Anak kolong

Eko Hartono
Chapter #2

Kampung Halaman?

Kaliwungu.

Sebuah kota kecamatan di wilayah kabupaten Kendal yang berbatasan langsung dengan kota Semarang di sisi sebelah barat. Kaliwungu juga dikenal sebagai kota santri. Karena di kota ini banyak berdiri pondok pesantren yang memiliki ribuan santri yang datang dari berbagai kota di pulau Jawa, bahkan ada juga yang dari luar Jawa. Mereka menuntut ilmu pada para kyai yang terkenal memiliki kedalaman ilmu agama Islam, terutama dari para kyai/guru keturunan Kyai Asy’ari, pendiri pondok pesantren yang pertama kali di kota Kaliwungu dan penyebar agama Islam di sekitar daerah itu.

Sebuah masjid besar dan megah yang berdiri tepat di sisi jalan raya provinsi merupakan bukti peninggalan Kyai Asy’ari, selain beberapa rumah pondok pesantren yang berada di sekitarnya, masih dilestarikan sampai sekarang. Masjid Jami’ ini didirikan sekitar abad 15, dan sudah mengalami pemugaran beberapa kali. Pemugaran pertama dilakukan pada tahun 1653 di bawah pimpinan Kyai Haji Mohammad, pada sekitar zamannya Bupati Kaliwungu Tmg. Wirosoco atau masa Ngabehi Metoyudo dan Tmg. Wongsodiprojo. Masjid Agung ini juga merupakan pintu gerbang memasuki wilayah kecamatan Kaliwungu.

Bila ditelusur lagi ke belakang, sejarah kota Kaliwungu sebenarnya dimulai jauh sebelum Kyai Asy’ari memasuki daerah Kaliwungu pada tahun 1560, yakni pada zaman Sunan Katong atau Batara Katong. Konon, menurut cerita yang ditularkan dari mulut ke mulut, Batara Katong adalah Adipati Ponorogo yang menurut silsilah adalah putera ke 24 Prabu Brawijaya V dari kerajaan Majapahit (Kertabumi). Beliau merupakan adik Raden Patah atau Sultan Bintoro Demak. Pada masa mudanya Batara Katong masih memeluk agama Hindu. Dia dianjurkan oleh Raden Patah untuk memeluk Islam. Anjuran itu diterima, tetapi dengan syarat akan dipenuhi setelah ayahandanya mangkat.

Namun ketika Prabu Brawijaya V mangkat, Batara Katong tidak juga menepati janjinya dan selalu menangguhkan waktu. Suatu hari Batara Katong menerima ilham (wangsit) dari Tuhan dan mendapat petunjuk supaya meninggalkan kamukten sebagai adipati dan berguru ke Pulau Tirang. Maka, berangkatlah Batara Katong menuju ke arah yang ditunjukkan oleh wangsit itu, yaitu ke Pulau Tirang dan berguru kepada Ki Pandanarang I (Made Pandan) dan masuk Islam. Setelah dianggap cukup menimba ilmu agama Islam pada Ki Pandanarang I, Batara Katong lalu mengembara untuk mengamalkan ilmunya. Dalam perjalanan beliau sampai di suatu sungai (kali) dan berhenti untuk beristirahat. Beliau tiduran tepat di bawah pohon yang warnanya ungu (wungu) yang kemudian tempat itu dinamai desa Kaliwungu, sedang sungainya disebut kali sarean (bahasa Indonesia; tiduran), masih ada hingga sekarang. Jadi itulah asal usul nama desa Kaliwungu.

Namun ada versi lain yang menyebutkan bahwa nama Kaliwungu diambil dari terjadinya pertempuran antara Batara Katong dan salah seorang muridnya yang bernama Pakuwojo. Konon, setelah sampai di wilayah kaliwungu dan sekitarnya yang penduduknya belum memeluk agama Islam, Batara Katong mulai mengembangkan agama Islam dan bermukim di bukit Penjor. Beliau memiliki banyak murid dan mendirikan masjid pertama kali di tempat itu yang disebut Sawahjati. Oleh murid-murid dan penduduk sekitar beliau mendapat gelar Sunan Katong. Diantara para murid Sunan Katong, ada salah seorang murid yang cukup mumpuni, namanya Pakuwojo.

