Perjalanan dari kota kecil di Jawa Tengah menuju hiruk pikuk Jakarta adalah transisi yang, bagi Revan, terasa seperti melintasi ambang batas antara dunia nyata dan mimpi buruk. Di dalam bus malam yang berpendingin udara dingin menusuk tulang, Revan duduk kaku di samping Bu Lilis, sementara di depannya, tas punggung bututnya yang berisi beberapa helai pakaian dan sedikit sisa harga diri teronggok beku. Jendela bus memperlihatkan deretan sawah dan permukiman padat penduduk yang perlahan-lahan terganti oleh kilatan lampu jalanan ibu kota yang semakin terang. Setiap kilometer yang ditempuh terasa seperti mencabut paksa dirinya dari akarnya, meninggalkan Revan Ardiansyah yang lama di belakang, dan menyeretnya menuju ketidakpastian yang menakutkan.
Perasaan Revan campur aduk, seperti adonan yang diaduk kasar tanpa arah. Ada secuil harapan semu yang bersembunyi di sudut hatinya—harapan bahwa ini semua akan benar-benar menjadi jalan keluar bagi keluarganya. Harapan bahwa Rani akan bisa terus sekolah, Ayah bisa mendapat perawatan yang layak, dan Ibu tak perlu lagi menjual gorengan di bawah terik matahari. Harapan itu, betapapun rapuhnya, adalah satu-satunya penopang yang membuatnya tidak benar-benar hancur. Namun, di bawah lapisan harapan tipis itu, menggelegaklah ketakutan yang mendalam dan dingin. Ketakutan akan masa depannya, akan jati dirinya yang akan dicabik-cabik, akan kehormatan yang ia rasa sudah tergadai. Pertanyaan "siapa aku sekarang?" mulai berbisik di telinganya, sebuah melodi horor yang baru saja dimulai.
Bu Lilis, di sampingnya, sesekali menyentuh lengannya, seolah memberi semangat. Namun sentuhan itu terasa kosong, dingin, dan penuh perhitungan. Ia sibuk mengutak-atik ponselnya, sesekali melirik Revan dengan tatapan menilai. "Kamu harus nurut apa kata agen nanti, Van. Jangan banyak melawan. Mereka tahu yang terbaik," ucapnya dengan nada peringatan. Revan hanya mengangguk kaku, matanya tetap terpaku pada jalanan di luar. Setiap lampu yang berlalu terasa seperti kilatan yang membawa ia semakin jauh dari dirinya sendiri.
Setibanya di Jakarta saat subuh, mereka disambut oleh seorang pria paruh baya bertubuh kurus dengan senyum tipis yang terasa artifisial, Tuan Heru, perwakilan dari agen pernikahan lintas negara yang bekerja sama dengan Bu Lilis. Pria itu memakai kemeja batik yang rapi namun sedikit lusuh, dengan rambut klimis disisir ke belakang. Ia menjabat tangan Revan yang dingin dengan genggaman cepat, seolah tidak ingin berlama-lama menyentuh.
“Selamat datang di Jakarta, Nak Revan. Saya Heru,” katanya, suaranya datar namun terselip nada wewenang. “Kita langsung saja ya. Waktu kita tidak banyak.”
Revan dan Bu Lilis dibawa ke sebuah kantor di pusat kota Jakarta, di dalam gedung perkantoran tua yang menjulang tinggi, dengan interior yang sudah usang namun terawat. Dindingnya berwarna krem kusam, dengan beberapa poster destinasi wisata Eropa yang tampak ironis di mata Revan. Di dalam kantor itu, suasana terasa formal namun juga dingin. Ada meja resepsionis yang kosong, dan deretan kursi tunggu yang rapi. Tuan Heru mempersilakan mereka masuk ke sebuah ruangan kecil, yang lebih mirip ruang interogasi daripada kantor konsultasi pernikahan. Di dalam ruangan itu, ada sebuah meja bundar kecil dan tiga kursi.
Begitu mereka duduk, Tuan Heru langsung memaparkan proses yang akan Revan jalani. Tidak ada basa-basi, tidak ada empati. Semuanya adalah bisnis. “Jadi begini, Nak Revan,” Tuan Heru membuka pembicaraan, mengambil sebuah map berisi beberapa lembar dokumen. “Kasus Anda ini sedikit unik, tapi bukan yang pertama bagi kami. Klien kami, Mr. Kwame Mensah, adalah orang yang sangat spesifik dalam preferensinya. Dan Anda, setelah kami melihat foto dan profil Anda, dianggap sangat memenuhi kriterianya.”
Revan merasakan perutnya mual. Kata "kriteria" itu terasa merendahkan, seolah ia adalah barang dagangan yang sedang dinilai.
“Prosesnya akan melibatkan beberapa tahap. Pertama, adalah proses hukum dan administrasi. Anda akan memerlukan identitas baru, paspor baru, dan tentu saja, visa. Karena ini adalah pernikahan sesama jenis yang legal di Belanda, dokumennya harus sangat akurat dan tidak boleh ada celah. Kami akan mengurus semua pemalsuan dokumen yang diperlukan, agar sesuai dengan narasi yang kita bangun.” Tuan Heru menjelaskan dengan tenang, seolah membicarakan hal yang paling wajar di dunia.
"Pemalsuan?" Revan memberanikan diri bertanya, suaranya sedikit gemetar.
Tuan Heru menatapnya datar. "Bukan pemalsuan dalam arti kriminal yang akan melukai Anda, Nak. Lebih tepatnya, penyesuaian data. Identitas Anda sebagai Revan Ardiansyah akan 'dibekukan' sementara. Untuk tujuan pernikahan dan visa, Anda akan menjadi orang baru. Ini demi keamanan Anda juga, agar tidak ada jejak yang bisa melacak kehidupan lama Anda yang 'berbeda' di sana. Tidak ada yang akan tahu Anda siapa di Belanda. Ini adalah bagian dari 'kesepakatan'." Ia menekankan kata 'kesepakatan' seolah mengingatkan Revan pada pengorbanan yang telah ia setujui.
Hati Revan mencelos. Dibekukan. Kata itu terasa begitu dingin dan final. Seolah Revan Ardiansyah akan dimasukkan ke dalam peti es.
“Ini formulir persetujuan. Silakan dibaca dan ditandatangani,” Tuan Heru menyodorkan beberapa lembar kertas. Revan meliriknya sekilas, isinya semua tentang persetujuan transfer identitas, persetujuan untuk menjalani pelatihan, dan melepaskan hak-hak tertentu. Ini adalah kontrak perbudakan yang dibungkus dengan bahasa hukum.
Bu lilis, yang duduk di samping Revan, mencondongkan tubuhnya. “Cepat tanda tangan, Van. Jangan banyak pikir. Ini demi keluargamu”
Revan menatap buk lilis. Ada kekecewaan mendalam yang bercampur dengan rasa tak berdaya. Ia mengambil pena, tangannya bergetar, dan membubuhkan tanda tangannya di setiap lembar yang ditunjuk Tuan Heru. Setiap coretan pena terasa seperti mengukir nisan untuk dirinya sendiri.