“Sekarang apa?” tanya Nasuha … atau Boncel? “Kamu gak sayang aku lagi?”
Aku ingat kalau saat itu aku marah. Aku merasa ditipu. Aku pikir, walaupun hidupku hancur, walaupun aku mati, aku setidaknya meninggalkan seorang anak, perpanjangan dari tubuhku, perpanjangan dari ceritaku. Tapi rupanya itu cuma delusi belaka.
“Apa hak lo nanya begitu? Lo nipu gue.” Perjalanan panjangku, pengorbananku, perjuanganku, semuanya sia-sia. Aku telah dipermainkan serupa orang idiot. “Bohong! Semuanya bohong!” Aku merasa hampa. Semua kenanganku dengan Nasuha, semua perkataannya, harapannya, senyumnya, tawanya, tangisnya, dan segalanya tentang dia, adalah palsu belaka, tak punya makna.
Boncel menatapku. Matanya, yang kini muram dan lelah, bergelimang basah. “Aku sayang kamu, itu gak bohong.” Boncel menyeka wajah, lalu menegarkan diri. “Buat aku, kamu ayah terbaik. Semisal Tuhan kasih aku kesempatan buat pilih orang tua, aku bakal milih kamu. Selalu kamu. Gak mau orang lain.”
Aku menggeleng. Aku tak mempercayainya. Dia memanipulasiku dulu; apa jaminan dia tidak melakukannya sekarang?
“Kamu bijak. Kamu cerdas. Kamu kayak nama kamu—bestari. Dan kamu baik, manis, luar biasa sayang buat hal yang kamu anggap berharga. Kamu ajari aku hal-hal yang bikin aku kagum, hal-hal yang bikin aku penasaran, hal-hal yang bikin aku pengen hidup.” Boncel terisak. “Aku mohon. Kembali padaku.”
Aku menggeleng makin keras. “Lo yang aduin gue ke Husen.”
“Aku gak punya pilihan!”
“Lo bisa ngaku. Lo bisa ngaku sedari awal.”
“Mana bisa, bego! ‘Nasuha’ itu satu-satunya alesan kamu masih hidup sekarang!” Boncel menangis. “Aku tau. Dia juga pernah jadi alesan hidup aku. Aku paham itu.”
Dia benar. Nasuha adalah satu-satunya alasan aku masih hidup. Selama si bocah belum menemukan tempatnya, aku tak bisa mati. Tapi Nasuha itu tak ada. Setidaknya, Nasuha yang aku kenal hanyalah karakter fiksi belaka. Tiba-tiba saja aku kebingungan—Kenapa aku marah? Orang marah ketika ekspektasinya terjegal. Tapi aku tak lagi punya ekspektasi dalam hidup ini. Aku bahkan merasa tak terikat apa-apa dengan hidup ini. Aku malah bertanya-tanya, Kenapa aku masih hidup?
“Pergi,” kataku. Boncel mendekat. Kulempari wajahnya dengan buku jurnalku dan diari Nasuha. “Lo bukan siapa-siapa gue! Pergi!”
Kini, ketika aku mengingat kembali kejadian itu, aku pikir Boncel memang benar-benar menyayangiku. Aku orang logis. Normalnya aku selalu bertindak dengan akal sehat. Akan tetapi, ketika emosiku meluap, nalarku hilang, dan aku berubah jadi binatang. Boncel mengetahuinya, tapi masih pula coba meraihku. Dia tahu. Jika dia meninggalkanku malam itu, aku tak akan melihat mentari lagi esok pagi.
Aku menepisnya, mendorongnya, menginjaknya. Si bocah terhuyung mundur, menabrak kursi, lalu ambruk. Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku bergegas lari terpincang dari sana. Aku berhenti. Seseorang menjegalku.
Nanda.
“Mbak Nanda!” Boncel berseru. “Mbak, tolong, Mbak! Tolongin Ayah, Mbak!”
