Nasuha hanyut entah ke mana. Hari sudah gelap dan hujan makin deras. Polisi menyuruhku untuk pulang, seolah aku anak beruntung yang punya rumah untuk dipulangi. Aku tak akan ke mana-mana sampai adikku ditemukan.
Tapi malam terus menjelang; pagi tiba, lalu siang. Aku lapar. Aku selalu merasa lapar. Konyol, memang—Nasuha baru saja mati, tapi aku malah merasa lapar, seolah hidup ini cuma soal mengisi perut.
Aku menggeledah ransel Nasuha. Dia mati, dan aku malah menggeledah ranselnya untuk mencari makanan. Tak ada. Tak ada apa-apa kecuali buku dan rongsok di sini. Tentu saja tak ada. Anak itu hanya bisa makan jika aku beri. Bocah manis lugu yang banyak tahu sekaigus banyak tak tahu. Bocah naif yang harusnya masih diantar mengompol dan menangis dipelukan ibunya.
Aku sempat berharap. Tuhan, aku sempat berharap. Aku selalu bertanya-tanya kenapa aku lahir ke dunia, apa makna hidupku, mengapa nasibku seperti ini. Lalu aku bertemu Nasuha, dan aku sempat berharap. Mungkin alasanku hidup dijalanan adalah agar aku bisa bertemu dia; mungkin alasanku tak punya orang tua adalah agar aku bisa menyayanginya; mungkin alasanku menderita adalah agar aku menjadi kuat untuk melindunginya.
Kini aku bertanya-tanya mengapa aku dipertemukan dengan dia untuk kemudian dipisahkan dengan cara macam ini. Dasar aku bodoh. Padahal jawabannya jelas dan kentara. Tak ada maksud. Tak ada alasan. Hanya kebetulan. Tak ada cerita di dalam realita.
Jika aku pikirkan lagi, Nasuha mungkin sangat beruntung. Sekarang dia bisa berhenti merasa lapar, berhenti merasa takut, berhenti merasa dingin. Sekarang dia bisa berhenti menderita. Dan apalagi hal yang bisa orang minta dari dunia kalau bukan berhenti menderita? Karena menurut pengalamanku, bahagia itu cuma mitos belaka, wajah lain dari derita—kau harus ingin bahagia dulu sebelum bisa menderita.
***
Jujur saja, awalnya aku tak terlalu peduli dengan pria yang coba menolong Nasuha. Aku cenderung marah padanya, malah. Mengapa dia tak berusaha dengan lebih baik? Mengapa dia membiarkan Nasuha mati? Mengapa dia masih hidup? Aku tahu aku tak adil padanya—kebanyakan orang cuma ingin menonton, mengeluarkan ponsel, dan tetap kering. Mungkin aku cuma merasa dicurangi dan butuh pelampiasan saja.
Aku menemukan tas pria itu ketika menyusuri sungai—Nasuha tersangkut di batang pohon beberapa meter tak jauh dari sana. Begitu aku mendapati anak itu sudah dingin, pucat, dan kaku, aku segera meninggalkannya. Aku tak punya urusan dengan mayat; aku tak punya urusan dengan sebentuk tulang, daging, dan kulit yang menyerupai adikku; Nasuha sudah tidak ada.
Aku sendirian lagi.
***
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan mulai sekarang, dan itu jauh lebih buruk ketimbang melihat Nasuha tercebur di selokan. Ketika Nasuha hanyut, setidaknya aku tahu aku harus mencarinya. Sekarang? Tidak begitu lagi. Rasanya segalanya tak lagi berarti. Aku berjalan, tapi mau ke mana? Aku duduk, tapi menunggu siapa? Aku menangis, tapi untuk apa? Aku tak lagi ingin apa pun, aku tak lagi peduli apa pun.
***
Aku kelaparan. Aku begitu kesepian sampai aku ingin mati, tapi aku masih kelaparan. Aku menggeledah tas pria itu, tapi tak ada apa pun di sana kecuali laptop rusak dan buku usang yang dibungkus plastik. Aku membuka buku itu dan menemukan sebuah foto lama berisi sekumpulan anak SMP yang tampak bahagia. Perasaan iri merayapi dadaku. Orang-orang ini tak tahu betapa beruntungnya mereka; mereka masih mengeluh, mereka masih merengek, mereka masih bilang hidup itu sulit, padahal di sini aku bersedia memberikan apa pun untuk bertukar tempat dengan salah seorang paling sial di antara mereka.