Aku duduk di teras perpustakaan. Bukan “perpustakaan” yang sama dengan yang ada di jurnal ayahku; bukan Rimba Aksara yang pernah jadi petapaan si Mata Tiga dulu; bukan. Bangunan itu sudah dirobohkan bahkan sebelum Ayah memungutku. Perkara yang amat disayangkan. Aku selalu ingin duduk di meja pojok yang dulu ayahku kerap huni.
Perpustakaan kini terletak di kompleks bawah, di sudut timur laut, di bekas lab kimia semasa ayahku. Lagi, ini harus disayangkan. Kompleks bawah mungkin tak sebising kompleks atas, tapi juga tak setenang kompleks tengah. Bukan lingkungan terbaik untuk menempatkan sebuah perpustakaan.
Aku sedang sibuk membaca ketika seseorang berkata, “Sofia temanku.”
Aku mendongak, mendapati seorang siswi yang berdiri di depanku, tangan berkecak pinggang. “Apa gerangan, Nura musuhku?”
“Bantuin aku.”
“Perasaan gak ada PR.”
“Bukan perkara PR.”
“Aku kere kalo kamu lupa.”
“Bukan mau pinjem duit.”
“Nih. Aku bawa banyak.”
“Aku gak lagi mens! Lagian jangan sodor-sodor Softex di muka umum, kenapa!”
Aku angkat bahu. Siklus datang bulanku masih parah macam biasa. Tak ada ruang untuk malu-malu. Sekarang saja sudah terasa becek—padahal baru diganti sejam yang lalu. “Ringkas, Nur.”
“Cowok.”
“Stop.”
“Hah?”
“Entah kenapa obrolan kita mulai mirip kayak obrolan ayah aku sama temennya dulu. Dan asal kamu tau, kejadiannya gak berujung baik. Ayah aku berakhir PHP-in cewek random, jadi bahan omongan satu sekolah, terus babak belur gara-gara dihajar preman.”
“Ayah kamu orang gila.”
“Sembarangan kalo ngomong!”
“Dia pernah disalib waktu reuni dua taun lalu, kan? Semua orang sepakat itu udah jadi legenda.”
Aku tak mampu membantah. “Okeee …. Harus diakui, kadang-kadang, Ayah emang suka … ekstrem. Tapi pada dasarnya dia baik, kok.”
“Siapa yang bilang kalo dia jahat, Sofi …. Aku tau dia baik. Yang aku maksud itu, kamu gak bisa jadiin kisah hidup ayah kamu teladan.”
Aku menghela napas. “Kamu pengen apa?”
Nura tersenyum semringah dan duduk di sampingku. “Bantuin aku minta nomor WA-nya.”
“Tuh, kan!”
“‘Tuh, kan’ gimana?”
“Sama, tau! Sama kayak cerita Ayah! Apaan, nih? Kamu nge-prank? Itu, itu, itu … eng … terus kamu bakal bilang kalo gebetan kamu dari kelas G, kan? Dan kamu gak bisa PDKT langsung gara-gara kamu pernah ribut sama temen sekelasnya, kan?”
Nura menatapku macam aku ini orang gila. “Kamu kebanyakan baca ini buku lusuh, Sof.” Temanku menyentil jurnal Ayah yang tergeletak di dekat kakiku macam itu barang najis.
Buru-buru aku mengambilnya, memeluknya bersama buku antologi catatan Ayah dan Mbak Nanda yang kutulis ulang. Nura memandang gerak-gerikku dengan wajah malas. Si gadis sudah berteman denganku semenjak ospek, jadi wajar kalau dia muak melihatku membaca dua buku yang sama berulang-ulang setiap hari. (Fenomena aneh: otak manusia benci sesuatu yang berulang.)
“Coba nyari pacar, Sof,” celetuk Nura sambil mengelap ujung jarinya (iya, ujung jari yang dia gunakan untuk menyentil jurnal Ayah) ke rokku. “Kali kamu bakal jadi normalan dikit.”
“Kita masih kelas 1 SMP, tau ….”
“Kenapa? Semua orang pada gitu sekarang, kok.”
“Ibu aku pernah nulis, Apa yang salah tetap salah walau dilakukan semua orang.”
“Apa yang salah dari pacaran?”
“Metode yang menyalahi tujuan. Ibu aku nulis, kalo kamu pengen tau apakah seseorang layak jadi pasangan hidup kamu atau enggak, yang kamu butuhin itu pertukaran informasi, bukan main rumah-rumahan.”
“Ibi iki ini, ibi iki iti.” Nura menggebahkan tangannya ke udara. “Bah! Kamu ya kamu. Gak usah ngikutin semua yang Mbak Nanda bilang.”
Aku terdiam. Bagaimana cara menjelaskannya? Satu-satunya ikatan yang kumiliki dengan dua manusia yang kuanggap orang tua hanyalah ide semata. Jika aku tak berpikir seperti mereka, maka bagaimana bisa aku tetap menyebut diri sebagai anak mereka? “Balik ke topik,” kilahku. “Jadi, siapa yang kamu taksir?”
“Kak Dhirsayasha.”
“Siapa?”
“Kak Dhirsayasha.”
“Tolong jadi gadis manis dan ejain itu buat aku.”
“D-H-I-R-S-A-Y-A-S-H-A.”
“Itu nama lengkapnya?”
“Bukan. Nama lengkapnya Dhirsayasha Arsaraka Petir.”
“Petir?”
“Petir.”
“Kontol.”
“Heh!”
Mau tak mau aku curiga kalau temanku sedang usil. “Orang tua megalomaniak macam apa yang kasih anaknya nama searogan itu? Lidah aku hampir keselo nyebutinnya!”
“Arogan gimana? Keren tau!”
“Stres lo, Nur.”
“Gak gitu, iih! Soalnya orangnya emang keren! Jadi ya cocok-cocok aja!”
Aku memandang makhluk di sampingku dengan skeptis. “Keren?”
“Iya! Kamu mesti liat sendiri, pasti paham.”
“Tai dia masih bau, kan?”
Nura tak menjawab dan cuma menyipitkan mata.
“Ketek dia masih keringetan, kan? Biji pelir dia masih keriput, kan? Idung dia masih upilan, kan?” Aku angkat bahu. “Kalau masih, berarti dia gak keren-keren amat.”
“Insaf, Neng. Bahasa.”
