Anak Kencing

Zangi al'Fayoum
Chapter #18

Babak 6, Mei 2024

Aku tak terlalu ingat apa yang terjadi setelah aku pergi dari rumah Nanda. Ketika itu, aku terlalu patah hati untuk peduli terhadap apa pun dan siapa pun. Jangan remehkan patah hati, pembaca yang budiman. Sebagai manusia kurang normal, aku kerap mengolok-olok fenomena patah hati sebagai reaksi lebay dari orang alay. Maksudku … kenapa juga mesti ribut-ribut? Patah hati tidak buat orang berdarah atau terluka; kesehatanmu baik-baik saja dan fisikmu tidak kurang apa; bukan berarti kau tak punya nasi untuk dimakan juga; sakitnya cuma perasaan saja. Aku tak keliru, kan? Hmm?

Nah, tidak segampang itu, tai. Menurut hukum evolusi, tujuan utama setiap makhluk hidup ialah berkembang biak, dan untuk memastikannya, tubuh manusia menciptakan reaksi negatif terhadap kegagalan sebagai pecut pendorong. Inilah yang disebut patah hati. Dan rasanya, pembaca yang budiman, luar biasa maknyus.

Otakku tak lagi mampu bekerja. Aku disfungsi sebagai manusia—lebih dari sebelum-sebelumnya. Aku tak mampu untuk peduli. Yang kuinginkan hanyalah satu, yaitu diam. Aku tak bisa mendapatkannya. Nasuha menarik tanganku macam keledai, tak membiarkanku berpasrah begitu saja.

Gak boleh diem di sini! Entar ada yang nemu!

Jangan! Ke sini! Di sana banyak orang!

Setop, setop! Ada mobil lewat. Bentar dulu, ih.

Aku tak peduli jika aku ditemukan. Aku tak peduli jika aku diam di tengah jalan, diserempet mobil, ditabrak kereta, lalu dilindas kapal terbang. Aku bingung kenapa Nasuha berjuang sekeras itu. Hidup sama sekali bukan hal yang layak dijalani.

Aku tak tahu seberapa jauh aku berjalan. Sulit untuk menemukan tempat aman. Tahu-tahu, kami sudah ada di luar daerah kecamatan. Aku duduk di bawah pohon besar. Nasuha memanggil namaku, tapi aku malas untuk menjawabnya. Ayah laper? tanyanya. Nasuh cariin makan, ya? Dia pergi, lalu kembali, menyalakan api, memasak sesuatu yang aku tak tahu dan tak ingin tahu. Dia coba mengajakku makan, lalu coba menyuapiku, lalu coba memaksaku. Aku membiarkan dia memasukkan sesuatu ke dalam mulutku, tapi tak mengunyahnya. Nasuha akhirnya menangis juga.

Nasuh minta maaf soal Mbak Nanda. Nasuh gak bakal minta kita tinggal sama dia lagi. Nasuh gak bakal serakah lagi. Nasuh cuma pengen sama Ayah. Kayak dulu. Ya? Gak papa kayak dulu. Gak papa kita gak punya rumah, gak punya makanan, gak punya mainan. Nasuh seneng asal Ayah gak pergi. Ya? Dan bla-bla-bla dia berceloteh. Aku tak menyahut.

Pagi menjelang, dan Nasuha pergi lagi, kini agak lama. Ketika dia kembali, si bocah membawakanku bungkusan koran berisi lusinan puntung rokok yang entah dia pungut dari mana. Aku merebutnya dengan kasar, nyaris melukai si bocah dalam prosesnya. Dengan tangan gemetar, aku melinting satu menggunakan kertas koran, menyalakannya, lalu menghisapnya. Aku menghisapnya dengan tergesa-gesa, tanpa jeda, tak memberi kesempatan paru-paru untuk menghela udara. Aku melinting lagi dan lagi dan lagi, merokok hingga bibirku perih dan lidahku terbakar.

