Revan Ardiansyah tahu betul aroma kemiskinan. Bukan sekadar bau apek dari cucian yang tak kunjung kering di musim hujan, atau aroma nasi aking yang kadang terselip di antara butiran beras sisa. Ini adalah aroma yang lebih menusuk: bau apek dari harapan yang membusuk, napas tercekat dari mimpi yang tercekik utang, dan lengketnya keringat dingin dari masa depan yang buram.
Di usia dua puluh tiga tahun, dengan selembar ijazah D3 Teknik Sipil yang terasa tak lebih berharga dari kertas bungkus kacang, Revan merasa seperti jangkar berat yang tertambat pada dasar laut lumpur. Ia adalah anak pertama, satu-satunya tiang penyangga yang diharapkan bisa mengangkat seluruh bangunan rapuh keluarganya. Sebuah beban yang, hari demi hari, terasa semakin menyesakkan.
Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, dimulai dengan suara batuk rejan sang ayah dari kamar belakang. Ayah, Pak Hadi, adalah bayangan dari laki-laki kuat yang pernah Revan kenal. Penyakit paru-paru kronis telah melumpuhkan tenaganya, merenggut kemampuannya untuk bekerja, dan mengutuknya menjadi pengangguran permanen. Suaranya serak dan berat, seolah setiap napasnya adalah perjuangan melawan pasir yang memenuhi rongga dadanya.
Ibu, Bu Tini, sudah sibuk di dapur kecil mereka, menyiapkan gorengan tempe mendoan dan bakwan sayur yang akan ia jajakan keliling kampung. Aroma minyak panas bercampur bawang putih menyeruak, mencoba mengalahkan bau apek rumah yang lembap. Revan mengamati gerakan ibunya yang cekatan namun tampak letih. Ada kerutan permanen di sudut mata ibunya, jejak dari puluhan tahun perjuangan keras yang tak pernah berujung.
“Van, itu adikmu sudah bangun belum?” suara Bu Tini agak parau. “Nanti telat sekolahnya.”
Revan melirik jam dinding butut. Pukul enam pagi. Adiknya, Rani, berusia lima belas tahun, masih terlelap di kamar sebelah. Revan menghela napas. Rani adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan yang melingkupi hidup mereka. Gadis pintar yang selalu peringkat satu di sekolahnya, memiliki mimpi besar untuk kuliah kedokteran. Mimpi yang terasa begitu jauh, bagaikan bintang di langit yang tak mungkin digapai tangan kotor mereka. Biaya SPP Rani sudah menunggak tiga bulan. Ancaman tidak bisa ikut ujian sudah digantungkan oleh pihak sekolah, sebuah pedang Damocles yang siap jatuh kapan saja.
Revan beranjak, mencuci muka di kamar mandi yang dindingnya mengelupas. Air dingin membasuh wajahnya, namun tidak mendinginkan kekalutan di hatinya. Ia memandangi pantulan dirinya di cermin kusam. Rambut hitam tebalnya sedikit berantakan, rahangnya keras, dan matanya memancarkan kelelahan yang lebih tua dari usianya. Ia ingat bagaimana dulu ia bermimpi menjadi insinyur hebat, membangun jembatan dan gedung-gedung tinggi. Kini, jangankan membangun jembatan, membangun masa depannya sendiri saja terasa seperti merangkak di atas pecahan kaca.
Setelah sarapan seadanya, Revan membantu ibunya menyiapkan dagangan. Tumpukan gorengan di baskom, beberapa bungkusan kerupuk, dan es teh dalam termos besar.
“Hati-hati ya, Bu,” kata Revan, mengecup kening ibunya.
Bu Tini hanya mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat. “Kamu jangan lupa cari kerja lagi ya, Van. Lumayan kan kalau ada uang tambahan buat cicilan utang.”
Utang. Kata itu berputar-putar di kepala Revan bagai lalat yang mengganggu. Utang di warung, utang ke rentenir, utang SPP, utang obat ayah. Lilitan utang yang tak pernah ada habisnya.
Revan sudah melamar ke mana-mana. Perusahaan konstruksi besar di kota, pabrik-pabrik, bahkan toko bangunan. Namun, tak ada yang memanggil. Pengalaman minim, ijazah D3 yang dianggap tak cukup, dan persaingan yang ketat membuatnya terlempar ke pinggir. Ia hanya sesekali mendapat proyek serabutan menjadi tukang gambar atau membantu survei lapangan dengan bayaran yang pas-pasan.
Siang itu, Revan sedang memperbaiki genteng rumah yang bocor, ditemani terik matahari yang menyengat, ketika suara sepeda motor berhenti di depan rumah mereka. Suara motor matic keluaran terbaru yang begitu kontras dengan rumah mereka yang reot.
Revan melongok dari atap. Sesosok perempuan paruh baya dengan dandanan mencolok, perhiasan emas bergelantungan di leher dan pergelangan tangannya, turun dari motor. Bu Lilis.
Bu Lilis adalah tetangga mereka yang paling "sukses", setidaknya di mata orang kampung. Ia pernah bekerja di Belanda sebagai TKW dan pulang dengan membawa banyak uang, membangun rumah besar bertingkat, dan sering pamer barang-barang mewah. Bu Lilis dikenal cerewet, suka bergosip, namun juga sering menawarkan "bantuan" dengan imbalan tertentu.
Revan turun dari atap, bergegas menyambut. Bu Lilis sudah disambut Bu Tini di teras. Wajah Bu Tini tampak tegang, namun juga sedikit berbinar.
“Ada apa, Bu Lilis?” sapa Revan, berusaha sopan.
Bu Lilis tersenyum lebar, senyum yang terasa terlalu lebar dan penuh rahasia. “Ah, Revan. Kebetulan sekali kamu ada. Ini Ibu ada kabar gembira yang bisa mengubah hidup keluarga kamu, Van!”