“Oh.” Aku mengusap mulutku. Terkadang Boncel muncul ke permukaan ketika aku terbawa emosi. Mbak Nanda bakal mengomeliku kalau tahu. “Maaf.”
“Denger, wahai sahabatku Sofia Arunika, aku gak peduli kamu suka Kak Dhirsa atau enggak.” Sesuatu melintas di benaknya dan Nura mengernyit. “Sebenernya malah bahaya kalau kamu ikut-ikutan suka dia. Yang perlu kamu lakuin itu bantu aku dapetin nomor WA dia. Pertanyaannya simpel: mau atau enggak?”
“Enggak.”
“Iih, kok, gitu, sih!”
“Jujur? Gue muak jadi comblang lo.”
Ayah, nenek, dan kakekku kerap memujiku cantik luar biasa, tapi aku punya mata dan tak jarang bertemu kaca. Aku bisa disebut banyak hal (ireng, boncel, gigi gergaji, telinga gajah) tapi tidak dengan cantik, apalagi yang luar biasa. Nah, untuk kasus Nura …. Nura itu lain lagi ceritanya. Ketika aku bilang dia cantik luar biasa, kusarankan kau mempercayainya. Terkadang aku sendiri sampai dibuat ingin menjilat wajahnya.
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa jika kau ingin berkenalan, titip salam, minta nomor, atau memberi hadiah pada Nura, maka kau melakukannya lewat Acing. Aku tak tahu bangsat mana yang pertama kali menyebar informasi tak bertanggung jawab itu, tapi gara-garanya, aku selalu sibuk mengurusi urusan cinta orang lain.
“Lagian kenapa minta tolong ama gue? Kenapa lo gak minta sendiri aja? Lo cantik, dan lo tau itu. Si anak haram pasti langsung mental ke langit ketujuh begitu lo samperin.”
Nura mengernyit. “Itu nanti keliatannya, kek, aku-nya yang ngebet banget, gak, sih?”
“Lo emang ngebet banget, anjing.”
“Sofia. Bahasa.”
Aku menghela napas. “Kamu emang ngebet banget, cinta.”
“Tapi gak usah blakblakan diliatin juga, kan?”
“Emang kalo aku yang majunya bakal beda?”
“Ih, Sofi mah, ah, gak paham!”
“Aku paham. Ayah pernah nulis tentang ini.” Dalam banyak esainya, khususnya yang membahas feminisme, Ayah kerap mengungkit tentang standar ganda. Dia bilang bahwa seorang lelaki yang tak tahu malu disebut pemberani, tetapi seorang perempuan yang tak tahu malu disebut tak tahu malu. Untuk suatu alasan, perempuan yang pemalu dianggap baik sementara bagi laki-laki kasusnya terbalik. “Aku cuma mikir kalau kita Generasi Alpha harusnya lebih berpemikiran bebas. Bukan berarti aku mikir kalo ide-ide modern lebih benar ketimbang ide-ide ortodoks—kebenaran itu relatif. Masalahnya adalah, tiap ide punya zamannya. Patriarkisme muncul dulu karena kebutuhan, tapi sekarang elemen maskulin gak lagi jadi satu-satunya hal yang muterin roda dunia. Support system udah kedaluwarsa; ini eranya partner system; kesetaraan di dalam perbedaan—lah, aheng, gak didengerin pula! Mau ke mana lo! Gue belom selesai ngomong!”
***
Nura ngadat. Dia tak mau bicara lagi denganku sepanjang sisa jam sekolah. Aku coba membujuknya, oh aku mencoba, tapi dia masih manyun saja dengan imutnya. Pendapat pertamaku tentang fenomena ini adalah: Anjing, bocil ribet amat. Aku pikir temanku teramat kekanak-kanakan sampai-sampai sulit untuk dipercaya. Butuh waktu sebelum aku ingat kalau dia memang anak-anak; dia siswi kelas 7; setahun lalu, dia masih duduk di bangku SD, belum bisa bahkan disebut remaja. Ini adalah salah satu fase yang kulewat karena desakan situasi.
Hampir saja aku mengalah dan menuruti permintaan Nura. Itu adalah hal yang dewasa untuk dilakukan, bukan? Tapi tidak. Aku juga masih anak-anak. Mbak Nanda menyuruhku untuk menjadi anak-anak. Kuputuskan untuk balik ngotot dan mencuekan tingkah konyol teman sebangkuku.
***
Masih ingat dengan Pak Sutarno yang muncul di bagian kedua buku ini? Sekedar informasi, beliau masih hidup; beliau juga masih mengajar; beliau ada di depanku, mengaduk-aduk papan tulis dengan spidol meskipun bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu dan ambeien anak-anak kambuh serentak.
Perlu diketahui, walaupun aku anak ayahku, aku juga anak ibuku. Aku duduk di kursi paling depan. Jika aku meludah, aku bisa mengenai Pak Guru tepat di wajah. Oleh sebab itu, tambahan waktu dari Pak Sutarno sama sekali tak membuatku jengkel; sebaliknya, aku suka. Ayahku tak pernah mengungkapkan fakta ini di keterangannya, tapi Pak Tarno adalah salah seorang dari sedikit guru (selain Bu Laras dan Bu Fitya) yang tak jengah ketika diberondongi pertanyaan. Bengis memang dia, tapi tak pernah kabur ketika kutanyai puluhan kenapa.
Sayangnya, hal yang sama tidak berlaku bagi teman sebangkuku. Nura biasanya anak yang rajin, tapi untuk hari ini, ambeiennya adalah yang terparah diantara teman-temanku. Lihat saja cara duduknya. Petakilan begitu. Sampai aku pun dia depak-depak, sikut-sikut, dan sundul-sundul. Andai aku hanyalah putri ayahku, sudah kutempeleng pula wajah cantiknya bolak-balik.
Lima menit kemudian, Pak Tarno hengkang dari kelas. Seluruh murid bersorak seolah Indonesia baru saja merdeka dari 350 tahun penjajahan (yang mana, catat ini, kurang akurat—350 tahun itu angka yang dibuat-buat supaya mudah diingat dan terasa menyengat.) Nyaris seantero murid di kelas keluar serempak—Nura salah satunya.
“Nur, mau ke mana?” seruku. “Kita bagian piket, anak asem! Jangan balik dulu!”
Tapi si gadis cantik tak menggubris dan terus berderap maju hingga hilang di balik kerumunan orang.