Nasuha beringsut menghampiriku, awalnya perlahan, hati-hati; mungkin takut-takut, malah. Ketika yakin aku tak akan melukainya, dia merayap dan meletakkan kepalanya di pangkuanku. Aku melirik wajah si bocah, tak sadar bahwa saat itu bukan aku saja yang sedang patah hati. Nasuha juga amat menyukai Nanda.

Jika dipikirkan sekarang, aku tak tahu apa jadinya bila Nasuha tak ada di sana. Selama dua hari, anak itu mengurusku yang tak ubahnya terkena kelainan mental dan mendadak idiot. Dia memberiku makan, minum, dan rokok. Dia membuat naungan ketika mentari menjemurku, membersihkan wajahku ketika dikotori tanah, membuatkan api ketika aku kedinginan. Dia terus mengajakku bicara, dan aku terus mengabaikannya, membuatnya ketakutan dan menangis.

Suatu ketika, Nasuha pernah kesulitan menyalakan api karena hujan gerimis. Aku merogoh naskah lamaku dari ranselnya dan melemparnya ke tumpukan kayu. Si bocah terperanjat, wajah coreng-moreng oleh arang. Dia menatapku takut-takut, lalu mengumpulkan helaian halaman yang berserak. “Gak papa, Nasuh bisa, kok.”

Entah kenapa aku mendadak muak dengannya. Aku merebut naskahku dan menyundutnya dengan korek api. Si bocah menghambur padaku serupa orang kebakaran jenggot. “Buat Nasuh! Buat Nasuh!” dia merengek, tangan pendek terjulur untuk merebut naskahku. “Jangan dibakar! Buat Nasuh aja!”

Aku mengangkat naskahku tinggi-tinggi, membiarkannya dilalap api dan membakar jariku. Ketika aku menjatuhkannya kembali ke tumpukan kayu, tumpukan kertas itu sudah tak lagi tertolong. Sungguh bahan bakar yang bagus. Tak butuh waku lama sebelum kayu ikut menyala. Aku menontonnya dengan perasaan lega. Rasanya seperti melihat sampah yang terbakar.

Aku suka melihat sampah terbakar. Segala sumber kenistaan, kebusukan, dan aroma tidak sedap musnah seketika, hilang menjadi abu dalam kobaran api yang membara panas. Rasanya melegakan. Rasanya mendamaikan. Rasanya serupa menghilangkan beban hidup.

Andai hidup memang macam seperti itu, pasti sungguh luar biasa. Kita banyak membuat kesalahan dalam hidup, yang disengaja maupun tidak, kecil atau besar, memberikan kita penderitaan dari rasa sakit, malu, dan penyesalan yang menggunung seiring umur berjalan. Andai semua kesalahan itu bisa dibakar serupa sampah, maka hidup manusia akan lebih cerah.

Sayangnya hidup lebih mirip evolusi (iya, itu kalau kau tahu mekanisme evolusi, yang mana aku sadari belakangan ini tak banyak orang pahami—banyak dari kalian yang bahkan tak tahu Darwin itu siapa!) Evolusi tidak serta-merta memusnahkan desain lama dan membuat desain baru; evolusi membangun desain baru di atas desain lama, menumpuknya dalam timbunan, tak terlihat tapi ada.

Ambil contoh saja gigi bungsu (iya, itu kalau kau tahu soal gigi bungsu, yang mana luar biasa goblok semisal tidak!) Pernahkah kau penasaran kenapa manusia punya gigi ekstra di belakang geraham? Instrumen tidak berguna, tumbuh miring serupa kelainan organ, berbahaya dan mesti dicabut untuk beberapa kasus. Gigi susu adalah desain lama kita, saat Homo sapiens bukan Homo sapiens, saat rahang kita masih lebar dan kuat, dan kita belum menemukan api untuk melunakkan makanan. Alih-alih membuangnya, evolusi cuma menguburnya di bawah desain baru.

