Hari-hari setelah malam pertama yang brutal itu terasa seperti pusaran air yang menarik Revan, yang kini sepenuhnya adalah Rena, semakin dalam ke jurang keputusasaan. Setiap pagi adalah pengulangan neraka, setiap malam adalah siksaan baru. Apartemen mewah itu, yang seharusnya menjadi surga, telah menjadi penjara berlapis sutra yang paling kejam.
Pada awalnya, ada gelombang perlawanan batin yang kuat. Di kedalaman jiwanya, Revan berteriak. Kemarahan membara. Kebencian pada Kwame, pada Bu Lilis, pada keluarganya, dan yang paling parah, pada dirinya sendiri, terasa seperti api yang membakar. Ia mencoba melawan dalam diam. Ia akan menolak untuk makan, menolak untuk bicara, menolak untuk menatap mata Kwame. Namun, perlawanan itu selalu sia-sia. Kwame akan mengancam, memaksanya, atau bahkan menghukumnya dengan sentuhan-sentuhan yang lebih agresif, dan Revan tahu ia tidak punya daya. Ini adalah perlawanan yang sunyi, tanpa senjata, tanpa harapan.
Setiap sentuhan Kwame, setiap ciuman paksa, setiap perintah yang merendahkan, adalah paku yang menancap di peti mati Revan. Ia mencoba menggali kembali ingatannya tentang dirinya yang dulu: Revan yang gagah, yang bekerja keras, yang bertanggung jawab. Namun, bayangan itu semakin kabur, semakin sulit digapai. Tubuhnya sendiri telah mengkhianatinya, berubah menjadi Rena.
Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang lebih mengerikan mulai terjadi. Adaptasi paksa. Hari demi hari, tubuh Revan mulai terbiasa. Rasa sakit fisik dari sentuhan Kwame, dari pemakaian korset dan heels sepanjang hari, mulai terasa tumpul. Ia mulai bicara lembut, dengan nada dan intonasi feminin yang telah dilatih berbulan-bulan, tanpa ia sadari. Suara aslinya kini menjadi kenangan yang samar. Ia mulai tidur dengan gaun malam sutra dan lingerie tanpa rasa jijik yang menggebu-gebu seperti dulu. Rasa malu saat melihat dirinya di cermin, mengenakan pakaian wanita, kini berkurang. Itu bukan berarti ia menerimanya, melainkan karena ia sudah terlalu lelah untuk merasa jijik. Tubuhnya, dengan brutal, telah beradaptasi dengan siksaan ini.
Ini adalah hal paling menakutkan dari semuanya: penerimaan yang menipu. Rena mulai pasrah saat Kwame menyentuhnya. Bukan karena ia rela, bukan karena ia mulai merasakan gairah atau bahkan toleransi. Melainkan karena kelelahan jiwa yang luar biasa dan penerimaan pahit akan takdir yang tak terhindarkan. Ia tidak punya energi lagi untuk melawan. Setiap otot, setiap saraf, setiap sel dalam tubuhnya telah menyerah. Ia hanya ingin rasa sakit itu berhenti. Pasrah terasa lebih ringan daripada terus-menerus melawan badai yang tak mungkin dimenangkan. Ia menjadi mati rasa.
Pelecehan yang dilakukan Kwame berlanjut tanpa henti. Setiap pagi, siang, dan malam, sentuhan-sentuhan dominan itu adalah ritual yang harus ia jalani. Ciuman paksa, remasan kasar di payudaranya yang baru, usapan di paha dan pinggulnya, dan yang paling menghina, remasan dan sentuhan di sisa kejantanannya yang layu di balik celana dalam wanita. Semua itu adalah bentuk pengingat konstan akan posisinya.