“Kenapa ‘tu anak?” tanya Ridwan. Siswa yang duduk di meja sebelah ini adalah satu-satunya orang selain diriku yang belum minggat dari kelas.
“Pundung,” sahutku.
“Iya, tapi kenapa?”
“Mens.”
Ridwan memicingkan mata.
“Mungkin aja. Siapa tau? Cewek itu makhluk yang penuh misteri.”
“Tapi lo cewek.”
“Dan aku gak paham diri aku sendiri.”
Aku dan Ridwan membereskan kelas berdua. Biasanya ada tiga orang siswa yang piket tiap hari, dirotasi selama dua minggu sekali (3 kali 12, total 36 siswa.) Si bangsat Nura kabur duluan, jadi kini aku pula yang kerepotan. Kelasku adalah pemenang bendera kebersihan selama tiga minggu berturut-turut. Aku tak ingin hal itu berubah cuma gara-gara satu gadis cantik yang cemberut.
Kami membalikan kursi, mengosongkan kolong meja, mengelap kaca, menghapus bor, melipat taplak, membakar sampah plasik, mengumpulkan sampah organik, ini, itu, apalah-apalah; baru setelah semuanya dirasa beres, kami mulai menyapu dan mengepel. Kami baru selesai dengan separuh pekerjaan ketika pintu kelas dibuka dan segerombolan anak kelas 9 masuk.
“Kebetulan banget,” kataku sembari bersandar di gagang pel. “Aku emang belum pengen buru-buru kelar ngepel.”
Para senior melirik ke belakang, ke jejak sepatu mereka yang menjelajah lantai basah. Ridwan bergeser mendekatiku. Pandangan di balik kacamatanya seolah menjerit, Jangan nyari gara-gara waktu gue masih ada, anjrit! Aku tak heran kalau dia takut, sebenarnya. Total ada lima senior, tapi tak satu pun yang punya tampang jinak.
“Lo Acing, kan?” tanya siswa paling depan, yang mana juga paling tampan. Itu adalah hidung paling mancung yang pernah aku temukan di wajah orang lokalan—membuatku ingin membawa penggaris dan mengukur sentiannya.
“Bukan,” kataku.
Si senior mengernyit, melirik nametag-ku, lalu merongos, “Anjing jangan berak lo!”
Aku menghela napas. “Apaan, Bang?”
“Lo temennya Nura, kan?”
“Bukan.”
Si senior kelihatannya terbiasa dianggap serius oleh semua orang; dia gelagapan ketika aku cuekkan. “Lo tau gue siapa?”
Kini giliranku melirik nametag-nya. Dhirsayasha Arsaraka P. “Gak, gak tau,” celetukku. “Siapa lo?”
“Jangan maen-maen lo.”
“Gak. Aku gak lagi main-main. Aku lagi sapu-sapu, ngepel-ngepel, bersih-bersih. Pengennya, sih, aku emang punya waktu buat main-main.”
Mesti diakui kalau waktu itu aku memang sedikit jutek. Bukannya Bang Dhirsa punya niat buruk juga. Dia mungkin bedebah bajingan yang tak lagi ketulungan, tapi bukan berarti dia jauh-jauh datang ke kelasku untuk memalakku atau memukuliku. Dia, menurut pengalamanku, datang ke sini untuk Nura. Mengapa hari ini aku judes sekali? Mens, mungkin.
“Lo pikir itu lucu?” Bang Dhirsa mendekat selangkah. Tubuh tingginya menjulang di atas kepalaku. Tower sekali anak haram yang satu ini.
“Enggak,” sahutku. “Tapi kalo Abang gak keberatan dianggap receh, Abang boleh kok ketawa.”
Aku tak sadar saat aku didorong. Tahu-tahu, aku sudah terkapar menimpa ember di lantai. Terdengar gelak tawa. Ridwan bergegas menghampiriku dan bantu aku berdiri. “Ngapain, sii, lo?” bisik si ketua murid. “Jangan dikomporin!”
“Lo punya nomor Nura, kan?” tanya Bang Dhirsa. Dia mendepak jatuh salah satu kursi dan duduk jongkok di atas meja. “Bagi ke gue.”
Bang Dhirsa sudah amat percaya diri. Lihat saja tampangnya yang belagu itu—senyum tipis di sudut mulut, sebelah alis berkedut. Dia pikir aku takut padanya. Normalnya, aku takut padanya; tapi sejak kapan aku pernah jadi anak yang normal? Aku bangkit, merapikan rokku, meludah ke ember, lalu menyiramkannya pada manusia babi di depanku.
Kami nyaris saja berkelahi andai Ridwan dan anak buah Bang Dhirsa tak turun tangan.
“Lo pikir gue takut?” Aku coba berjalan mendekat, tapi Ridwan menahanku—dengan satu tangan. Aku pendek, aku kecil, dan aku perempuan. Jangankan melawan preman sekolah, melawan anak culun saja aku tak mampu. Jika dipikir dengan logis, agak sulit dipahami mengapa aku seberani itu. “Gue gak takut! Gue gak takut, anjing! Lo bukan apa-apa dibandingin masa lalu gue!”
“Anak lacur taik! Masalah lo apaan, hah!” Bang Dhirsa merongos. Selain marah, dia juga kebingungan. Mungkin seumur-umur dia tak pernah berhadapan dengan orang macam diriku. “Tampang kayak babi juga masih aja banyak tingkah! Kalo lo ngiri sama temen lo ya bilang aja, bangsat!”
Salah seorang kacung Bang Dhirsa melongok dari pintu kelas. “Dhir, guru, Dhir.”
“Awas aja lo, ya!” Bang Dhirsa menunjukku sebelum kabur.
***
Begitu aku tiba di rumah dalam kondisi basah kuyup, Nene segera menjerang air panas dan menjebloskanku ke kamar mandi. Dia mencuci pakaianku, menghandukiku, mengelap rambutku, mendudukkanku, lalu menyuapiku. (Harus diakui, Nene dan Kake agak terlalu memanjakanku; memang tidak mendidik, tapi … justru di situ letak perbedaan mereka dengan orang tua.)
Nene (sambil menyuapi) tanya apa yang terjadi dan aku (sambil disuapi) menceritakannya, semuanya, tanpa ada yang tersisa. Aku tak punya sedikit pun keinginan untuk menyembunyikan apa pun dari keluargaku, terutama Nene, yang merupakan sanak perempuanku satu-satunya. Aku muak memendam sesuatu hanya di dalam hatiku, aku muak ditidakpahami.
