“Jangan, Mat ! Itu kan sangat berbahaya.” Tiba-tiba saja suara itu muncul, mencoba melerai dua temannya yang sedang berusaha membujukku untuk ikut kebyuran [1] di waduk besar desa kami.
Konon katanya waduk atau yang dalam bahasa anak-anak desa Kedung Kelut menyebutnya dengan sebutan bendungan[2] - adalah salah satu peninggalan londoh [3] yang masih tersisa di desa kami. Itu aku ketahui dari Mbokku dulu yang sering bercerita bahwa bendungan desa kami adalah saksi kekejaman belanda selama 350 tahun menjajah Indonesia. Aku sangat hafal angka itu mengingat sering tercatat di buku IPS sewaktu kelas V Madrasah Ibtidaiyah.
“Mereka semua menggali bendungan yang luas itu pakai cangkul,Mbok?” Tanyaku sewaktu Mbok memotong-motong kulit semangka, dan kemudian mencampurnya dengan adonan dedak halus yang sudah diberi air untuk pakan mentok-mentok [4]nya di perkarangan rumah.
“Terus mau pakai apa? Traktor, Bego, Dosor [5] ? Ya, jelas belum ada pada waktu itu. Lagi pula mana mau londoh membiarkan pakde-pakdemu membuat bendungan dengan mudah.“
“Kok mereka mau-maunya sih, Mbok ?” Tanyaku dengan polos.
“Londoh itu punya tank, pesawat tempur, meriam, dan tembak. Sekali para pekerja itu melawan langsung ditembak. Lha, sedangkan orang ndeso seperti kami ini, mendengar deru mesin sepeda motor saja sudah takut, apalagi mendengar suara ledakan tembak menembus dada orang. Tapi itulah cerdiknya londoh, dia tahu kelemahan kami dan justru itulah yang dimanfaatkan londoh untuk menakut-nakuti kami.“
“Apa ngasoh kamu bilang ? Tak tembak kamu kalau berani macam-macam. Mau kamu tak tembak pakai bedhil [6]?“ lanjut Mbok sambil mendongakkan gagang pisau memparodikan seolah-olah menjadi gubernur VOC yang sedang menginterogasi pekerja pembuat bendungan.
Itulah kemudian mengapa kata Mbok di bendungan yang terletak di bagian barat desa kami itu sekarang menjadi angker. Ya, tentu saja banyak pekerja pembuat bendungan yang mati kelaparan dan kelelahan saat bekerja karena mendapatkan jatah makan dan waktu istirahat yang sedikit. Arwah orang-orang inilah yang kemudian oleh anak-anak desa Kedung Kelut dikenal sebagai penunggu bendungan. Bagi ibu-ibu yang anaknya nakal dan susah di atur, arwah orang-orang inilah yang kemudian berjasa membuat anaknya yang nakal akan seketika terdiam dan berjanji tidak akan nakal lagi.
“Hayo, kalau kamu masih nakal tak ceburkan ke bendungan baru tahu rasa,kamu. Biar dimakan penunggu bendungan sekalian.” Begitu kiranya gertak ibu-ibu kepada anaknya.
Sore itu selepas pulang mengaji, seperti biasa kami anak kolong bendungan bermain bersama. Setelah terlampau bosan bermain sarukan[7] karena lagi-lagi akulah yang menang. Rohman, anak tertua diantara kami yang sudah dua kali rumahya kebakaran (dalam permainan) itu berniat menyudahi kekalahannya. Seperti anak tertua lainnya, ia tentu akan teramat malu jika diketahui di akhir permainan dialah yang ternyata kalah. Maka dengan bujuk rayunya yang juga sebelumya telah bersekongkol dengan Piyah, ia mulai menyusun rencana.
“He Rek[8] ! Ayo kita main kebyuran saja yuk di bendungan. Kudengar airnya sekarang sedang turun?“ Ujarnya.
Mendengar kata kebyuran itu, Piyah yang memang sejak dari usia empat tahun sudah bisa berenang dan paling banyak punya pelampung bebek karet berbinar matanya mendengar tawaran Rohman.
“Waaah, iya kita bisa bawa bebek karet ya, sambil berenang dan mengapung sampai ke lak.[9] Ayo, Ayo! “ Ucap Piyah dengan semangat.