Nanda tak kelihatan perlu disuruh. Perempuan pendek itu berdiri dengan mantap di depanku, tak bergeming, mata besar menyalang, tangan mungil terentang. Pemandangan konyol, jujur saja, berhubung aku bisa dengan mudah mendepaknya dan dia akan langsung terjungkir.
“Nyisi,” kataku.
“Gak, Habil. Gak dalam sepengetahuanku.” Nanda menggeleng. “Kamu sakit, Habil. Pikiran kamu sakit. Ayo bicarain ini. Aku yakin aku bisa sembuhin kamu, tapi kamu harus kasih aku kesempatan dulu.”
“Gue udah cape, Nda.”
“Jangan nyerah gitu aja! Gimana sama Nasuha?”
“Gak ada Nasuha.” Aku menunjuk makhluk yang dipanggil Boncel. “Dia bukan anak gue; dia gak ada hubungannya sama sekali sama gue; dia cuma parasit!” sergah pria yang merupakan epitome dari parasit itu sendiri.
Nanda terdiam, mulut mengatup lurus. Dia tak kelihatan terkejut.
“Lo tau,” ujarku kaget.
Tak ada jawaban.
“Lo tau, kan?”
“Aku … curiga,” sahutnya hati-hati. “Itu penjelasan paling simpel.”
Tentu saja. Tentu saja Nanda melihatnya. Begitu jelas dan kentara. Kini dapat kulihat petunjuk-petunjuk yang tak pernah benar-benar disembunyikan itu: gitar, tulisan, reaksi, … tanggal ulang tahun, astaga! (Tepat 280 hari setelah insiden.) Setiap orang yang mau berpikir pasti bisa langung menyadarinya. Aku terjangkit bias konfirmasi; aku memfilter semua bukti yang melawan teori favoritku.
“Kenapa lo gak bilang?” tanyaku tak percaya. “Kenapa … kenapa lo malah perlakuin dia kayak anak beneran?”
Nanda menyipit. “Habil, kamu gak lagi mikir jernih.”
“Bacot.”
“Dia bikin kamu stabil. Dia bikin kamu semangat. Dia bikin kamu bahagia. Dia emang seorang anak, mau itu dari DNA kamu atau bukan, dia berhak punya orang tua juga.”
“Si kencit nipu gue. Dia manipulasi gue. Dia manfaatin gue.”
“Dia gak punya pilihan lain, Habil. Jangan terlalu nyalahin dia.”
“Bukan anak gue.” Aku menggosok wajah, merasakan gelenyar dingin yang menjalari tulangku. Saat itu, aku benar-benar berharap Nasuha memang anak biologisku. Fakta bahwa aku tak memiliki anak haram tidak membuatku selega yang seharusnya. “Tuhan … gue gak punya anak ….”
“Gak ada yang berubah, Habil,” tampik Nanda. “Sama sekali gak ada yang berubah. Kamu masih kamu, Nasuha masih Nasuha. Apa yang ganggu kamu cuma perspektif.”
“Bukan anak gue.”
“Dia anak kamu!” Untuk suatu alasan, Nanda merongos. “Aku tau pikiran kamu gak sesempit itu! Dia anak kamu! Kali dia gak warisin darah kamu, tapi dia warisin ide-ide kamu, ilmu kamu, filosofi kamu, semua hal yang bikin kamu jadi kamu.”
“Gak bikin gue lebih baikan, anjing.”
“Kamu lagi marah, pikiran kamu keruh. Kamu masih sayang Nasuha kayak dulu. Kamu cuma gak sadar itu. Jangan berbuat hal yang bakal bikin kamu nyesel nantinya.”
“Udah gue bilang, gak ada Nasuha!” Bagaimana ekspresi Boncel saat itu, aku tak tahu. Aku tak barang menoleh padanya. “Sekarang, minggir.”
“Gak.”
“Lo sadar kalau gue bisa aja banting lo?”