“Tapi kamu gak kenapa-kenapa?” tanya Nene panik. “Gak ada yang luka?”
“Enggak.” Aku menyambut suapan Nene dan diam sejenak untuk mengunyah. “Cuma te-be aja dikit.” Suapan lagi; mengunyah lagi; diam lagi. “Gak terlalu sedikit juga, sebenernya.”
Nene menghela, menjatuhkan kepala ke sandaran, lalu menyentil keningku. “Ngapain juga kamu anak perempuan pake cari ribut?”
Aku coba mengelak dengan percuma. “M-mens?”
“Gak jadi alesan!”
“Ampun, Ne, ampun! Jangan sentil lagi! Sakit, sakit!”
“Astaga …. Habil aja yang cowok gak pernah berantem waktu sekolahnya.”
“Kata siapa, Ne! Pernah, Ne, pernah! Jangan mau ditipu! Ayah pernah berantem juga, loh! Dia gak sebaik itu!”
“Mana ada.”
“Iiih, aku serius! Ayah pernah berantem pas waktu kelas tujuh!”
“Ooh.” Nene menyeka remah nasi dari sudut mulutku. “Iya, iya. Nene inget. Tapi itu bukan berantem. Dia dijegal preman jalanan.”
“Enggak! Ayah berantem! Gegara merebutin cewek pula!”
“Yang bener kamu?”
“Suwer! Kejadian aslinya ada di jurnal Ayah. Ayah gak sejinak yang Nene pikir: Ayah berantem, Ayah bolos, Ayah ngerokok. Oh! Ayah juga main cewek!”
“Si Qabil ngerokok waktu SMP?” Nene mengernyitkan kening, wajah bendu. “Hmm …. Oke, oke. ‘Ntar Nene tanyain lagi.”
Seketika saja aku meragukan keputusanku membocorkan rahasia kecil ini. “Tapi, tapi Ayah masih baik, kok, kalo dibandingin anak cowok lain,” tambahku buru-buru. “Masih cupu. Serius, serius.”
“….”
“Nene … gak bakalan pukul Ayah, kan?”
“Emang sejak kapan gue pernah mukul itu anak? Cubit aja gue gak pernah.” Nene menghela dan geleng-ngeleng. “Justru mungkin gara-gara dulu dia kelewat dimanjain, dia jadi gitu sekarang.”
Aku beringsut dan menyentuh nenekku. “Nene besarin Ayah dengan baik, kok!”
“Terus kenapa sekarang dia gak …” Nene berkerung, sepertinya kesulitan mencari diksi yang tak terlalu menyinggung.
“Gak beres?” tawarku.
“Sembarangan!” Nene menggosok keningnya. “Oh, bener: … gak bisa kayak orang lain.”
Aku memandang nenekku. Sama sekali tak sulit untuk menebak perasaannya, tak butuh imajinasi yang kuat atau empati yang dalam. Seorang wanita paruh baya dengan anak tunggal yang masih lajang dan mungkin terus lajang. Nene harus menerima kenyataan sureal bahwa garis keturunannya harus berakhir hanya di putranya. Ketika muda, dia sering keguguran dan kesulitan memiliki anak; ketika tua, dia kesulitan memiliki cucu pula.
“Ne?”
“Hmm?”
“Maaf aku bukan cucu asli kalian, Ne.”
Nene mengangkat wajahnya dan menoleh. “Jangan itu lagi ….”
“Kalo aja aku cucu asli Nene, Nene pasti gak bakal sedih. Aku bisa lahirin cicit Nene. Nene bakalan selalu ada, punya jejak di dunia. Nene—”
Nene mencomot mulutku serupa orang mencomot nasi. “Bukan. Itu. Yang. Nene. Maksud.” Nene terdiam agak lama, otak berputar merangkai kata. “Nene bohong kalo bilang gak pengen punya cucu kandung, tapi Nene bohong juga kalo bilang gak pengen si cucu kandung itu kamu. Sofia, kamu anak baik—kamu tekun, kamu pinter, kamu pemberani. Kamu gak pernah ngerengek minta hal yang enggak-enggak, gak pernah ngeluh waktu disuruh bantu-bantu, gak pernah komplain bosen makan yang itu-itu aja. Kamu selalu bersyukur dan bikin kami semangat. Habil bener waktu kasih kamu nama Arunika—kamu matahari paginya rumah ini.
“Kalopun ada yang harus disayangkan, itu adalah kenapa Habil gak nemuin kamu lebih awal. Kenapa kami gak bisa lindungin kamu dulu? Ubah masa lalu kamu yang gak baik? Temenin kamu waktu kamu sedih? Momong kamu waktu kamu belum bisa jalan? Nene gak pernah sedikit pun dan sekali pun mikir kalo kamu bukan anugerah.”
Aku merasa hidungku melambung dan perutku menghangat. Aku beringsut kian dekat dan, tanpa alasan yang jelas ujung-pangkalnya, memijiti kaki Nene. “Sofia anak baik, Ne?”
“Iya, dan kamu cantik juga. Orang-orang gak nyadar itu sebab mereka kelewat sibuk nyari sesuatu yang baru. Mereka bosen. Mereka gak sadar kalo hal baru bakal jadi hal biasa seiring waktu. Kamu, cucu Nene yang manis, beda. Kamu gak bikin bosen. Sebaliknya. Kamu makin lama malah makin menarik buat disayang. Orang cuma bakal sadar itu seudah kenal kamu cukup lama. Jadi, kamu gak usah iri sama temen kamu.”
“Iri?”
“Kamu iri sama Nura, kan?”
Aku tercenung, berpikir, meraba-raba isi hatiku. “Nene bener,” akuku. Si Bangsat Dhirsa juga bener. Aku iri pada Nura. Mens mungkin mempengaruhi, tapi asal apinya, pemicunya, adalah keinginan memiliki apa yang orang lain miliki. Aku ingin punya tubuh yang semampai juga, kulit yang putih juga, gigi yang rapi juga; aku ingin jadi cantik dan diperebutkan oleh anak laki-laki juga.