Karena perbedaan prinsip yang sangat tajam diantara guru dan murid itu, akhirnya terjadilah perselisihan, yang kemudian berkembang menjadi pertumpahan darah. Konon, menurut cerita Sunan Katong berdarah biru dan Pakuwojo berdarah merah. Begitu hebatnya perkelahian yang terjadi, sehingga luka dari tubuh mereka mengeluarkan banyak darah dan mengalir ke sungai hingga air sungai pun berubah menjadi ungu, perpaduan antara biru dan merah. Keduanya pun sama-sama gugur dalam perkelahian itu. Warna sungai yang berubah menjadi ungu itulah yang kemudian diabadikan oleh penduduk setempat sebagai nama desa mereka, yakni Kaliwungu, yang berarti sungai berwarna ungu. Entah, benar atau tidak riwayat itu, wallahu ‘alam bisawab!

Yang jelas berbagai peristiwa yang pernah mewarnai perjalanan hidup Batara Katong atau Sunan Katong telah diabadikan oleh penduduk setempat sebagai penanda sejarah berdirinya kota Kaliwungu. Di tengah kota Kaliwungu sekarang ada jalan bernama Sawah Jati; mungkin nama jalan ini diambil dari sejarah bahwa di tempat itu dahulunya tempat didirikan masjid yang pertama oleh Batara Katong. Setelah Sunan Katong wafat dimakamkan di tempat yang dulu disebut tegal sawah atau yang sekarang dikenal dengan nama makam Protowetan termasuk desa Protomulyo; makam tersebut tidak jauh dari bukit Penjor. Makam yang disebut-sebut sebagai kuburan Sunan Katong ini pun masih jadi perdebatan diantara peneliti Sejarah. Sebab, di daerah Ponorogo tempat asal-usul Batara Katong juga terdapat makam yang ditengarai sebagai makam Batara Katong!

Terlepas dari masih simpang siurnya sejarah berdirinya kota Kaliwungu, tak bisa dipungkiri bahwa Kaliwungu ikut berperan dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Banyak orang berdatangan ke Kaliwungu untuk mendalami ilmu agama Islam. Julukan kota santri pun pantas disematkan. Jika kita memasuki kota Kaliwungu, kita akan bisa merasakan nuansa religius mewarnai kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya, khususnya di rumah-rumah pondok. Di setiap sudut jalan kecil dan gang kita bisa menyaksikan beberapa kaum lelaki, tua dan muda, memakai sarung dan kopiah. Begitu pun dengan kaum perempuan memakai baju kurung dan jilbab. Lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an terdengar sayup-sayup dari dalam ruang belajar ponpes. Apalagi menjelang memasuki bulan suci Ramadhan, banyak warga dari luar kota berdatangan untuk mendalami ilmu agama Islam sekaligus menjalankan ritual berpuasa sebulan penuh.

Kemeriahan akan mencapai puncaknya pada acara Syawalan yang dimulai pada tanggal 8 Syawal. Sudah menjadi tradisi turun temurun, setiap tiba tanggal tersebut para santri dan peziarah yang jumlahnya ribuan datang dari luar kota berduyun-duyun mengunjungi makam Kyai Asy’ari, Kiai Mustofa dan makam Sunan Katong untuk memanjatkan doa-doa. Tradisi syawalan berkaitan dengan ritual ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan yang kemudian disusul puasa Syawal selama enam hari. Acara syawalan yang sedianya merupakan bagian dari wisata religi berkembang menjadi pesta rakyat. Berbagai bentuk hiburan dan pasar malam digelar di lapangan/halaman depan masjid Agung. Para pedagang mainan, buah-buahan, makanan, dan segala macam tumpah ruah memenuhi lapangan, bahkan meluber hingga ke pinggir-pinggir jalan. Berbagai wahana permainan seperti dream-molen, kereta mini, tong setan, dan lain sebagainya ikut memeriahkan acara. Semua itu seakan sebagai ungkapan rasa syukur atas terlaksananya ibadah puasa selama sebulan penuh.

Di kota yang penuh kenangan inilah aku menghabiskan masa kecilku. Antara tahun 1975 hingga 1984, hampir 9 tahun lamanya, aku menjalani hari-hari di sebuah asrama. Bukan asrama santri, tetapi asrama Brimob (Brigade Mobil), korps kepolisian yang tugasnya lebih mirip tentara yang berada di front terdepan dalam pengamanan wilayah negara alias berperang. Seragam dinas cokelat dan doreng mirip tentara nasional. Brimob memang salah satu pasukan elite yang dimiliki Kepolisian RI. Asrama Brimob Kompi 2 Batalyon F ini berada sekitar enam kilometer sebelah barat kota kecamatan, tepatnya di desa Plantaran. Wilayah asrama seluas kira-kira 6 hektar ini dihuni oleh para anggota Brimob bersama keluarganya yang jumlahnya ratusan jiwa. Jangan bayangkan mereka tinggal di sebuah rumah asrama yang layak, sebaliknya mereka tinggal di ruang-ruang sempit bekas bangunan markas kolonial Belanda.

Lihat selengkapnya