Nanda, dengan tubuhnya yang pendek dan roknya yang panjang, tak kelihatan gentar barang sedikit pun. Apa dia pikir aku cuma menggertak? Memang, aku suka padanya, tapi aku orang yang memukul anak kecil—kenapa dia berpikir aku tak akan berbuat hal serupa pada wanita dewasa?
Dengan satu tangan—hanya satu tangan—aku menangkup dahi Nanda dan mendorongnya. Itu adalah kali pertama aku menyentuhnya. Si gadis roboh bagai macan kertas; galak di luar, rapuh di dalam. Nyali Nanda sayangnya tak ciut. Aku tak yakin keberanian gadis itu akan luluh oleh apa pun. Jadi, sadar gadis itu akan bangkit lagi, aku kembali mendorongnya dahinya. Nanda terguling untuk kali kedua, mengerang, bertumpu pada tangannya, lalu bangkit … dan jatuh lagi ketika aku mendorong dahinya. Terus seperti itu. Lagi dan lagi. Hingga Nanda terjungkal, terjungkir, tergolek, terbalik, dan terkapar. Nanda tak menyerah. Yang ada, dia malah makin keras kepala, dan itu membuatku takut.
Jadi, aku tinggalkan perempuan itu dan lari kabur.
“Habil! Jangan berani-beraninya kamu ninggalin kita!” Nanda menjerit di belakang. “Habil! Ke sini lagi, anak bangsat!”
Disebut anak bangsat, tak lain dan tak bukan oleh Nanda sendiri yang normalnya bertutur santun, membuatku makin ngibrit. Untuk suatu alasan, sekujur bulu kudukku berdiri. Hingga kini aku masih heran kenapa aku bisa menyukai perempuan yang membuatku ketakutan.
Aku lari memanjat tangga dengan terpincang-pincang, masuk ke Gang Kejahatan yang sialnya masih remang-remang macam dulu. Aku sempat jatuh, kaki masuk ke selokan. Aku bangkit lagi dan jatuh lagi, kali ini menabrak pagar apotek hidup. Aku tiba di pekarangan kompleks tengah, lari sambil membenarkan celana yang merosot. Di depan perpustakaan, aku menabrak seseorang.
Si bangsat berdiri tengah jalan, memandang puing-puing sambil menggendong tangan. Dia tak melihat kedatanganku, berhubung telalu khusyuk melamun; aku tak melihat keberadaannya, berhubung di sana gelap. Aku nyaris mendampratnya ketika makhluk itu menoleh.
Aku mengerjap, dan pelan-pelan pupilku melebar, memberi ruang untuk cahaya masuk. Aku bisa melihat rambut orang itu yang kini putih seluruhnya, serupa kertas. Aku bisa melihat kulit orang itu yang kini keriput dan berbercak. Aku bisa melihat giginya yang hilang separuh kala dia tersenyum.
“Habil,” katanya riang. “Kamu tinggian sekarang!”
Aku terbengong. Aku serasa ada dalam mimpi. Tak lama kemudian, Nanda datang menyusulku, meraih punggung bajuku, dan merongos, “Jangan kabur, dasar manusia kon—” Dia tak pernah menyelesaikan umpatannya (yang mana bakal jadi skandal menggemparkan bila iya) sebab lebih dulu menyadari orang di depan kami. Nanda ikut terbengong bersamaku.
“Nanda!” kata orang itu, makin kedengaran bahagia. “Ooh, kamu mah gak banyak berubah, kayaknya.”
Orang yang menangis duluan adalah Nanda, kemudian disusul olehku. Kami berdua saling berebut untuk menghampiri Pak Nurdin, macam anak kembar yang minta perhatian sang ibu. Semuanya lengkap sekarang. Aku, Nanda, Pak Nurdin, dan perpustakaan. Gelombang nostalgia menghantam lebih keras dari sebelum-sebelumnya.
