Setelah video call yang menghancurkan, hari-hari di rumah pelatihan terasa seperti menapaki jembatan gantung di atas jurang yang tak berdasar. Revan, atau lebih tepatnya Rena, hidup dalam antisipasi ketakutan. Kata-kata Kwame, "lelaki yang kalah, lelaki yang dipasrahkan untuk jadi milikku," terus terngiang di benaknya, mengukir luka yang semakin dalam di jiwanya. Ia adalah objek, sebuah mainan yang sebentar lagi akan dijemput oleh pemiliknya.
Satu minggu setelah panggilan video call itu, Bu Lilis dan Tuan Heru mengumumkan kedatangan Mr. Kwame Mensah di Indonesia. "Dia akan datang sendiri. Dia ingin melihat langsung hasil investasi dan transformasinya," kata Tuan Heru, dengan senyum bisnis yang menjijikkan. Pengumuman itu menghantam Revan bagai sambaran petir. Kedatangan Kwame berarti akhir dari fase persiapan dan awal dari realitas yang lebih brutal.
Persiapan menyambut kedatangan Kwame jauh melampaui segala pelatihan yang pernah Revan alami. Ini bukan lagi tentang kesempurnaan teknis, melainkan tentang menciptakan ilusi yang memabukkan bagi sang predator. Revan diisolasi dari dunia luar, bahkan dari Ibu Susan. Sebuah tim penata gaya khusus didatangkan: ada ahli tata rambut, makeup artist pribadi, seorang fashion stylist yang hanya menangani pakaian desainer. Semua fokus hanya pada satu tujuan: membuat Rena menjadi sebuah mahakarya hidup yang tak bercela, sebuah boneka porselen yang siap dipajang.
Rambut Revan yang panjang dan berkilau diwarnai dengan warna cokelat gelap yang eksotis, lalu ditata menjadi ikal-ikal besar yang jatuh anggun di punggungnya. Setiap helai rambut diatur sempurna, disemprot hairspray agar tidak ada yang luput dari pandangan. Wajahnya diberi makeup yang lebih intens, menggunakan teknik highlight dan contour yang ekstrem untuk mempertegas fitur feminin dan menyamarkan sisa-sisa maskulinitasnya. Mata Revan yang bengkak karena kurang tidur dan tangisan diam-diam disamarkan dengan concealer tebal dan eyeshadow yang dramatis. Alisnya dirapikan lagi hingga nyaris tanpa cela, menonjolkan lengkungan yang lembut.
Ia diminta mengenakan sebuah dress panjang berwarna biru safir yang mewah, terbuat dari kain brokat sutra yang berkilau. Gaun itu dirancang khusus untuk menonjolkan lekuk tubuh "wanita" yang kini ia miliki secara paksa, dengan potongan fitted di bagian pinggang dan belahan tinggi di paha yang akan terlihat saat ia berjalan. Di dalamnya, ia mengenakan korset yang begitu ketat hingga ia sulit bernapas, serta body shaper yang meratakan setiap bagian tubuh maskulinnya, menciptakan ilusi pinggul lebar dan dada yang berisi. Rasa sesak itu tak pernah hilang, mencekik setiap napas.
Perhiasan mewah pun dipakaikan: kalung berlian yang berkilau di lehernya, gelang emas putih di pergelangan tangannya, dan anting menjuntai yang serasi dengan mutiara di telinganya. Setiap perhiasan terasa berat, bukan hanya karena materialnya, tapi karena beban takdir yang disimbolkannya. Ia mengenakan heels 10 cm, memaksanya jinjit, kakinya terasa nyeri membakar, namun ia harus berjalan dengan anggun. Aroma parfum mahal disemprotkan ke seluruh tubuhnya, menutupi bau penderitaan yang ia rasakan.
Revan menatap pantulan dirinya di cermin besar. Ia melihat seorang wanita yang sangat cantik, elegan, dan mempesona. Tetapi di balik mata yang memancarkan kecantikan itu, ia melihat keputusasaan yang tak terhingga. Ia merasa seperti lukisan indah yang dijual di pelelangan, sebuah objek tanpa jiwa yang dipersembahkan kepada penawar tertinggi.
Perasaan campur aduk itu membanjiri dirinya. Ada ketakutan yang mencekam akan apa yang akan terjadi ketika Kwame melihatnya secara langsung, menyentuhnya. Namun, anehnya, ada juga keinginan yang samar untuk menyenangkan para "agen" dan Bu Lilis. Bukan karena ia peduli pada mereka, tapi karena jika ia bisa tampil sempurna, mungkin, hanya mungkin, siksaan ini akan lebih cepat berakhir. Ini adalah insting bertahan hidup yang paling primal: menyenangkan tuan agar tidak dihukum.
Ruang tamu utama rumah pelatihan telah diubah menjadi area penyambutan. Sofa kulit mahal, meja kopi yang dihias bunga segar, dan pencahayaan yang lembut menciptakan suasana mewah namun dingin. Ibu Susan, Bu Lilis, dan Tuan Heru berdiri di sana, semua dalam pakaian formal, menunggu kedatangan "pelanggan" penting mereka.
Jam menunjukkan pukul empat sore. Sebuah mobil mewah hitam berhenti di depan gerbang. Jantung Revan berdegup kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya di telinganya sendiri. Pintu terbuka, dan Mr. Kwame Mensah melangkah masuk.
Kwame datang dengan aura kekuasaan yang luar biasa, mengisi ruangan dengan kehadirannya yang dominan. Ia mengenakan setelan jas desainer berwarna abu-abu gelap, dasi sutra, dan arloji berkilauan di pergelangan tangannya. Rambutnya dicukur rapi, dan wajahnya memancarkan percaya diri yang mutlak. Ia bukan hanya kaya, ia adalah penguasa, seorang pria yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Rena, mengunci pandangan, dan senyum puas terukir di bibirnya.
"Mr. Kwame, selamat datang di Indonesia," sapa Tuan Heru dengan membungkuk hormat, diikuti oleh Bu Lilis dan Ibu Susan yang juga tersenyum ramah.