“Bu, aku tidak usah mengaji ya siang ini? Aku mau istirahat dan tidur saja di rumah.” Rajukku pada ibu.
“Lho kenapa ?“
“Kepalaku agak sedikit pusing, Bu. Tadi habis main muter-muteran di rumah Haji Ali “
“Lho kok gak bilang? Sudah minum puder[1] ?“ Tanya Ibu sambil memeriksa badanku yang sedikit panas.
“Sudah tadi dikasih Mak Haji.“
“Oh ya, Bu. Nanti bangunin aku jam 2 ya ! Aku mau ke rumah Mbak Diana, mau mengerjakan tugas sekolah.”
Mbak Diana adalah sepupuh Piyah, anak dari Wak manan yang tidak lain adalah Pakde Piyah sendiri. Dalam runtutan penyebutan nama-nama silsilah keluarga Jawa. Pakde yang merupakan akronim dari Bapak Gede biasanya digunakan untuk menyebut kakak laki-laki dari bapak atau ibu kita. Sedangkan, adik laki-laki dari Bapak atau Ibu disebut sebagai Paklek atau Bapak Cilek. Konsep ini kemudian berlaku sama untuk menyebut saudara perempuan, baik kakak maupun adik dari Bapak atau Ibu kita dengan penambahan kata Bu di depannya. Dengan demikian akan menghasilkan sapaan Budeh dan Bulek.
Namun, khusus pada penggunaan konsep Pakde dalam masyarakat desa Kedung Kelut, agaknya sedikit berbeda dari masyarakat Jawa pada umumnya. Bahkan, terkesan menyimpang dari aturan yang sudah dijelaskan di atas. Penggunaan kata Pakde lebih sering dipakai dan dipadankan dengan konsep kakek pada bahasa Indonesia. Oleh karena konsep Pakde telah dipakai, maka untuk penyebutan kakak laki-laki dari bapak atau ibu kita oleh masyarakat desa Kedung Kelut menyebutnya dengan sebutan Pakwak. Entah dari mana asal kosa kata itu ? atau siapa yang mulai mengganti konsep Pakde menjadi Pakwak? Itu semua masih menjadi misteri dan belum bisa dijelaskan sampai sekarang. Yang jelas kami semua masyarakat desa Kedung Kelut dengan ridho dan ikhlas mengunakan kata sapaan Pakwak. Piyah sendiri juga akan lebih nyaman jika memangil Wak Manan dengan sebutan Pakwan Manan dibandingkan dengan Pakde Manan. Kami teman-teman Piyah, yang tidak memiliki hubungan darah dengan Pakwaknya Piyah, cukup memanggilnya dengan sebutan Wak Manan.
Wak Manan adalah salah satu Pakwak Piyah (Selain Haji Ali) yang bisa dibilang sebagai orang yang berkecukupan. Ketika televisi di tetanggaku masih menggunakan televisi cembung 14 inc dengan antena yang dipasang di luar rumah, Wak manan sudah mempunyai televisi 21 inc dengan antena parabola yang lengkap dengan VCD Player di ruang tamunya. Sebenarnya, aku bisa saja menonton tivi di rumah yang lain. Tapi, kalau mau menonton tivi dengan gambar yang lebih jelas dan suara sound yang lebih mendegupkan jantung, di rumah Wak Manan inilah satu-satu tempat yang bisa mewujudkannya.
Dengan dasar inilah kemudian aku sedikit berbohong kepada ibu untuk tidak mengaji pada siang hari ini. Dikatakan berbohong juga sebenarnya tidak tepat, karena pada waktu itu selepas kami bertaruh jumlah putaran dalam permaian aduh putar, kepalaku memang sedikit pusing. Dan tugas menggambar itu memang benar adanya. Hanya saja di tengah-tengah proses mengambar yang membosankan itu, kami sepakat untuk lebih memilih menonton tivi dirumah Wak Manan ketimbang melanjutkan menggambar.
“Bagaimana kalau kita menggambarnya di rumah Pakwak Manan saja.“ Tiba-tiba Piyah memberi saran.
“Sambil nonton tivi “ Usulku menambahi.
“Oh, Ya. Si Jepri hari ini kan mati, dan kabarnya akan jadi Pocong juga. Lebih menyeramkan dari Mumun,“ ujar Rohman, bocah yang mengaku tak takut apapun ini.
Hal yang paling menyebalkan dalam masa bocah adalah berpura-pura sok jagoan di depan teman-teman yang lain agar mendapatkan gelar anak jagoan. Selain aduh kekuatan dan ketangkasan, masa bocah juga dihiasi dengan berlagak sok pemberani dengan aduh nyali mendengarkan cerita-cerita horor atau menonton film horor. Film dengan judul “Jadi Pocong“ yang pada waktu sempat jadi bahan pembicaraan publik karena mampu menampilkan sosok hantu yang menyeramkan ini, cocok dijadikan daftar film uji nyali yang wajib ditonton. Meski agak takut saat menontonya, bahkan hampir selalu diwarnai dengan adegan lari-larian, tapi kami sepakat untuk menerima tawaran Rohman kali ini. Kami pun sepakat untuk segera mengemasi buku gambar dan kotak pensil kami kemudian bertolak pergi ke rumah Wak Manan yang tak jauh dari rumah Piyah.
Saat chanel televisi telah diputar, film yang akan kami tonton belum juga muncul. Maklum saja, siang itu masih jam setengah dua lebih lima belas menit. Sedangkankan film baru akan ditayangkan tepat pukul dua siang nanti. Jam tayang yang bersamaan dengan jadwal kami mengaji membuat kami tidak begitu sering menonton film ini. Hal ini tentu jadi alasan penolakan yang kuat jika Rohman tiba-tiba saja ingin menantang kami aduh nyali dengan menonton film-film horor semacam ini.
Empat puluh menit terakhir sebelum film dimulai sang produser nampaknya lebih memilih menayangkan sejumlah iklan dari pada harus memperpanjang durasi episode film sebelumnya. Sejumlah iklan seperti; iklan shampoo, sabun mandi, pompa air, susu bayi, mie instan dan obat semprot pembunuh serangga pun bergantian ditayangkan. Hal ini kemudian kami manfaatkan untuk bermain tebak-tebakkan judul iklan. Seorang dengan jumlah tebakan terbanyak sebelum film dimulai adalah pemenangnya.
“Lavenda “ Teriak Yuni dua detik setelah gambar ditayangkan.
Seorang anak perempuan dengan mengunakan piama warna putih terbangun dari tidurnya karena gigitan nyamuk. Yuni berhasil menebak judul iklan dengan tepat, kemudian dengan gerakan sedikit menyombongkan diri ia mengangkat jari telunjuknya, membentuk angka satu sebagai tanda point yang diraihnya.
“Giv.“ Piyah memicingkan mata tanda dimulainya persaingan.
“Sakatonic ABC “