Macam itulah hidup. Kita tak bisa mulai lagi dari awal. Ketika kita membuat kesalahan, maka kesalahan itu ada secara permanen, tak akan pernah bisa hilang dibakar bahkan dengan kobaran api terpanas sekali pun. Yang bisa kita lakukan hanyalah menimbunnya, membangun sesuatu yang baru di atasnya, kemudian berdoa kalau kesalahan itu tak akan muncul lagi dan membuat kita celaka (sebuah optimisme liar, bila kau tanya pendapatku.)

Nasuha marah. Dia memukuliku, menangis, melempariku, menangis lagi, menggigitku, lalu menangis kembali. Dia menangis amat lama sampai dia kelelahan dan tertidur di tanah. Aku penasaran apakah dia menyesal tidak tinggal dengan Nanda. Wajah dan kulit dan rambutnya yang selalu bersih di rumah Nanda kini kembali dekil oleh tanah dan debu dan keringat. Kini kami tak lagi punya rumah, makan-makanan liar, tak punya apa-apa.

Hal tersebut membuatku bertanya-tanya sedang apa aku di sini dan mengapa aku masih hidup. Bukankah tujuan awalku adalah untuk mengakhiri cerita membosankan tanpa makna yang berjudul Hidupku ini? Apa yang terjadi? Apa yang membuatku melenceng dari tujuanku?

Mataku tertumbuk pada hidung mungil Nasuha, dan aku pun teringat. Oh, benar. Dia. Aku harus menemukan ibunya terlebih dahulu sebelum bisa mengakhiri ceritaku. Aku harus pergi ke acara reuni di SMP almamaterku. Menjelang petang, ketika Nasuha masih tidur, aku mengambil foto kelulusanku dari ranselnya. Setelah berpikir sejenak, aku pun memutuskan untuk menulis surat.

Maaf gue gak bisa jadi ayah yang baik. Maaf gue gak bisa sekolahin lo biar pinter, kasih lo makan biar gede, sediain lo rumah biar aman. Maaf udah buat lo lahir, tapi makasih lo udah lahir. Gue harap gue bisa liat rupa lo waktu dewasa nanti. Gue harap kita ketemu di situasi yang beda. Balik ke rumah Nanda, Cit. Tungguin sampe ibu lo datang jemput.

***

Aku menyusuri pesawahan dan sejumlah sungai ke arah tenggara. Ketika malam, aku tiba di belakang SMP-ku, di bukit mungil yang berfungsi rangkap sebagai kuburan, arena tinju, dan tongkrongan anak-anak tidak soleh.

Aku duduk di salah satu nisan yang terpasang miring, memandang ke arah SMP-ku yang jaraknya cuma selemparan batu. Dari sini, aku bisa melihat punggung kompleks kelas tujuh. Semua jendela dari kelas A hingga G menyala terang, sayup-sayup riuh keramaian terdengar dari sana.

Aku kedinginan, tapi bukan dari luar, yang mana sedang kegerahan sebab perjalanan liarku menyusuri pesawahan. Aku kedinginan dari dalam, sebab kini aku cuma manusia biasa, dan tak ada hal yang lebih kuinginkan ketimbang berjalan masuk lewat gerbang depan dan bergabung bersama kawan-kawan lamaku. Aku kesepian. Aku harap Nanda ada di sampingku sekarang.

Aku menuruni tangga kuburan, melompati irigasi, menyusuri sepetak kecil sawah, dan tiba di hadapan tembok benteng yang tak aku ingat pernah ada. Aku memanjatnya dan mendapati lahan sempit yang berisi lusinan tong sampah organik berbau EM4—tempat kompos. Kalau kau masih ingat, ini dulunya kebun singkong yang menjadi jalur minggat anak-anak badung.

