Setelah kunjungan Kwame yang mengerikan, hari-hari di rumah pelatihan di Jakarta terasa seperti waktu yang dihitung mundur menuju kehancuran. Sentuhan Kwame yang menjijikkan dan kata-katanya yang kejam terus membayangi Revan, menjebaknya dalam ketakutan yang tak berujung. Setiap detik yang berlalu adalah satu langkah lebih dekat menuju takdir yang tak terhindarkan.
Akhirnya, hari keberangkatan tiba. Revan, yang kini sepenuhnya berwujud Rena, sudah tak punya tenaga lagi untuk memberontak. Ia adalah boneka yang sempurna, siap dikirim. Ia mengenakan pakaian yang dipilihkan oleh Ibu Susan: dress sederhana namun elegan, dengan outer berbahan wol tipis untuk menyesuaikan suhu udara di pesawat. Wajahnya dipoles makeup natural, rambutnya ditata rapi. Ia tampak seperti seorang wanita muda yang bepergian sendirian, penuh harapan. Ironisnya, ia adalah kebalikannya.
Perjalanan ke Belanda dimulai dengan perasaan hampa yang melumpuhkan. Di bandara, Revan hanya melewati formalitas, paspor atas nama Rena Ardiansyah terasa asing di tangannya. Bu Lilis dan Tuan Heru mengantarnya hingga gerbang keberangkatan, senyum kemenangan terukir di wajah mereka. "Jaga diri baik-baik ya, Nak Rena. Jangan lupa kabar-kabari kami," ucap Bu Lilis, nadanya penuh kepalsuan. Tidak ada pelukan perpisahan yang tulus, tidak ada tatapan empati. Ia meninggalkan Indonesia, tanah kelahirannya, tanpa ada yang benar-benar peduli pada jiwanya yang mati.
Di dalam pesawat, Revan duduk di kursi kelas bisnis yang luas, dengan fasilitas mewah yang dulu tak pernah ia impikan. Pramugari yang ramah menawarkan minuman dan makanan, namun ia tak bisa menelan apa pun. Jendela pesawat menunjukkan pemandangan awan putih di bawahnya, dan Revan merasa seperti awan itu: mengambang tak tentu arah, kosong, dan perlahan menjauh dari segalanya yang ia kenal. Selama penerbangan belasan jam itu, ia hanya menatap kosong ke depan, memikirkan keluarganya yang kini menikmati kemewahan semu hasil pengorbanannya. Apakah mereka tahu betapa hancurnya ia? Apakah mereka peduli? Ia tahu jawabannya: tidak. Mereka hanya melihat dirinya sebagai mesin uang.
Kedatangan di Amsterdam disambut oleh udara dingin yang menusuk tulang dan langit kelabu. Kota itu terhampar di depannya, dengan kanal-kanal indah, bangunan-bangunan tua yang menawan, dan jembatan-jembatan melengkung yang ikonik. Dari kaca mobil mewah yang menjemputnya, Revan melihat sekilas keindahan arsitektur dan suasana yang tenang. Namun, keindahan itu terasa hampa dan ironis. Amsterdam, kota kebebasan, kini menjadi kandang emasnya. Ia datang ke sini bukan sebagai manusia bebas, melainkan sebagai tawanan yang dihias.
Pria yang menjemputnya adalah asisten pribadi Kwame, seorang pria Belanda berwajah ramah namun dingin, yang hanya memanggilnya "Ms. Rena". Tidak ada percakapan basa-basi, hanya instruksi yang lugas.
Revan kemudian dibawa ke apartemen mewah Kwame, yang terletak di salah satu distrik paling elit di Amsterdam. Bangunan itu menjulang tinggi, modern, dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Di dalam, apartemen itu lebih mirip penthouses daripada tempat tinggal. Segalanya serba ada dan serba mewah: ruang tamu luas dengan perabotan desainer, dapur modern dengan peralatan canggih, kamar tidur utama yang megah dengan kasur king size, kamar mandi marmer dengan jacuzzi, ruang kerja pribadi, bahkan walk-in closet yang dipenuhi pakaian dan aksesoris wanita desainer baru yang belum pernah ia lihat.