tak merasakan apa-apa. Semuanya terjadi secara perlahan … namun juga membingungkan. Aku seperti orang buta warna yang mendadak sembuh … atau mungkin pembunuh berdarah dingin yang mendadak memiliki hati.

Aku tak menyadarinya, tapi di mataku sepuluh tahun belakangan, dunia tampak buyar dan samar. Semua hal kelihatan kelabu dan bisu. Ketika semua orang tertawa, aku diam—aku tak paham kenapa mereka tertawa. Ketika semua orang menangis, aku diam—aku tak paham kenapa mereka menangis. Aku tak paham kenapa mereka ingin ini dan itu, takut ini dan itu, malu ini dan itu. Kenapa orang ingin dicinta dengan sebegitu parahnya? Kenapa orang takut kesepian dengan sebegitu kronisnya? Kenapa orang enggan jadi berbeda dengan sebegitu hebatnya? Aku tak paham dan aku tak peduli. Aku sibuk di dunia kecilku sendiri. Aku punya definisi kebahagiaanku sendiri. Aku bebas dan hanya melakukan apa yang ingin kulakukan.

Pada bulan pertama, perlahan-lahan dunia menjadi nyata kembali. Aku diberi hati. Aku merasakan berbagai macam emosi yang kupikir tak akan pernah lagi kurasakan. Aku sakit hati, aku kesepian, aku malu; aku jatuh hati, aku iri, aku rindu. Aku dicekok sensasi yang ditawarkan hidup hingga kalap.

Awalnya aku tak paham. Aku tak bahagia tapi tak tahu apa penyebabnya. Aku bertemu dengan segerombolan anak muda yang tertawa, dan aku membencinya. Aku berpapasan dengan pasangan yang sedang jalan, dan aku membencinya. Aku tercegat pawai perayaan wisuda seorang mahasiswa, dan aku membencinya. Aku mendadak membenci banyak hal: aku benci gadis cantik, aku benci langit cerah, aku benci seragam sekolah, aku benci rumah baru, aku benci janur kuning, aku benci lagu romansa.

Suatu hari, aku pergi ke warung untuk membeli kopi. (Iya, aku punya uang. Setelah menggeledah, menggeratak, membongkar-bongkar, dan mengaduk-aduk seisi kamar—dan toilet dan tong sampah—aku menemukan sejumlah koin seratus dan dua ratus yang bisa kubelanjakan nutrisi favoritku: kafein.) Dari kejauhan, aku bisa mendengar suara bayi menangis. Si ibu warung berbiak lagi.

Berbiak. Maaf kalau bahasaku agak kurang pantas, padahal ada kata lain yang lebih manusiawi: beranak, misalnya? Melahirkan? Bersalin? Membelah diri? Berak depan? Investasi program pensiun rumahan? Sayangnya, kata-kata tersebut, walaupun secara makna memadai, tidaklah mampu merepresentasikan sentimenku terhadap fenomena ini. Ketika ibuku mengeluarkanku, itu disebut melahirkan; ketika Nanda mengeluarkan bayinya, itu disebut bersalin; ketika Sofia mengeluarkan putranya, itu disebut keajaiban dunia kedelapan—tapi ketika si ibu warung mengeluarkan anaknya? Itu hanya bisa disebut berbiak, sebab jika memoriku tidak keliru, ini adalah keturunannya yang ketujuh.

Maksudku … lo tau konsep peduli kesejahteraan populasi yang disebut kontrasepsi, gak, sih?

Aku masuk dan mendapati si ibu sedang menimang-nimang anaknya, yang kala itu baru berusia tiga bulan. “Bu, Kapal Api satu.”

“Iya, A. Sebentar.”

Aku tak menjawab dan cuma menatapi bayi mininya, yang untuk suatu alasan punya mata yang terlalu besar di wajahnya yang mungil.

Agak lama kemudian, si ibu berkata, “Aduh, kopinya masih di kardus belanjaan, A.”

“Hmm? Oh? Iya?”