“Tapi aku kan tidak bisa berenang ? Lagi pula bukanya bendungan itu senget [10] dan banyak penunggunya. Jangan ahh ! Aku ngeri.“ Protesku sebagai seorang bocah yang belum bisa berenang diantara mereka.
“Itu kan kalau malam, Mat. Kalau sore-sore begini mana ada setan penunggu bendungan. Lagi pula banyak orang yang mancing ikan di sana kok. Aku sudah melihatnya sendiri.“ Rohman terus membujuk tak mau kalah.
“Kalau aku tenggelam bagaimana ?“
“Kan pakai bebek karet. Nanti aku yang bawah deh“ Bujuk Piyah dengan semangat.
Tawaran terakhir Piyah itu mau tidak mau membuatku berpikir ulang tentang ajakan mereka. Bocah kecil mana yang tidak tergoda bermain air dengan aliran air yang melimpah. Jangankan aliran air yang melimpah, lantai keramik Haji Ali yang basah tekena air hujan pun kami jadikan wahana permainan air yang mengasyikkan. Kalau sudah seperti itu, lantai rumah yang telah berbaur dengan pakaian kami yang kotor selepas hujan-hujanan itu akan terpaksa di pel oleh pemiiknya. Dan dengan demikian Mak Haji akan keluar dengan sebaskom air lengkap dengan alat pel, dan kemudian menguyurnya ke lantai yang kotor itu. Bukannya pulang, anak-anak bocah kelas II Madrasah Ibtidaiyah ini malah bergantian berteriak-teriak meminta untuk diguyur.
“Aku Mak Haji, aku Mak Haji.“ Byurrrr… Mak Haji menguyur tubuh Piyah dengan sebaskom air penuh. Cipratanya sampai memercik mengenai muka dan mataku.
“Aku Mak Haji, aku Mak Haji. “ Teriak Rohman kali ini.
Mak Haji menggelengkan kepala, terpaksa harus kembali menurut untuk menguyur, kali ini tepat di pungung bocah yang paling bongsor diantara kami itu. Dan Rohman pun menggigil bukan main.
“Aku Mak Haji ! Aku Mak Haji !“ Teriakku juga ingin merasakan sensasinya.
“Aku dulu Mak Haji, aku dulu ! “ Teriak Piyah meminta untuk kedua kali. Merasa tidak terima karena giliranku direbut, kutantang Piyah dengan muka sewot setengah kesal.
“Kamu tadi kan sudah Piyah, sekarang giliranku “ Protesku karena memang sekaranglah jatahku diguyur.
“Lha memang kenapa Mak Haji kan Makyu [11] ku. Ya, terserah aku dong ?” Penyakit khas Piyah yang selalu mengandalkan apa yang dimilikinya kembali kumat.
“Sudah, sudah ! Cukup ya bermain airnya. Diteruskan besok saja kalau hujan lagi. Itu bibirnya sudah biru-biru nanti masuk angin, nanti ibu kalian bisa marah.” Sahut Mak Haji mencoba melerai.
Belakangan ini kemudian aku tahu bahwa taktik seperti itu sering digunakan orang dewasa untuk mengusir anak-anak dengan halus. Kalau sudah seperti itu kami pun buyar dengan terartur. Tapi rasa jengkel dan donggkolku terhadap Piyah masih belum termaafkan. Aku menyumpahinya, dan Piyah mengancam tidak akan meminjamkan pelampung bebek karet miliknya. Ia kemudian mulai mengungkit-ungkit kekayaaan kelurganya, juga mengungkit-ungkit lantai rumah Mak Haji yang kami gunakan untuk main perosotan saat ini yang tak lain adalah lantai rumah makyunya. Dan seperti yang sudah-sudah Piyah tak akan pernah mau mengalah, selalu merasa dirinya benar. Kalau sudah seperti itu kami sepakat tidak akan mau mengajaknya main ebakan [12] atau boiyan [13] lagi, sampai dia berjanji mentraktir kami beli es wawan dan meminjami semua mainan koleksinya.
“Bagaimana, Mat ? Mau tidak, nanti kita keburu sore ?“ Tanya Rohman membuyarkan lamunanku saat bermain prosotan di rumah Mak Haji tempo hari lalu.
“Kapan lagi, Mat ! Katanya kamu mau bisa berenang seperti kami ? Nanti kami ajari berenang di tempat yang cetek.“ Piyah menambahkan.