Sofia lo tolol. Sebodoh itukah dirimu? Lupakah kamu pada masa lalumu? Lupakah kamu pada rasa lapar, rasa sepi, dan rasa dingin? Lupakah kamu pada Si Laknat Johar dan setan-setan keparat yang dia bawa? Sekarang kamu punya rumah dan keluarga; perutmu selalu kenyang dan tidurmu selalu nyenyak; kamu aman; kamu bersekolah macam anak-anak lain; tertawa bersama, menangis bersama; mencari tahu segala hal yang membuatmu penasaran; kamu tak lagi pernah sendirian.
Dan kamu masih belum bahagia?
Kupeluk nenekku erat-erat hingga dia memekik dan mengumpat, piring nyaris jatuh dari tangan. “Masa lalu aku gak perlu disayangkan. Sepahit sama sesakit apa pun itu, semuanya nuntun aku ke kalian, keluarga aku. Aku gak keberatan ngulang itu semua sampe ratusan kali lagi kalo emang perlu.”
Mendapat perkataan macam ini, Nene tak bisa komplain apa-apa lagi.
“Ne,” panggilku.
“Apa?” sahutnya bengek.
“Aku pengen hidup sama kalian seribu tahun lagi.”
***
Malam itu, aku bermimpi tentang Nasuha. Aku bermimpi Nasuha masih hidup, menjadi putri Ayah, menjadi cucu Nene, bersamaku. Dia amat bahagia, tak pernah berhenti tersenyum dan tertawa sepanjang harinya. Dia selalu ingin memiliki keluarga, lebih-lebih dariku.
Dia berbagi kamar denganku, dan kami akan tidur bersama setelah mengobrol panjang tentang hal-hal yang tak berguna, tentang hal-hal yang tak penting, tentang pelajaran sekolah, tentang teman baru, tentang anak laki-laki, tentang cerita sinetron, tentang kata-kata baru, tentang lagu hits. Kami akan kepergok Ayah, sebab Ayah manusia kelelawar, dan dia penguasa rumah di malam hari. Kami akan diomeli, disuruh untuk cepat tidur; Nasuha akan merengek, minta didongengkan sebuah cerita. Nasuha amat menyukai Ayah. Tak seperti orang dewasa yang lain, Nasuha bisa bertanya apa pun pada Ayah.
Aku terbangun, dan untuk beberapa saat, aku mencari Nasuha. Begitu aku ingat bahwa anak itu sudah tak ada, meninggalkan dunia tanpa sempat merasakan kasih sayang Ayah, air mataku merebak tanpa bisa ditahan.
***
Esoknya, aku kembali didatangi oleh anak laki-laki.
Saat itu jam istirahat. Aku duduk lesehan di teras kelas, sendirian, menyantap bekal masakan Nene. Di sekolah ini, cuma aku yang membawa nasi dari rumah. Anak-anak lain jajan ke kantin untuk mengisi perut, sesuatu yang tak bisa sering-sering kulakukan. Aku mesti berhemat jika ingin sekolah tinggi-tinggi seperti Mbak Nanda.
“Kamu sibuk?” tanya siswa itu, yang mana adalah anak kelas tiga jika dilihat dari jumlah polet di dasinya.
Ingin aku menjawab, Sibuk anjing, tapi menahan diri; jika aku marah, itu berarti aku tak mensyukuri keberadaan Nene, Kake, dan Ayah dalam hidupku. “Akunya lagi makan, Kak,” sahutku manis. “Kalo ada urusan sama Nura, bisa langsung ke orangnya, kebetulan dia lagi manyun di mejanya.”
Si senior, yang mana bernama Budi Darma, menggeleng. “Bukan.”
Mati-matian aku mempertahankan senyum di hadapan manusia ngotot yang satu ini. “Bukan apanya, Kak?”
“Bukan dia. Kamu. Aku … eeh … pengen ngasih sesuatu ke kamu. Cuma sebentar aja. Boleh?”
Dalam kata lain nitip. Aku menghela napas. “Apaan?”
Bang Budi memberiku sepucuk surat, menggumam tak jelas, lalu berbalik dan kabur. Aku melirik amplop surat, mendapati namaku tertera di sana, lalu berbalik dan kabur. Itu adalah kali pertama seorang laki-laki menjadikanku objek romansanya.
***
Sekarang, perlu diakui bahwa kota kami memang agak terbelakang, tapi tidak seterbelakang itu. Surat cinta adalah gagasan yang sudah lewat dua generasi lamanya. Ayahku tak pernah mengalaminya, begitu pula senior-seniornya semasa sekolah. Surat cinta adalah sesuatu yang cuma kudengar dari dongeng-dongeng Kake saat konon dia masih remaja.
Harusnya aku sudah skeptis dari sana, tapi Mbak Nanda tak pernah bilang bahwa bahwa asmara juga membunuh akal seperti halnya ketakutan (menurut pengalamanku, semua luapan emosi membunuh akal.) Aku bingung mesti bereaksi bagaimana. Aku tak asing dengan ketakutan, dengan penderitaan, dengan kekecewaan; aku tak menyukainya, tapi aku tahu cara menghadapinya. Lain cerita dengan sensasi berbunga-bunga yang seolah mengangkat kakiku ke udara ini. Aku baru pertama kali mengalaminya.
Dulu, di salah satu sesi obrolan sebelum tidur kami, Mbak Nanda pernah bilang kalau suatu saat nanti aku akan jatuh cinta. Ayah sepertinya tak menyadarinya; dia terlalu memandang tinggi Mbak Nanda, yang pada dasarnya masih perempuan juga, dan setiap perempuan adalah pecandu romansa. Sepintar apa pun ia, sedewasa apa pun ia, semandiri apa pun ia, seorang perempuan akan tetap cengar-cengir sendiri ketika dipuji orang yang dia suka. Di era modern ini, seorang perempuan bisa saja—bisa sekali—tak butuh akan keberadaan laki-laki; tapi tak butuh bukan berarti tak ingin; cuma karena bisa bukan berarti harus dilakukan.
Apa yang kurasa tidak tepat disebut cinta, tapi masih tergolong sensasi romansa. Mbak Nanda bilang ketika ini terjadi, aku mesti meluangkan waktu untuk menikmatinya dengan sepenuh hati—tak ada yang mesti dimalu-malui, apalagi ditampik dan diingkari. Ini hanyalah pertanda bahwa aku tumbuh dengan sehat sebagai anak perempuan.
Aku lari dan lari, berusaha bersembunyi, mencari tempat sepi. Tak ada. Ini waktunya istirahat, astaga! Ke mana pun aku pergi, terdengar namaku diserukan.