***
Ketika SMP, Nanda adalah anak yang menyebalkan, sebab dia tak pernah ragu untuk mengadukanku pada Pak Nurdin seandainya aku sedikit saja nakal. Sepuluh—tidak—sebelas tahun lewat, tapi kebiasaan lama memang susah mati.
Hal pertama yang Pak Nurdin katakan setelah reuni 11 tahun kami adalah: “Saya udah denger semuanya dari Nanda. Dia yang telepon saya supaya datang ke sini.”
“Anjing Nanda tukang ngadu lo!”
Dan seperti masa SMP, Nanda tidak takut. Alih-alih, dia malah angkat dagu dan memelototiku, seolah minta ditonjok. “Kita butuh Pak Nurdin, Habil. Dia akar kamu. Aku mungkin gak bisa bantu kamu soal proses kreatif kamu, tapi beliau bisa.”
“Dibilangin gue udah cape! Gue gak mau nulis lagi!”
“Jangan jadi pecundang, Habil. Jangan ‘nyerah’ gitu aja.”
“Lo gak punya hak buat larang gue,” kataku. “Dan lo gak bisa. Gue bisa lakuin itu kapan aja. Kalo gak sekarang, besok. Kalo gak besok, lusa. Kalo gak lusa, minggu depan.”
Nanda merepet. “Kamu pikir aku bakalan takut? Aku lebih keras kepala ketimbang kamu, Habil. Kalau perlu, aku bakal iket seluruh badan kamu biar kamu gak bisa ngapa-ngapain!”
“Percuma, gue bisa tahan napas.”
“Kamu bukan Diogenes, bego. Kamu bakal pingsan duluan sebelum mati.”
“Gue bisa gigit lidah.”
“Gak mungkin juga. Kamu pengecut, Habil. Kamu gak bakal berani mati pake cara brutal kayak gitu.”
“Siapa bilang!”
“Nanda bilang!”
Kami saling pelotot.
“Hei, hei! Udah, ayo ngobrol baik-baik.” Pak Nurdin melerai, serupa dahulu. “Kalian anak-anak pinter. Kita beresin ini pake kata-kata pinter.”
***
Kami duduk di puing-puing perpustakaan, menggunakan reruntuhan tembok sebagai alas. Posisinya masih serupa dulu: aku dan Nanda berdampingan, Pak Nurdin di hadapan.
“Mana Nasuha?” Nanda terkesiap panik.
“Tau.”
Nanda cemberut.
“‘Tau,’” ulang Pak Nurdin sambil melamun. “Itu kata penggalan dari gak tau. Di ragam lisan, kita bakal langsung sadar maksudnya lewat intonasi, tapi di ragam tulisan, ini ngebingungin.” Guruku terkekeh sendiri. “Mungkin kita bisa pake apostrof buat nandain bagian yang ilang. Kayak di s’lalu atau ’45. ’Tau.”
Mendengar lanturan Pak Nurdin, cemberut Nanda makin parah. “Bapak gak mau tanya ada apa sama Habil?”
Guruku diam sejenak, mata masih menatap angin. “Kamu masih nulis, Habil?”
Aku terhenyak. Sama seperti pertemuan kembali dengan Nanda, aku juga selalu memimpikan pertemuan kembali dengan guruku. Tidak, dalam mimpiku, Pak Nurdin tidak bertanya, Kamu masih nulis, Habil? Mimpiku lebih indah dari itu—mimpi selalu begitu, aku pikir. Dalam mimpiku, aku sudah menerbitkan banyak buku, beberapa jadi bestseller, dan oleh karena itu, Pak Nurdin akan berkata, Saya udah baca semua buku kamu. Semuanya khas banget. Gak percaya kalau saya yang pertama ajarin kamu nulis. Lalu kami mulai membahas ceritaku dengan detail dan penuh gairah: plot berani, karakter kuat, konflik relevan, prosa elegan, dst., dsb., dsj.