Kami saling diam serupa sejoli baru yang salting. Sedetik, dua detik, tiga detik. Di detik kelima, kami menyadari sesuatu: lapak warung yang penuh rencengan bumbu masak itu hening. Si bayi berhenti menangis. Dia berhenti menangis ketika melihatku. Apa pula maksud dia? Belum pernah lihat pria brewok yang berambut panjang?

“Eeh … A, maaf, coba pegangin dulu.”

Aku mendongak dan secara otomatis menjulurkan satu tangan. Kupikir aku disuruh memegangi ponsel atau gelas atau apa, tapi si ibu malah memberiku bayinya. Sontak aku terperanjat dan bergegas menggunakan kedua tanganku. Aku ketakutan setengah mati. Sempat kupikir si bocah akan merosot jatuh dan menimpa barisan gas LPG yang keras dan hijau.

“Ih, anteng!” celetuk si ibu, yang mana punya tampang pucat dan lusuh serupa mahasiswa semester akhir yang begadang seminggu. “Si Aa-nya unik ya, De?”

Aku tak bisa memutuskan apakah dia sedang mengejekku atau memujiku.

“A, ditinggal dulu, boleh? Saya mau ke belakang dulu sekalian bawa kopinya.” Si ibu nyelonong pergi bahkan sebelum aku sempat menjawab apa-apa. (Jika mataku tak terkena katarak atau sihir, aku yakin juga dia berlari.)

Dan di sanalah aku. Berdiri dengan seekor bayi di pelukan. Sungguh meresahkan bukan main. Aku tak berpengalaman dengan bayi (seperti halnya para bujang pada umumnya), jadi aku tak tahu apakah caraku menggendongnya sudah benar atau tidak. Aku selalu membayangkan si bayi akan merosot jatuh dan menimpa gas LPG.

Si bayi terus memandangiku. Awalnya kuabaikan, pikir nanti juga dia bakal bosan. Lima menit berlalu, si ibu warung masih belum kembali—si bayi pun masih tetap memandangiku. Mau tak mau aku jadi salah tingkah pula.

“Apa liat-liat?” tanyaku, bicara dengan bayi macam orang goblok.

Si bayi tertawa.

“Lo ngeledek gue, anjing? Jangan mentang-mentang lo masih muda, masih banyak potensi sama kesempatan, lo jadi boleh kurang ajar ke gue! Gue juga kayak lo dulu! Polos, lucu, ganteng. Siapa tau lo juga bakalan kayak gue kalo udah gede! Gue kali miskin, gue kali jones, gue kali madesu, tapi gue penulis. Gue serigala penyendiri. Gue beda sama kalian. Gue gak butuh apa yang kalian butuhin.”

Si bayi makin kegirangan dan mulai menggerak-gerakan kaki serta tangannya.

Aku kepanikan. “Eh, eh, eh! Diem, anjing! Jatuh baru tau rasa lo!”

Si bayi menjambak rambutku.

“Anjing, anjing, anjing! Gue lepas, nih, gue lepas! Gue lepas mau lo?”

Aku menurunkan kepalaku, takut rambutku—yang belakangan ini banyak rontok—tercabut hingga menyisakan sepetak kehampaan di kepala. Kini hidungku tak barang beberapa senti dari wajah si bayi. Aku mencium aroma aneh: tidak harum, tapi tidak pula bisa disebut bau. Aku menurunkan kepalaku lagi hingga hidungku dan hidung si bayi bersentuhan.

“Bau lo enak juga. Pake minyak wangi apaan lo?”

Si bayi melepaskan rambutku. Aku kembali menegakkan leher. Kami saling pandang untuk beberapa detik, lalu, tanpa aku niatkan maupun sadari, aku mulai menimang-nimang si bocah laknat. Dari dalam diriku, mendadak muncul dorongan untuk bersenandung.

“Mau denger lagu, lo?”

Si bayi mengerjap pelan. Kuanggap itu sebagai afirmasi.

Lihat selengkapnya