“Sof, mau ke mana!”
“Sini dulu, Cing!”
“Sofia!”
“Acing!”
“Kenapa wajah lo kayak yang mules begitu?”
Mati-matian aku menahan senyum. Sulit bukan main, kawan-kawan. Seumur-umur, aku lebih terbiasa menahan tangisan; aku tak pernah menahan senyuman. Aku baru tahu kalau rasanya menyakitkan. Kenapa juga aku bisa punya begitu banyak teman dan kenalan? Kelihatannya aku terlalu menikmati masa remajaku.
Pada akhirnya, aku mencari suaka ke toilet. Di sana, aku memuaskan diri untuk cengar-cengir sendiri, petakilan sendiri, berjingkrak-jingkrak sendiri. Aku begitu bahagia sampai tak tahu mesti berbuat apa lagi.
Dengan jantung jedag-jedug, aku membuka surat itu. Pekikku lepas sendiri ketika aku membaca paragraf pertama. Pekik centil, mirip betul dengan yang biasa kudengar dari siswi-siswi ganjen. Aku tak menyangka aku bisa mengeluarkan suara macam itu juga. Terlalu kekanak-kanakan. Bukan hal yang normalnya Boncel akan lakukan.
Suratnya sendiri biasa saja; andai Ayah membacanya, dia akan membantainya: Diksinya miskin! Strukturnya gak jelas! Prosanya burik! Dan seterusnya, dan seterusnya. Aku sendiri, sebagai anaknya, biasanya agak rewel ihwal literatur; tidak untuk kali ini. Kali ini, aku cuma peduli dengan pujian demi pujian yang berjatuhan macam hujan.
Tuhan, mengapa aku begitu lapar pujian? Mengapa aku begitu murahan? Aku begitu gampangan sampai di taraf yang begitu mengkhawatirkan.
Aku harap aku bisa berbagi perasaan ini. Aku harap aku bisa menceritakannya pada Nene. Aku harap aku bisa menceritakannya pada Mbak Nanda. (Tidak, aku tidak terlalu idam menceritakannya pada Ayah. Mungkin karena dia laki-laki?) Aku ingin buru-buru pulang supaya bisa bebas menggelepak di atas kasur dan menjerit di dalam bantal.
Ketika aku kembali ke kelas, wajahku masih merah dan mulutku masih ngilu. Aku penasaran apakah semua orang merasakan hal macam ini dengan intensitas yang sama. Andai begitu, aku tak bisa membayangkan betapa bahagianya menjadi seorang Nura. Aku juga tak bisa membayangkan menjadi Ayah, yang mana kehilangan kesempatan untuk merasakan sensasi ini lagi.
“Kamu kenapa?” tanya Nura. Ini adalah kata-kata pertamanya setelah obrolan kami di depan perpustakaan.
“Gak. Gak kenapa-kenapa,” sahutku. Terang saja itu jawaban yang keliru. Harusnya aku pura-pura bingung dan balik tanya, Kenapa gimana? Kelihatannya akalku masih belum pulih dari mabuk asmaranya. Itu sulit dipercaya, berhubung aku pernah membohongi Ayah selama setengah tahun lamanya—aku ahlinya dalam berdusta.
“Sof, jujur.”
“Apaan, sih, kamu? Gaje banget.”
“Tadi aku liat kamu ngobrol sama cowok di depan. Siapa dia?”
“Gak tau.” Lagi-lagi keliru. Jawaban yang benar adalah Anak kelas lain yang pengen pinjem kursi atau Penggemar kamu yang pengen nitip salam atau Anak culun salah kelas apalah itu.
“Sofia Arunika.”
“Apa!”
“Aku minta maaf soal yang kemarin, oke? Aku yang salah. Jadi, jawab yang jujur ada apa?”
Sedari awal, aku tak benar-benar berniat untuk menyembunyikannya, aku pikir. Aku begitu ingin memberi tahu seseorang, dan Nura adalah sahabatku sekaligus teman pertamaku di sekolah ini. Aku memberitahunya. Aku memberi tahu dia semuanya. Tak tanggung-tanggung, aku bahkan menunjukkan isi suratnya juga.
Aku pikir Nura bakal ikut kegirangan. Aku pikir dia bakal memekik centil dan terkikik-kikik bersamaku. Aku salah. Ketika Nura selesai membaca surat, kernyit khawatir muncul di keningnya yang putih. “Dia ngajak ketemuan seabis sekolah?”
Aku mengangguk antusias, masih belum peka terhadap opini sahabatku.
“Eeh … Sof? Aku pikir kamu jangan datang, deh.”
Aku terdiam untuk beberapa detik. “Kenapa?”
“Aku gak yakin dia ini cowok bener.”
“Maksud kamu?”
Aku yang salah. Aku tak memberi Nura kesempatan untuk menyampaikan fakta buruk rupa ini secara implisit tanpa harus melukai perasaanku. “Sof, dia nipu kamu.”
“Kenapa dia nipu aku?”
“Ini jelas banget!”
“Kenapa jelas banget?”
“Pertama-tama, dia pake surat. Siapa orang yang hari gini pake surat-suratan?”
“Kenapa kalo pake surat berarti bohongan?”
“Sofia, plis pake otak kamu!”
Aku tersinggung bukan main. Di telingaku, perkataannya terdengar seperti, Acing, plis tau diri! Buat aku mungkin bisa jadi, tapi buat kamu beda lagi! Kami saling diam, lalu guru datang, dan perbincangan tak lagi berlanjut. Jika dipikir-pikir sekarang, betapa itu adalah perkara yang kekanak-kanakan. Aku bersyukur punya kesempatan untuk bisa mengalaminya. Tak ada yang dilecehkan, tak ada yang kelaparan, tak ada yang ditelantarkan—hanya sebuah masalah konyol dari drama anak remaja.
Saat itu jam pelajarannya Bu Laras, guru PKn sekaligus wali kelas 7A. Masih muda, mungkin seumur dengan ayahku—salah satu guru favoritku. Biasanya aku selalu menunggu-nunggu jadwalnya tiba. Ayah memang luas wawasan, tapi bersikap persetan soal urusan kewarganegaraan. Dia percaya kalau kebahagiaan bukan dicapai dari mengembangkan nusa atau bangsa atau negara, tapi diri sendiri; seorang kosmopolitan sejati.
