Waktu terasa berhenti dan sekaligus berlari kencang di rumah pelatihan itu. Hari-hari Revan/Rena dipenuhi dengan siksaan fisik dan mental yang tak berkesudahan, setiap jam mengikis lebih banyak sisa-sisa dirinya yang asli. Namun, ada satu tanggal yang terukir jelas dalam kalendernya: hari video call pertama dengan Mr. Kwame Mensah. Tanggal itu, yang semakin dekat, terasa seperti hari eksekusi yang tak terhindarkan.
Pagi itu, udara terasa lebih dingin, meskipun pendingin ruangan dimatikan. Detak jantung Revan berpacu tak keruan. Ia tahu, hari ini adalah penentu. Hari ini adalah saat ia harus menampilkan "Rena" yang sempurna, hasil dari segala penderitaan yang ia alami. Ibu Susan masuk ke kamarnya dengan senyum tipis yang tak mencapai mata.
"Siap, Rena? Hari ini adalah hari besar Anda. Pastikan Anda tampil sempurna."
Persiapan untuk pertemuan virtual ini jauh lebih intens dari hari-hari biasa. Revan didandani secara khusus, seolah ia akan menghadiri perjamuan kerajaan. Seorang makeup artist profesional datang lebih awal, menghabiskan hampir dua jam untuk mengaplikasikan riasan di wajah Rena. Foundation yang lebih tebal menutupi setiap noda, contouring yang lebih dramatis membentuk tulang pipi yang tinggi dan dagu yang tirus, eyeliner yang tajam dan tebal, eyeshadow berwarna lembut namun menonjolkan mata, dan bulu mata palsu yang panjang menjuntai. Bibirnya dipoles dengan lipstik merah muda cerah yang membuatnya terlihat lebih penuh dan memikat. Alisnya yang sudah dibentuk tipis kini diwarnai dan ditegaskan agar tampak lebih presisi. Setiap detail dipastikan sempurna, setiap kekurangan ditutupi. Ia bukan lagi Revan, ia adalah sebuah mahakarya yang diciptakan untuk memuaskan mata sang predator.
Rambut panjang Revan yang kini terawat sempurna, ditata menjadi gelombang lembut yang jatuh indah di bahunya. Ibu Susan sendiri yang memilihkan pakaiannya: sebuah dress berwarna peach yang lembut, terbuat dari bahan sutra, dengan potongan V-neck yang sedikit rendah dan lengan panjang yang elegan. Gaun itu menempel pas di tubuhnya, menonjolkan lekuk-lekuk palsu yang diciptakan oleh korset ketat yang ia kenakan di dalamnya. Di lehernya, terpasang kalung mutiara sederhana yang tampak mahal, serasi dengan anting mutiara di telinganya yang sudah ditindik. Ia juga diminta memakai heels 7 cm, meskipun ia hanya akan duduk.
Rena dipaksa berdiri di depan cermin besar. Ibu Susan memegang bahunya, tersenyum bangga.
“Lihat, Rena. Kamu sangat cantik. Sempurna. Dia pasti akan sangat senang.”
Revan menatap pantulan dirinya, merasa jijik. Yang ia lihat bukanlah dirinya. Itu adalah boneka yang dirancang dengan teliti, sebuah ilusi yang sempurna. Mata di cermin itu, meskipun dibingkai dengan riasan cantik, memancarkan kecemasan dan ketegangan yang mendalam. Ia merasa seperti domba yang dihias sebelum disembelih. Aroma parfum feminin yang kuat menyengat hidungnya, terasa menyesakkan.
Ruangan disiapkan dengan cermat. Layar monitor besar disetel, memastikan pencahayaan sempurna dan sudut kamera terbaik. Ada ketegangan yang menggantung di udara, bukan hanya dari Revan, tapi juga dari Bu Lilis dan Tuan Heru yang hadir, mengawasi di sudut ruangan. Mereka semua adalah bagian dari skenario ini, para makelar yang mempertaruhkan investasi mereka.
Tepat pukul dua siang waktu Jakarta, panggilan masuk. Jantung Revan serasa copot. Ibu Susan memberi isyarat agar ia tersenyum. Rena mengangkat senyum palsu yang sudah ia latih berkali-kali.
Layar monitor menyala, dan muncullah sosok Mr. Kwame Mensah. Ia adalah seorang pria kulit hitam berusia sekitar 42 tahun, dengan perawakan tinggi besar, bahu lebar, dan kulit gelap yang berkilau. Wajahnya tebal, dengan rahang yang kuat dan bibir penuh yang sesekali menyunggingkan senyum. Matanya adalah hal pertama yang menarik perhatian Revan – tajam, cerdas, namun juga menyimpan kilatan predator yang mengerikan. Rambutnya dicukur pendek rapi, dan ia mengenakan kemeja sutra mahal berwarna gelap yang terbuka di bagian leher, memamerkan kalung emas tebal. Di latar belakangnya, terlihat sebuah ruang kerja mewah yang modern, penuh dengan peralatan teknologi canggih. Aura kekayaan dan kekuasaan memancar kuat darinya.
"Ah, Rena! Senang sekali akhirnya bisa melihatmu," suara Kwame berat dan dalam, dengan aksen Inggris yang kental, namun nadanya terdengar seperti bisikan yang penuh kepemilikan. "Kamu terlihat... lebih dari yang aku bayangkan."
Revan merasa merinding. Ia dipaksa tersenyum lebih lebar.
"Halo, Mr. Kwame. Saya juga senang bisa bertemu Anda."