Anak Lelaki Yang Di Jadikan Waria

Zizan
Chapter #4

Harapan Palsu

Minggu-minggu di rumah pelatihan Jakarta berlalu bagai mimpi buruk yang tak berujung. Revan, yang kini secara fisik dan verbal telah nyaris sempurna sebagai Rena, menjalani hari-harinya dalam kabut penderitaan. Setiap gerakan, setiap kata, setiap tarikan napas, adalah hasil dari pelatihan brutal yang telah mematikan sebagian besar dirinya yang lama. Namun, di tengah semua transformasi paksa itu, ada satu hal yang terus-menerus menggerogoti sisa-sisa harapannya: komunikasi dengan keluarganya di kampung.

Setelah sesi latihan vokal yang melelahkan, di mana ia dipaksa menirukan suara tawa yang manja dan melengking, Ibu Susan akhirnya mengizinkan Rena untuk menggunakan telepon rumah, di bawah pengawasan ketatnya, untuk menghubungi keluarga. Jantung Revan berdegup kencang. Ini adalah momen yang ia nanti-nantikan sekaligus ia takuti. Ia berharap bisa mendengar suara ibunya yang tulus, mungkin secuil kekhawatiran tentang keadaannya, sebuah pertanyaan tentang apakah ia baik-baik saja setelah semua yang ia lalui. Namun, realitas jauh lebih pahit dari yang ia bayangkan.

Telepon tersambung. Suara Bu Tini yang ceria dan penuh semangat langsung menyambutnya.

"Halo, Rena! Wah, akhirnya telepon juga! Bagaimana kabarmu di sana, Nak? Sehat-sehat saja kan?"

Ada nada ceria yang asing, terlalu ceria, seolah ia tidak sedang berbicara dengan putranya yang tengah menjalani neraka.

Revan menelan ludah, suaranya yang sudah dilatih terdengar lembut dan sedikit serak.

"Baik, Bu. Rena sehat. Ibu dan Bapak bagaimana?"

"Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak! Malah makin sehat dan makmur berkat kamu, Rena!" Suara Bu Tini penuh dengan kebanggaan yang menggebu-gebu. "Rumah sudah mulai direnovasi lho, Nak. Lantai keramiknya sudah dipasang, atap juga sudah diganti. Pokoknya kinclong sekarang! Tetangga-tetangga pada iri semua!"

Revan mendengarkan, matanya kosong. Renovasi rumah? Lantai keramik? Rasa sesak memenuhi dadanya. Bukan itu yang ingin ia dengar. Bukan itu yang ia harapkan. Ia ingin mendengar ibunya bertanya, "Apakah kamu menderita, Nak? Apakah kamu kuat?"

"Rani juga, Nak," sambung Bu Tini, suaranya semakin bersemangat. "Dia sudah bisa ikut ujian! Nilainya bagus-bagus semua! Dia makin giat belajar, sekarang sudah les privat biar nilainya makin mantap. Katanya mau masuk universitas ternama, biar jadi dokter beneran. Itu semua berkat kamu, Rena! Ibu bangga sekali punya anak seperti kamu!"

Kata-kata ibunya menusuk lebih dalam daripada jarum penindik telinga atau korset ketat yang melilit tubuhnya. Mereka hanya melihat hasil, angka-angka, kemewahan semu. Mereka tidak melihat Revan yang hancur di balik nama Rena.

"Kapan lagi kirim uangnya, Nak?" tanya Bu Tini, tanpa jeda, tanpa basa-basi, langsung ke inti. "Ini kan butuh biaya banyak juga, buat renovasi, buat les Rani, buat obat Bapak yang mahal. Apalagi sebentar lagi Rani mau beli buku-buku baru. Kalau bisa yang lebih cepat ya, Nak. Biar semua lancar."

Revan merasa seolah seluruh oksigen di ruangan itu lenyap. Pertanyaan itu, yang paling ia takuti, terlontar begitu saja, lugas dan tanpa beban. Tidak ada pertanyaan tentang rasa sakit di kakinya karena sepatu hak tinggi, tidak ada pertanyaan tentang rasa sesak karena korset, tidak ada pertanyaan tentang air mata yang ia tumpahkan setiap malam di kamar mandi. Hanya uang. Ia hanyalah sebuah mesin uang bagi mereka.

Lihat selengkapnya