Alih-alih turun ke timur dan tiba di kompleks kelas 7, aku naik ke selatan dan tiba di pojok toilet kelas 8. Ini absurd, tapi mesti aku katakan bahwa walaupun sekolahku punya tempat kompos baru, toilet yang ini masih sebutut sepuluh tahun lalu—kalau bukan lebih parah, berhubung … sudah sepuluh tahun berlalu. Ada tiga toilet, satu tak punya pintu, satu punya pintu tapi tak bisa ditutup rapat, dan satu lagi memiliki gangguan kronis stadium akhir di saluran inlet dan outlet.

Sekarang, apa yang harusnya aku lakukan adalah menunggu; sembunyi di dalam toilet, kalau ingin lebih afdal; masuk ke dalam bak, duduk meringkuk, tutup kepala dengan gayung. Melakukan hal lain di luar itu adalah tindakan tidak logis dan goblok. Tapi semenjak kapan manusia itu logis dan tidak goblok? Penyebab nomor satu ketidakbahagiaan di dunia adalah saat manusia melakukan sesuatu yang dia sendiri tahu tak boleh dilakukan.

Aku melangkah keluar dari pojok itu dan berdiri bengong. Di hadapanku, menghampar pemandangan yang selalu muncul di dalam mimpiku. Kompleks kelas berbentuk persegi, dengan UKS di bagian tengahnya, dikelilingi taman dan berhadapan dengan perpustakaan. Perpustakaan. Aku tak bisa melihatnya dari sini sebab terhalang UKS dan pilar teras dan dedaunan. Aku ingin melihatnya.

Banyak orang di sana, lalu-lalang dalam gerombolan dua, tiga, empat, dan lima; beberapa digelantungi makhluk kecil di pangkuannya. Wajah-wajah asing yang tak asing. Tak semuanya berasal dari angkatanku, tapi aku yakin pernah melihat mereka dulu. Tak ada yang mengenakan seragam, tapi di mataku pakaian mereka serba putih-biru. Apa yang salah denganku? Tak tahu. Mungkin aku belum dewasa. Mungkin aku belum mampu melepaskan kenangan remajaku. Mungkin aku masih terjebak di masa lalu.

Untung bagiku, orang-orang cuma lewat saja. Kelihatannya angkatanku mengadakan acara mereka di kompleks bawah, berhubung di sana ada panggung permanen yang walaupun kecil, lebih dari cukup untuk acara reuni 340 orang. Kompleks atas lebih luas, punya aula dan lapangan, mampu menampung dua angkatan sekaligus. Kompleks tengah terbilang sempit, separuh dari kompleks atas, tiga perempat dari kompleks bawah, serta dengan rasio ruang terbuka yang lebih kecil. Kompleks tengah selalu lebih sunyi dan sepi dari dulu, tempat favoritku. Beruntung perpustakaan di bangun di sini.

Begitu aliran manusia mulai surut, aku keluar dan mengelilingi UKS. Jantungku berdebar keras dan darahku menggelontor deras, dada sesak oleh antisipasi. Aku berpapasan dengan sejumlah orang, tapi mereka terlalu sibuk melepas rindu dengan teman lama hingga tak memperhatikan wajah buronku. Aku berhasil sampai di perpustakaan—hanya saja tak ada perpustakaan.

Tak ada perpustakaan. Jantungku mencelus. Rasanya seperti terperosok. Kau melangkah, mengira kakimu akan bertemu tanah, tapi tidak. Rasanya serupa. Aku melangkah, mengira akan melihat kembali tempat yang paling kurindukan di dunia, tapi tidak.

Apa yang dulunya perpustakaan kini hanyalah reruntuhan. Puing-puing. Aku masih bisa melihat lantai dan fondasi, tapi dindingnya hancur berserakan, atap apalagi—hilang lenyap entah ke mana. Aku harusnya sudah bisa menduga. Bahkan ketika aku baru masuk, perpustakaan adalah gedung tua. Sepuluh tahun telah lewat, jadi wajar mereka merobohkannya.

