Cilacap, 16 Februari 1989.
Suram.
Segalanya kini berubah menjadi suram. Pandangan suram. Hati suram. Jiwa suram. Harapan masa depan suram. Rasanya tak ada lagi setitik cahaya yang menerangi hidupku. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bila aku akan berhadapan dengan kondisi seperti ini. Menjadi manusia yang tidak sempurna. Cacat. Sungguh, tak terperikan rasa sakit dan hancur dalam hatiku. Rasanya aku masih tak percaya dengan keterangan dokter bahwa kedua kakiku mengalami kelumpuhan. Aku tak bisa lagi berjalan. Kursi roda telah menanti, menggantikan tugas kedua kakiku.
Mungkin orang akan bilang; aku mesti bersyukur karena Tuhan masih menyelamatkan jiwaku dalam kecelakaan itu. Aku masih bisa hidup. Tapi bagiku, buat apa hidup kalau harus menjadi manusia yang tak berdaya. Aku telah kehilangan kekuatan yang menopang hidupku. Tanpa kedua kaki yang berfungsi, apa yang bisa kulakukan? Padahal masih banyak harapan dan impian yang ingin kugapai. Masih banyak keinginan dan cita-cita yang belum terlaksana. Keinginan membahagiakan Ibu, menyekolahkan adik-adik, membangun rumah yang layak, dan banyak lagi.
Mengalami kelumpuhan di usia masih sangat muda, 20 tahun, merupakan pukulan telak buatku. Di usia yang potensial untuk membangun harapan dan cita-cita, aku malah terpuruk ke dalam ceruk derita. Meratapi nasib yang malang. Segala asa yang ada dalam diriku pun hilang. Gairah dan semangat hidup musnah. Sebaliknya, rasa malu, minder dan sesal senantiasa bergumul dalam diriku. Berhari-hari aku hanya mengurung diri di kamar. Aku tak berani keluar rumah. Aku malu bertemu orang-orang. Teman-teman yang biasa datang ke rumah pun tak menampakkan lagi batang hidungnya. Bukan karena mereka tak peduli padaku, tapi aku menutup pintu untuk semua orang yang datang. Aku merasa diriku kini bukan lagi manusia berharga.
Aku telah berubah sensitif sejak mengalami kelumpuhan. Mudah tersinggung dan suka uring-uringan. Aku tahu, di luar sana semua orang ramai membicarakan kelumpuhanku ini. Mereka mungkin menaruh rasa iba padaku, tapi tak sedikit pula yang menganggap ini sebagai karma. Di kalangan orang Jawa masih ada yang mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri seseorang merupakan buah perbuatan buruk orang tuanya. Hal ini yang dikatakan sebagai peringatan atau azab dari Tuhan. Kalau benar begitu, kenapa harus aku yang menerima karma ini? Apa salahku? Apa dosaku?
Jika apa yang terjadi padaku ini ada kaitannya dengan perbuatan Bapak, semestinya bukan aku, anaknya, yang harus menanggung hukuman. Ini namanya tidak adil. Tuhan berlaku tidak adil. Ya, tak henti-hentinya aku mengajukan protes kepada Tuhan. Aku tak mengerti, kenapa Tuhan melumpuhkan kedua kakiku ini. Kenapa bukan kaki Bapak saja yang dibuat lumpuh, karena dia telah banyak berbuat dosa. Tak terhitung lagi berapa sering kedua kakinya dibawa melangkah ke tempat-tempat maksiat. Tak terhitung berapa kali kaki perkasa itu menendang tubuh Ibu. Bahkan saat kondisiku seperti ini, tak lagi nampak batang hidungnya untuk sekadar menengok atau memberi penghiburan padaku. Lagi pula aku juga tak butuh kehadirannya, karena aku menganggapnya sudah mati!
Bila saja bunuh diri bukan dosa dan tidak masuk neraka, mungkin jalan itu akan kupilih untuk mengakhiri penderitaanku ini. Namun bukan sekedar takut neraka yang membuatku tetap bertahan, tetapi bayangan wajah Ibu yang memelas. Aku sudah pernah berjanji akan mendampingi Ibu apa pun yang terjadi. Aku ingin membahagiakan hidupnya. Aku akan membalas segala jerih payah dan pengorbanannya selama ini, yang telah merawat dan membesarkan kami, anak-anaknya. Seumur-umur Ibu tak pernah mengecap manisnya kehidupan. Sejak kecil ia sudah yatim, keluarganya dicerca dan dimusuhi masyarakat gara-gara ayahnya dituduh terlibat PKI, dan ketika berumahtangga hidupnya seperti tak pernah lepas dari derita karena disemena-mena suami.
Ibu hadir bukan sekedar sebagai penyemangat hidup, tapi beliau adalah pelita yang masih menyisakan sedikit cahaya harapan kepadaku. Meski kadang terbit rasa sedih dan sesal karena aku belum berhasil mewujudkan impian membahagiakan hidupnya. Kini bukan aku yang semestinya mengurus dirinya di usia yang mendekati senja, tapi sebaliknya aku kembali menjadi bayi yang masih butuh perawatannya. Tapi kulihat Ibu sangat sabar dan telaten mengurusku, melayaniku dengan penuh keikhlasan. Senyum tenang senantiasa menghiasi bibirnya. Sungguh, tak tersirat sama sekali rona duka di wajahnya!
Mungkin, karena beliau sudah terbiasa menghadapi kepahitan. Apa yang terjadi padaku dianggapnya bagian dari romantika hidup. Ibu telah berpengalaman merajut duka, memintal benang asa di tengah gelombang kehidupan yang tak sepi dari angin dan badai. Ia sudah terbiasa menghadapi luka dan derita. Namun aku tahu, setegar-tegarnya Ibu pasti dalam hatinya tersimpan kepedihan menerima kenyataan anak lelakinya menderita kelumpuhan. Hanya saja Ibu pandai menyembunyikan perasaannya di hadapanku. Mungkin karena ia tak mau aku semakin terpuruk dalam ketakberdayaan jika melihatnya sedih. Ibu tak henti memompa semangatku untuk bangkit kembali.
“Sudahlah, Bud, tidak usah terlalu dipikirkan. Kehidupan tidak ada yang sempurna. Bukan kamu saja yang mengalami nasib seperti ini. Lihat di luar sana, banyak yang lebih parah dan menanggung beban lebih berat. Tapi mereka masih tetap bertahan dan tidak cengeng!” ujar Ibu ketika aku mengeluhkan keadaanku.
“Ini bukan masalah bertahan atau cengeng, Bu. Tapi ini masalah masa depan. Apa gunanya bertahan jika hanya menjadi beban orang lain. Aku tak mau selamanya menjadi parasit!” tukasku sengit.
“Kalau begitu berbuatlah sesuatu.”
“Berbuat sesuatu apa, Bu?”
“Berbuat sesuatu untuk menolong dirimu sendiri. Setidaknya kamu tidak mengasihani diri sendiri dan menyerah pada nasib!”
“Nasibku sudah begini, menjadi orang lumpuh tak berguna!”
“Jika kamu masih merutuki nasibmu, sampai kapan pun hidupmu tidak akan berubah. Tuhan telah punya rencana atas keadaanmu ini, dan rencana Tuhan pasti membawa kepada kebaikan jika kamu mampu memetik hikmahnya!”
“Hikmah apa, Bu? Sudah jelas Tuhan merubahku menjadi orang cacat. Apa yang bisa dilakukan orang sepertiku? Untuk berjalan saja aku tidak bisa!”
“Kamu masih punya dua tangan?”
“Apa ada perusahaan dan kantor yang mau menerima karyawan lumpuh?”