Aku tidak segera menjawab karena masih ragu. Selain aku memang tidak bisa berenang, cerita-cerita Mbok tentang penunggu bendungan itu pun juga kerap kali membuatku sejenak harus menelan napas panjang kalau mengingatnya. Namun, membayangkan sensasi bermain air dengan aliran air yang melimpah, membayangkan cipratan air yang langsung dari sumbernya, dan merasakan deburan ombak yang mungkin sepuluh kali lipat dari guyuran ember Mak Haji, membutakan segalanya.
“Janji ya, di tempat yang cetak saja ?“ Ujarku meminta.
Seketika dapat kulihat cahaya kemenangan di mata Rohman, persis saat dia pernah mengalahkanku main tapak gunung beberapa hari lalu.
“Jangan Mat, itu kan sangat berbahaya,” Tiba-tiba saja suara itu muncul, mencoba melerai dua temannya yang sedang berusaha membujukku untuk ikut kebyuran di waduk besar desa kami.
Sontak semua mata mengarah kepada Yuni. Gadis yang lebih banyak mangalah dan paling pendiam diantara kami. Gadis berambut hitam lurus (kami selalu membandingkannya dengan model iklan sampo rejoice di tv) yang nilai matematikanya selalu lebih tinggi dari kami bertiga itu kemudian angkat bicara. Terlebih saat aku mengiyakan ajakan mereka.
“Mat, kamu sendiri kan yang selalu bercerita kalau bendungan itu angker. Banyak pekerja yang mati karena kelaparan dan kelelahan saat membuat bendungan. Mereka akan siap memakan siapa saja yang lalai dan kebetulan lewat dearah itu. Apa lagi anak kecil seperti kita. Ditambah lagi dengan aliran air yang saat ini sedang deras-derasnya. “
“Halah, Yun bilang saja kamu takut.“ Teriak Rohman.
“Atau kau ini sebenarnya tidak bisa berenang ya ? Itulah mengapa hanya kau yang sampai saat ini belum punya pelampung bebek karet. Oh, pantas aku tidak pernah melihatmu berenang ?“ Sahut Piyah.
“Aku tidak berbohong, aku memang bisa berenang dan aku bisa membuktikan kepada kalian kalau aku bisa berenang. “ Sahut Yuni merasa dirinya tidak dipercayai.
“Dengan berenang di bendungan.“ Potong Piyah.
Dengan sedikit ragu dan diam sejenak untuk berpikir, Yuni yang ikut-ikutan tersulut amarahnya pun akhirnya mantap untuk berkata.
“Baik, siapa takut.”
Dengan serempak kata “Iya” pun meluncur deras dari mulut keempat bocah yang baru berusia tujuh tahunan ini.
Maka ketika matahari sedang berwarna jingga di barat sana, kami berempat sepakat berangkat mengikuti kilaunya untuk pergi ke sebuah tempat paling angker di desa kami. Ada deru rasa tak percaya saat langkah kaki kami sekarang semakin dekat dengan sumber air yang melimpah itu. Ketika kami semakin dekat maka mulai terlihatlah bong [14] bendungan yang lebih mirip ruang kemudi kapal lengkap dengan setirnya. Anak laki-laki dua atau tiga tahun yang lebih tua usianya dari kami dengan gagahnya memutar knop bong ke kanan dan ke kiri, seperi nahkoda yang hendak mengarunggi samudera. Anak lainnya meneropong entah apa yang ada di ujung bendungan sana dengan menggunakan tangannya. Sementara yang lainnya mengibar-ngiabarkan kaus kutang yang tadi dipakainya bersekolah untuk dijadikan bendera. Maka lengkaplah mereka menjadi pasukan laut yang amat ditakuti di samudera bendungan kami.
Kami (Aku dan Rohman nampaknya) beberapa kali sempat menyesali mengapa kami tidak terlahir dua atau tiga tahun lebih cepat. Seandainya itu terjadi tentu kami saat ini sudah bisa bergabung bersama pasukan laut di bong sana. Atau mengapa kami tidak dilahirkan tujuh atau sepuluh tahun sebelumnya. Sehingga kami bisa seperti anak-anak remaja desa kami, meloncat dari atas bong dengan gagahnya dan bersalto di udara. Dengan sedikit gerakan membungkuk seperti udang dan kemudian meluncur seperti lumba-lumba. Kalau sudah seperti itu, biasanya para gadis di tepian sana yang sedang berjalan-jalan sore akan tersenyum cekikikan untuk saling menggoda.