Setelah upacara pernikahan yang dingin dan hampa di Balai Kota Amsterdam, Revan, yang kini secara resmi adalah Rena, dibawa kembali ke apartemen mewah Kwame. Gaun pengantin putih yang ia kenakan terasa seperti kain kafan yang mengikat erat, sebuah simbol kematian jati dirinya yang telah terkubur. Hari itu, ia tidak hanya mengikat janji suci, tetapi juga sebuah kontrak perbudakan yang dilegalkan..
Kehidupan Rena sebagai "istri sah" Kwame dimulai dengan segera, dan itu adalah sebuah penjara berlapis sutra. Apartemen yang serba mewah itu, yang dulu terasa seperti kandang emas, kini benar-benar menunjukkan wujud aslinya sebagai kurungan. Rena dilarang keluar tanpa izin Kwame, setiap aktivitasnya diawasi ketat oleh staf rumah tangga dan pengawal pribadi yang diam-diam memata-matai setiap geraknya. Ia tidak diizinkan memiliki kunci apartemen, tidak ada kebebasan untuk sekadar berjalan-jalan di taman terdekat. Dunia Rena kini hanya sebatas dinding-dinding mewah itu, dan Kwame adalah sipirnya.
Ponselnya masih disita. Uang tunai tidak pernah diizinkan berada di tangannya. Akses ke media sosialnya sepenuhnya diblokir, dan setiap upaya untuk berkomunikasi dengan dunia luar melalui internet dipantau. Ia terisolasi total, sebuah boneka cantik yang terkunci dalam gelembung kemewahan, terputus dari segala bentuk realitas yang pernah ia kenal. Kwame adalah satu-satunya jendelanya ke dunia, dan itu adalah jendela yang didikte sepenuhnya oleh hasrat sang predator.
Malam pertama setelah pernikahan adalah malam yang telah ia takuti, sebuah jurang gelap yang telah ia antisipasi dengan kengerian yang luar biasa. Setelah resepsi kecil-kecilan di apartemen, di mana Rena dipaksa tersenyum dan melayani tamu-tamu Kwame dengan anggun, semua orang akhirnya pergi. Tinggallah ia berdua dengan Kwame di apartemen yang terasa begitu luas, namun mencekik.
Rena telah mengganti gaun pengantinnya dengan lingerie sutra yang tipis dan transparan, sesuai permintaan Kwame. Warna hitamnya terasa kontras dengan kepolosan yang dulu ia miliki. Ia berdiri gemetar di dalam kamar tidur utama, kamar yang megah namun terasa dingin dan menakutkan. Aroma tubuh Kwame, yang maskulin dan dominan, memenuhi ruangan, membuat perutnya mual.
Kwame masuk ke kamar, mengenakan jubah mandi sutra. Matanya berkilat, penuh hasrat yang telah lama tertahan, tatapan predator itu kini semakin liar. Ia tersenyum, sebuah senyum kemenangan yang keji. "Akhirnya, Rena-ku. Kita sendirian sekarang."
Rena mundur selangkah, jantungnya berdebar kencang. Ia ingin lari, ingin bersembunyi, namun tidak ada tempat.
"Jangan takut, sayang," desis Kwame, langkahnya perlahan mendekat. "Ini akan menjadi malam yang tak terlupakan untuk kita berdua." Ia melangkah ke arahnya, dan meraih pergelangan tangan Rena. "Kemari."
Tanpa perlawanan, Rena ditarik oleh Kwame. Kwame tidak langsung mengajaknya ke tempat tidur. Ia ingin mendominasi, ingin melihat ketakutan di mata Rena. Ia mendorong Rena dengan lembut namun tegas ke dinding marmer di samping tempat tidur. Rena berada dalam posisi memojokkan, tubuhnya terjepit di antara tubuh besar Kwame dan dinding dingin. Ketakutan memuncak dalam dirinya. Ia merasakan panas tubuh Kwame yang memancar, aroma maskulinnya yang kuat memabukkan.
"Aku sudah lama menantikan ini, Rena," bisik Kwame, suaranya serak, matanya menelanjangi Rena dari ujung kepala hingga kaki. Ia mengangkat tangan Rena, mencium punggung tangannya, lalu perlahan menjilat jari-jarinya. Rena merasa jijik, namun tak bisa menarik tangannya.