Anak Lelaki Yang Di Jadikan Waria

Zizan
Chapter #3

Mati Hati Dan Jiwa

Setelah tahap pengenalan identitas baru dan perubahan penampilan dasar di Bab 2, Rena memasuki fase yang lebih brutal dari transformasinya. Rumah pelatihan di Jakarta Selatan itu bukan lagi sekadar tempat belajar etiket, melainkan sebuah laboratorium penyiksaan, di mana setiap aspek fisiknya dimanipulasi dengan kejam, dan jiwanya dihancurkan secara sistematis. Udara di dalam rumah itu terasa sesak, seolah setiap oksigen yang ia hirup membawa serta racun kepasrahan.


Intensitas pelatihan fisik meningkat ke level yang tak tertahankan. Jika sebelumnya ia hanya diperkenalkan pada sepatu hak tinggi, kini latihan berjalan dengan heels menjadi neraka harian yang tak terhindarkan, dari pagi hingga sore. Ibu Susan, dengan cambuk kata-katanya yang dingin, memaksa Rena melangkah di atas treadmill dengan hak 7 cm yang runcing, lalu di atas lantai marmer yang licin, hingga tangga yang curam.


Kakinya bukan hanya lecet, melainkan melepuh, bengkak, dan bernanah, pecah di sana-sini, mengeluarkan darah yang merembes ke kaus kaki tipisnya. Setiap langkah adalah siksaan, setiap tumpuan berat badan ke tumit terasa seperti menusuk duri. Otot-otot betis dan pahanya terasa terbakar, kaku, dan nyeri tak tertahankan. Ada malam-malam di mana ia tidak bisa memejamkan mata karena denyutan nyeri di kakinya, bahkan setelah diberi pereda rasa sakit. "Tidak ada wanita yang anggun dengan cara berjalan yang canggung," desis Ibu Susan, matanya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun saat melihat Rena limbung atau terjatuh.


Bersamaan dengan itu, penggunaan korset ketat dan body shaper menjadi tak terhindarkan, sebuah penjara kain yang mengikatnya dua puluh empat jam penuh kecuali saat mandi. Korset yang terbuat dari bahan kaku dengan kawat-kawat penyangga itu dieratkan hingga ia merasa napasnya pendek, paru-parunya terhimpit, dan setiap gigitan makanan terasa menekan perutnya.


Body shaper pun tak kalah kejam, menekan setiap inci tubuhnya, membentuk lekuk pinggul dan dada yang semu, memaksanya memiliki siluet feminin yang palsu. Ia merasa tercekik, mual, dan seringkali pusing karena kekurangan oksigen. Tekanan konstan ini menyebabkan memar di pinggang dan rusuknya, bekas merah yang tak pernah hilang. Ini bukan lagi tentang mengubah penampilan, tapi tentang mengunci organ-organ internalnya, mematikan fungsi maskulinitasnya secara fisik, bahkan sebelum operasi.


Perawatan tubuh pun menjadi ritual penyiksaan yang lebih dalam. Selain rambut yang terus dipanjangkan dan dirawat agar berkilau, kini tubuhnya harus sepenuhnya bebas bulu. Sesi waxing seluruh tubuh dilakukan secara rutin, dimulai dari kaki, tangan, hingga bagian dada dan punggung. Rasa sakit akibat bulu-bulu yang dicabut paksa itu luar biasa, membuat Rena seringkali menahan napas dan mengepalkan tinju hingga kuku menancap di telapak tangannya. Kulitnya menjadi kemerahan, bengkak, dan perih selama berjam-jam setelahnya. Namun, Ibu Susan bersikeras, "Kulit wanita harus mulus, bersih dari bulu-bulu kasar."


Wajah dan kulitnya juga menjalani perawatan yang lebih agresif. Selain facial rutin, kini ada proses peeling kimia ringan untuk menghilangkan sel kulit mati secara paksa, membuat kulitnya terasa tipis dan sensitif. Ia juga dipaksa menggunakan krim pencerah yang mengandung zat aktif kuat, yang kadang membuat kulitnya terasa panas dan gatal. Tujuannya hanya satu: kulit yang sehalus dan seputih mungkin, sebuah kanvas kosong yang sempurna untuk makeup.


Latihan vokal juga terus berlanjut dengan intensitas yang kejam. Ibu Susan membawa pelatih vokal profesional yang menggunakan metode yang lebih keras. Revan harus berlatih selama berjam-jam setiap hari, memaksakan pita suaranya untuk menghasilkan nada yang lebih tinggi dan melengking. Ia harus terus-menerus meniru rekaman suara wanita, melatih intonasi, kecepatan bicara, dan bahkan desahan serta tawa feminin.


Tenggorokannya seringkali terasa sakit dan kering, suaranya parau, dan ia bahkan pernah mimisan karena terlalu memaksakan diri. Suara aslinya, yang berat dan dalam, kini hampir tak terdengar lagi. Ia tidak lagi bisa mengendalikan suaranya sendiri, ia hanya bisa meniru suara Rena yang palsu. Ini adalah pengkhianatan terhadap salah satu identitas primer seorang pria.


Lihat selengkapnya