Aku melangkah macam orang linglung. Aku bisa saja melewati “dinding” yang kini tak berdinding, tapi yang kulakukan malah menyusuri apa yang dulunya teras dan memasuki apa yang dulunya pintu. Aku menoleh ke kanan, mendapati apa yang dulunya meja guruku. Aku berkeliling, menjelajahi apa yang dulunya lorong di antara rak buku, lalu menjongkoki apa yang dulunya pojok ruangan, tempat meja kesukaanku pernah berada. Aku menangisi apa yang sudah lewat di sana.

Waktu adalah monster mengerikan. Dia diktator yang menuntut perubahan tanpa henti dan tanpa ampun. Sekuat apa pun kita memelas, Waktu tak akan mendengar. Waktu kejam bagi semua orang dan bengis bagi mereka yang memiliki prinsip, bagi mereka yang jatuh cinta pada kestabilan dan kelanggengan dan konsistensi. Penulis … adalah salah satu pemuja keabadian paling fanatik sepengetahuanku, mengingat tujuan hidup mereka adalah menjadi kekal bersama peradaban sendiri.

Aku ingin mengulang waktuku kembali. Aku begitu ingin dan ingin dan ingin mengulang waktuku kembali. Aku ingin memperbaiki kesalahanku dari awal. Tapi tak bisa. Waktu hanya berjalan satu arah, seperti halnya entropi yang mendikte bahwa kekacauan adalah akhir dari segala keteraturan.

***

Sayup-sayup, aku bisa mendengar suara Kemal, datang dari pengeras suara di kompleks bawah. Tiap kali ada orang yang muncul, dia menyebut namanya dan menyapanya dan menyuruhnya naik ke panggung. Kemal masih belum kehilangan keluwesan lidahnya. Dengan lihai dia memberondong teman-teman lama kami dengan berbagai pertanyaan: Rumah di mana sekarang? Kerja apa? Sedari kapan nikah? Punya anak berapa? Dst., dsb., dsj.

“Rumah? Di jalanan,” jawabku, tangan sibuk menggapai kabel di atas kepala. “Kerjaan? Pengangguran.” Kubuntal gagang pisau-sendok Nasuha dengan kain. “Nikah? Bujang abadi.” Kabel kupotong; lampu sejumlah kelas mati. “Anak? Satu.” Aku menunduk, membiasakan mata dengan kegelapan, lalu menyentuhkan ujung kabel ke pagar besi. Kontak terjadi, percikan muncul, aliran listrik naik, lalu gelap. Seluruh orang di sekolah serempak bersuara—pria bersorak, perempuan memekik, anak-anak merengek.

Aku punya waktu beberapa menit sebelum satpam menyalakan kembali sakelar utamanya. Tidak lama, tapi juga tidak sebentar—intinya itu tak jadi alasan untuk lari dan menarik perhatian orang. Aku memasukkan tangan ke saku dan berjalan cepat, memanjat tangga, lalu tiba di aula. Kudapati lusinan orang yang menyalakan flash kamera HP mereka. Perkembangan teknologi ampas. Zaman aku SMP, HP normal mana ada punya kamera flash.

Aku terus menunduk, menjaga pupil mataku tetap lebar. Aku melangkah dengan amat elegan, serupa menari. Belok sini, belok sana; menghindari meja, kursi, dan manusia dengan sama efisien. Aku sampai di lobi. Meja resepsi tinggal tiga meter lagi, tak dijaga berhubung memang tak memiliki barang berharga. Aku mengeluarkan tangan kiri, siap menggaet buku tamu dan pergi. Setelah hampir setengah tahun mencari, akhirnya akan kutemukan pula wanita yang jadi ibu Nasuha. Aku harap dia bukan betulan orang random yang kebetulan kuperkosa ketika teler. Setidaknya, aku harap aku mengenalnya.

Lihat selengkapnya