Aku mengadukan ini pada Bu Laras, yang mana membuatnya marah. Dia mewanti-wanti padaku, “Kamu mungkin gak tertarik sama politik, tapi politik selalu tertarik sama kamu.” Nyaris semua wawasan politikku sekarang bersumber dari Bu Laras alih-alih Ayah atau Mbak Nanda.
^Habil tak ajari Nasuha politik. Selaraskan.
Beberapa menit sebelum bel, Bu Laras menyudahi kelasnya dan datang menghampiri. “Sofia? Nura? Bisa ikut Ibu ‘bentar?”
Kami menurut saja tanpa banyak bicara, pikir hendak dimintai bantuan membawa buku atau membeli spidol baru. Bu Laras malah membawa kami ke kantin (kantin yang benar-benar kantin, omong-omong; bukan “warung kecil bobrok yang menjual dagangan tidak sehat, tidak mengenyangkan, dan tidak higienis di samping kelas G.”) Aku bingung, tapi menahan mulut sebab enggan berkata apa-apa di hadapan Nura.
“Kalian pengen minum apa?” tanya guruku.
Aku mengernyit.
“Ibu yang traktir, loh.”
Boncel tak pernah benar-benar hilang dari dalam diriku, aku pikir. Bahkan sampai saat ini, ketika semuanya sudah jauh lebih baik, aku masih tak mampu menganggap makanan sebagai kenormalan. “Itu, Bu, itu! Sofia pengen itu,” sahutku, yang mana kedengaran macam sesuatu yang lebih pantas diucapkan anak kecil.
Bu Laras melirik kios es pisang ijo yang kutunjuk. Aku selalu ingin mencobanya. Bukan karena kelihatan enak (itu juga), tapi karena semua teman-teman perempuanku sedang menggandrunginya. Aku tak ingin ditinggal sendiri.
“Nura mau juga?”
Nura mengangguk.
Bu Laras pergi sebentar, lalu kembali dengan tiga gelas plastik yang dibungkus keresek kecil. “Diminum dulu,” katanya.
Aku menurut, dan sekejap kemudian, mood-ku baikan. Hidup glukosa. Selain memicu dopamin, zat ini juga diketahui meningkatkan kontrol diri, fokus, dan kreativitas. (Bukan berarti aku menyarankan mengonsumsi gula secara berlebih, camkan. Itu akan memicu kenaikan insulin, yang mana membuatmu harus mengkonsumsi lebih banyak gula cuma untuk merasa baik-baik saja.)
“Kalian lagi ngambekan, ya?” tanya Bu Laras tiba-tiba.
Guru Gen-Z, aduh. Aku menaruh sendokku dan menyahut lambat, “Enggak.”
Bu Laras mengangguk. “Kalian ngambekan.”
“Enggak, ih!”
“Sofia yang Ibu tau bakalan bilang gini: Kenapa?” Bu Laras menyeringai. “Kenapa ngajak aku ke kantin? Kenapa nraktir? Kenapa nanya gitu? Kenapa, kenapa, kenapa?” Bu Laras tertawa—kuduga karena kondisi pipiku. “Kamu gak nanya barang sekali pun pas Ibu ngajar, dan itu gak pernah kejadian kecuali waktu lagi ada sesuatu.”
Baik aku maupun Nura tak menyahut.
“Hey, Ibu masih muda, kali. Ibu SMP baru kemarin.”
Aku mengernyit. “Ibu seumuran sama Ayah.”
“Ayah kamu masih muda.”
“Dia udah ubanan.”
“Itu kasus spesial, tapi gak jadi alesan juga. Malahan, bisa dibilang jiwa dia lebih bocah dari Ibu.” Bu Laras balas mengernyit. “Yang pengen Ibu bilang itu, Ibu masih paham masalah kalian. Buat Ibu, kalian lebih kayak ade ketimbang anak. Dan asal kalian tau, kelas 7 sama kelas 8 itu masa-masa terheboh juga buat Ibu.”
“Heboh gimana, Bu?” tanya Nura.
“Ya heboh.” Dari sana, Bu Laras mulai bercerita tentang pengalamannya dilabrak segerombolan siswi senior gara-gara berebut laki-laki yang mana Bu Laras kenal pun tidak. Mendengar kisahnya mengingatkanku pada kisah ayahku sendiri: absurd, konyol, kekanak-kanakan, tapi juga amat berkesan dan membekas di ingatan. Tahu-tahu, kami tertawa, memekik, dan bersorak bersama. “Ibu selalu ngerasa kalo satu tahunnya anak SMP jauh lebih panjang ketimbang satu tahunnya orang dewasa.”
“Sof,” panggil Nura agak lama kemudian.
Aku menoleh.
“Inget gak dulu aku pernah nanya apa kamu gak kesinggung dipanggil Acing sama orang-orang?”
“Ya, aku inget.”
“Jawaban kamu ngebekas banget di memori aku,” kata Nura. “Aku emang anak kencing. Mau aku tutup mata sama tutup telinga, fakta gak berubah. Mau kalian panggil aku anak presiden atau anak dewa, aku tetep anak kencing. Omongan gak ngubah kenyataan. Aku gak takut hadepin kenyataan.”
Aku gak takut hadepin kenyataan. Benar. Itu adalah perkataanku—orisinal milikku sendiri, bukan jiplakan dari tulisan Mbak Nanda maupun Ayah. Orang selalu menutup mata dari kenyataan, pikir apa yang tak terlihat itu tak ada. Takut pada kenyataan adalah hal yang percuma. Takut pada kenyataan tak membuatnya jadi kebohongan.
Saat itulah akal sehatku kembali sepenuhnya. Salah satu arti nama Sofia adalah bijak. Bestari. Emosi adalah kompas, bukan peta; kau butuh logika untuk bisa mencapai tujuan. Aku mengeluarkan suratku dan menyodorkannya pada Bu Laras. “Jadi, begini, Bu ….”
***
Bu Laras, seperti janjinya, tak menertawakan ceritaku. Dia tak menepisnya sebagai perkara konyol dan enteng. Dia menanggapinya dengan serius, memvalidasinya sebagai suatu persoalan yang memang layak dipikirkan. Ada pun hal yang membuatnya berbeda dengan kami anak-anak ialah senyumnya. “Iya. Awal puber. Sensasi yang serba baru dan serba ngebingungin dan serba drama,” ujarnya dengan nada nostalgia. “Tapi Ibu kenal sama anak ini.”
