Anak Lelaki Yang Di Jadikan Waria

Zizan
Chapter #9

Kematian Jati Diri

Setelah minggu-minggu penyiksaan fisik dan mutilasi yang mengerikan, termasuk operasi payudara dan suntikan kimia yang mematikan, Revan—kini Rena, seutuhnya—hidup dalam mati rasa yang pekat. Tubuhnya adalah sebuah penjara yang asing, dan jiwanya adalah bayangan yang terperangkap di dalamnya. Tidak ada lagi pemberontakan, hanya kepasrahan total. Tanggal pernikahan, yang dulu terasa begitu jauh dan tak nyata, kini sudah di depan mata.


Pagi itu, udara dingin Amsterdam terasa menusuk. Langit abu-abu menggantung rendah, seolah alam turut berduka atas apa yang akan terjadi. Apartemen mewah Kwame, yang sebelumnya terasa seperti sangkar, kini menjelma menjadi ruang ganti pengantin yang absurd. Rena terbangun dengan perasaan hampa yang menusuk. Hari ini adalah hari di mana ia akan secara resmi menyerahkan dirinya, tubuhnya, dan setiap sisa martabatnya kepada Kwame.


Persiapan pernikahan dimulai sejak dini hari, dengan standar yang jauh lebih tinggi dari hari video call atau kunjungan Kwame sebelumnya. Rena didandani oleh tim stylist dan makeup artist profesional yang dibawa langsung oleh Kwame. Mereka bekerja dengan presisi, seolah Rena adalah patung hidup yang harus disempurnakan.


Rambut panjang Revan, yang kini berwarna cokelat gelap eksotis dan telah tumbuh lebih panjang, ditata menjadi sanggul rendah yang elegan dengan beberapa helai ikal longgar membingkai wajahnya. Di puncak sanggul itu, sebuah tiara kecil berhiaskan berlian diletakkan, berkilau di bawah cahaya lampu. Wajahnya dipoles dengan makeup yang sangat halus namun memancarkan kecantikan yang luar biasa. Foundation tebal menutupi setiap pori, contouring menciptakan ilusi wajah tirus dan tulang pipi menonjol, eyeliner tipis membingkai matanya yang kini tampak lebih besar dan lembut, dan bulu mata palsu panjang menambah kesan dramatis. Bibirnya dipulas dengan lipstik merah muda pucat yang berkilau, tampak begitu lembut dan mengundang. Ia bukan lagi Rena, ia adalah pengantin wanita yang sempurna dari majalah fesyen.


Lalu, tibalah saatnya mengenakan gaun. Dua asisten wanita membantu Rena. Gaun pengantin itu terbuat dari satin putih murni yang mewah, mengilap lembut di bawah cahaya. Potongannya sederhana namun sangat elegan, dengan garis leher tinggi di depan dan punggung rendah yang terbuka, serta lengan panjang yang pas. Gaun itu menempel sempurna di tubuh Rena, memperlihatkan lekuk-lekuk yang telah direkayasa, dada yang kini berisi berkat implan, dan pinggul yang terbentuk sempurna oleh korset super ketat yang ia kenakan di dalamnya. Setiap sentuhan kain satin ke kulitnya yang kini mulus, terasa dingin dan asing. Gaun itu terasa seperti kafan yang cantik, membungkus kematian jati dirinya.


Rena berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya. Kemewahan yang palsu terpancar dari setiap detail penampilannya: gaun desainer, perhiasan berlian, riasan sempurna, dan rambut tertata rapi. Namun, di balik semua kemewahan itu, ia merasakan kehancuran yang nyata dan tak terperikan. Matanya, meskipun dipulas cantik, tidak memancarkan kebahagiaan, melainkan kekosongan dan kepasrahan. Ia melihat tangan yang kini dihiasi sarung tangan renda putih, tapi ia tahu itu adalah tangan seorang pria yang dipaksa menjadi wanita. Ia melihat gaun pengantin putih yang melambangkan kemurnian, namun ia merasa sangat kotor, jiwanya telah tercemar.


Ia adalah seorang pengantin pria yang mengenakan gaun pengantin wanita. Ironi itu mencekiknya. Sebuah monolog internal yang pahit mengalir deras di benaknya, kata-kata itu berteriak dalam keheningan jiwanya: "Bukan aku yang menikah hari ini. Yang menikah adalah tubuh yang sudah dikunci oleh keadaan. Tubuh ini bukan milikku lagi. Aku hanya wadahnya. Aku hanya Rena, sebuah boneka yang cantik, yang sempurna, yang patuh. Revan sudah mati. Ia mati di Indonesia, saat keluarganya menjualnya. Ia mati di rumah pelatihan, saat tubuhnya diubah paksa. Ia mati di klinik, saat fungsinya dimatikan. Dan hari ini, ia dikuburkan, di dalam gaun pengantin putih ini."


Ia merasakan hilangnya kendali sepenuhnya. Tidak ada lagi perlawanan. Identitasnya telah dihancurkan, lapis demi lapis, hingga tak tersisa apa pun. Ia hanyalah cangkang kosong yang sedang dipersiapkan untuk sebuah upacara.


Lihat selengkapnya