Berita tentang penyelamatanku oleh Cak Taji kemudian jadi buah bibir tersendiri di kalangan teman-temanku. Sayang, aku tidak bisa mendengarnya sendiri. Informasi ini aku ketahui dari Piyah, Yuni, dan juga Rohman yang setiap hari datang berkunjung untuk menceritakan bagaimana peristiwa itu diceritakan dan diulang di depan semua anak di kelas. Beberapa hari ini aku tidak masuk sekolah karena sakit, orang-orang pasti mengiranya aku sawan. Mungkin ada benarnya juga, tapi yang jelas, malam hari setelah aku tenggelam di PƐh, rasanya sekujur tubuhku jadi sanggat lelah. Awalnya hanya batuk dan pilek saja. Namun, semakin malam suhu tubuhku semakin naik. Bahkan, campuran minyak goreng dan godong bawang pun tak mampu menurunkan suhu tubuhku yang kian memanas.
Kembali ke sekolah setelah jadi bahan perbincangan banyak orang, membuatku seakan berubah jadi besar. Kemana aku melangkah kesana pula setiap mata memandang. Beberapa kakak kelasku yang tidak terlalu akrab memandangku dengan penuh tanda tanya, “Oh anak itu yang tenggelam kemarin?“ Begitu mungkin pikirnya. Beberapa anak yang lain-teman satu tingkat mengaji di TPQ yang kenal wajah tapi lupa nama, mencoba memberanikan menyapa, “Hei, Mat. Sudah masuk sekolah?“ atau “Oh, Sudah sehat sekarang?“
Aku hanya tersenyum mengangguk dan sesekali menjawab, “Iya, Cak“ atau “Alhamdulilah Mbak, sudah sehat.“ Tapi tentu saja itu semua tidak ada yang lebih menghebohkan dari penyambutan oleh teman-teman kelasku sendiri. Bahkan, jauh sebelum masuk ke kelas sudah kudengar suara Piyah yang sedang menggebuh-gebuh mencoba menggambarkan peristiwa tenggelamnya aku di bendungan.
“Iya, benar. Kalau saja kau tahu bagaimana Cak Taji melompat dari atas pematang bendungan langsung ke dasar PƐh, kemudian melawan gulungan air di sumur bekas galian belanda itu, hmmm… kalian pasti tidak akan percaya.”
“Dia sampai menarik baju Mat berulang kali dengan susah payah saat kepalanya sudah tiak terlihat lagi di atas air. Kalau Cak Taji terlambat sedetik saja, bisa mati Mat masuk ke dalam galian sumur belanda di dasar PƐh itu.” Yuni menambahkan.
“Tapi tetap saja, akulah yang paling jauh berenang sampai ke ujung PƐh sebelum masuk ke dalam bekas galian sumur belanda. Untung saja aku pandai berenang. Jadi meskipun aliran PƐh sangat deras aku masih bisa menyelamatkan diri.“ Rohman berkata menyombongkan diri.
“Halahh.. Gayamu, Man. Kalau saja tidak ada rombongan Pak lurah dan pamong yang sedang patroli dan menarikmu ke tepi, kau juga pasti akan mati.“ Piyah berkata membenarkan.
“Whuaaaa.. bagaimana sih ini, Man? Katamu kemarin kau berenang ke tepi sendiri dan berpegangan pada rumput di pinggir kali? Jadi yang benar yang mana nih?“ Protes Lukman yang mendengar cerita dengan versi berbeda.
“Hei.. dua-duanya benar. Jadi sebelum aku berenang ke tepi, Lek Manan menarikku dan membawaku agak ke pinggir. Nah, setelah itu aku berpegangan pada akar rumput dan naik sendiri ke atas pematang.“
“Yah, elah..“ Gaduh kekecewaan penonton setelah mendengar pernyataan Rohman. Persis saat pertandingan sepak bola tujuh belas agustusan di kampung.
“Eh itu ada Mat, ada Mat..” Teriak salah satu teman yang tak kutahu siapa.
“Eh, Mat," Rohman melambaikan tangan kemudian beranjak dari meja kayu yang dari tadi ia duduki, anak yang berada di sampingnya memberikan jalan. Ia menghampiriku, merangkulku dan membawaku ke pusat perhatian banyak orang.
“Katanya mau masuk hari Rabu ? “ Ujarnya.
“Lha, bukannya katamu sendiri kalau hari ini ada ulangan IPA.”