Aku mendoyongkan badan. “Serius, Bu?”
“Namanya unik, jadi ngebekas.”
Nura mendengus. “Unik enggak, udik iya.”
“Budi kali udik,” sahutku, “tapi Budi Darma lain cerita.”
“Kenapa?”
“Kamu gak tau?”
“Gak tau apa?”
“Budi Darma itu nama sastrawan angkatan 70-an,” jelas Bu Laras. “Antologi Orang-Orang Bloomington kamu gak pernah baca?”
“Gak. Emang seru?”
“Seru,” jawabku cepat. “Ceritanya ngingetin aku sama Ayah.”
Nura menyipitkan mata. “Dalam kata lain … absurd?”
“Dalam artian positif.”
“Absurd mana ada yang positif.”
“Ayah absurdnya positif. Tingkahnya gak pernah bikin aku bosen.”
“Tapi Ibu bingung. Sepengetahuan Ibu, Budi bukan anak nakal. Gak teladan-teladan amat, emang; kadang lupa ngerjain PR, kadang dapet nilai merah, kadang kena razia rambut, tapi gak pernah bolos, kepergok ngerokok, atau nyusahin guru juga. Anak baik, pendiem sama tertutup, tapi bisa cerewet banget kalo ngobrolin soal komputer—nyaris bisa dibilang geek.”
Nura menggulirkan bola mata indahnya. “Tipenya Sofia banget.”
“Mana ada!”
“Yakin?”
Aku merenung sejenak. “Eng … mesti diakui dia punya passion.”
Nura mengerutkan bibirnya dengan sedemikian rupa hingga menyerupai kerupuk cacat. Sialnya, dia masih tetap cantik.
“Kali suratnya beneran,” Bu Laras berkata. “Siapa tau?”
“Gak mungkin. Sofia kenal dia aja enggak.” Nura mengangkat kedua tangannya padaku. “Bukan maksud aku kamu gak menarik, tapi pesona kamu itu sesuatu yang kayak kopi—butuh waktu buat bikin ketagihan, tapi gak pernah bikin bosen.”
“Aku ngerasa deja vu.” Nene bilang hal yang serupa, dan deskripsi Ayah tentang perasaannya terhadap Mbak Nanda juga tak jauh berbeda. Bukan cinta pada pandangan pertama, tapi cinta yang butuh waktu lama, tumbuh secara perlahan namun tak pernah berhenti. “Omong-omong, dia dari kelas mana?”
“Sembilan E,” sahut Bu Laras.
“Itu kelas Ayah dulu,” timpalku.
“Itu kelas Kak Dhirsa juga,” celetuk Nura.
Aku menoleh pada temanku. “Gimana?”
***
Dari sana, kami pun menyusun rencana untuk melabrak si Budi. (Detail tak penting: Aku menceritakan perkelahianku dengan Dhirsa pada Nura; Nura marah dan berpikir ulang soal opininya tentang kakak kelas yang tidak bersikap kekakak-kelasan itu; Bu Laras kebablasan mengobrol dan terlambat masuk kelas—dia lari usai berkata “anjrit” dengan lantangnya.)
Berhubung aku dan Nura cuma dua anak perempuan yang lembut dan rapuh, kami memutuskan untuk mengajak ketua murid kami yang selalu dapat diandalkan. (Ridwan menolak pada awalnya, tapi meleleh juga usai dibujuk Nura—dasar laki-laki.) Bu Laras juga ikut, tapi tak berjanji bakal ikut campur. Dia pikir urusan remaja harus diselesaikan oleh remaja dengan cara remaja jika ingin menjadikannya pengalaman yang ada manfaatnya; adapun alasan dia beserta ialah untuk mengawasi bila terjadi apa-apa; dan juga untuk mengenang memori masa muda; aku cenderung curiga ke opsi yang kedua, jujur saja.
***
Budi meminta untuk ketemuan di sebuah kelas di lantai dua kompleks kelas tiga. Letaknya ada di pojok, hanya punya satu akses masuk, jauh dari mana-mana. Kami mencari keberadaan Dhirsa dan kawan-kawannya, yang mana benar saja sedang sembunyi mengawasi di area tangga pojok seberang. Nura menawarkan diri untuk maju dan mengalihkan perhatian; kuberi dia hormat dan doa agar pulang selamat.
Tanpa basa-basi, aku, Ridwan, dan Bu Laras naik lewat tangga tengah, lalu masuk ke kelas yang dimaksud. Budi sudah menunggu, sendirian, mondar-mandir tak tentu arah dengan gelisah. Ketika dia melihatku membawa pasukan, tampangnya langsung kelabakan.
“Wan, pegangin dia.”
“Gimana?”
“Pegangin dia! Buruan!”
“Dia kelas tiga, sompret!”
“Alah! Badan jarang olahraga begitu mana ada tenaganya. Udah buruan!”
Dan terjadilah perkelahian yang tidak seimbang antara Budi melawan aku dan Ridwan. Budi tak coba melawan. Dia bahkan tak coba berteriak memanggil bantuan. Dia malah memilih untuk lari berputar-putar, tapi juga tak pernah berusaha keluar (sebuah kelakuan yang akan kupahami beberapa saat lagi.) Begitu kami berhasil menangkapnya, aku langsung saja ke bisnis. Sementara Ridwan menahan tubuh si bangsat, aku melancarkan tinju dan tendanganku.
“Sofia! Jangan keterlaluan!” Bu Laras gelagapan. Sepertinya beliau mengira aku hanya akan menyerang Budi dengan omongan. Dia tak punya persiapan untuk menjadi saksi tindak kekerasan. “Udah, ih, udah! Kasian!”
“Berani macem-macem sama gue, hah? Berani?” Tendang. “Jangan mentang-mentang gue anak orang cupu terus lo pikir gue cupu.” Tinju. “Kapok, lu, hah? Kapok, lu.” Tempeleng.
“Ampun, Mbak, Ampun! Aku kepaksa! Aku disuruh sama Dhirsa!”
“Anak buah dia lo, hah? Anak buah dia musuh gue juga!” Injak.
“Bukan, Mbak! Bukan! Aku … aku … aku kacung dia!”
“Sama aja, kontol!” Jitak.
“Enggak! Enggak! Bukan itu maksud aku!”
“Sama aja! Sinonim-anjing-baca-KBBI!” Tekel.