Hari-hari Rena di kandang emas Kwame berlalu dalam kabut kepasrahan yang pekat. Tubuhnya telah beradaptasi dengan siksaan, jiwanya telah menerima takdirnya yang kejam. Monotonnya kemewahan, dihiasi dengan sentuhan-sentuhan dominan Kwame yang tak henti, telah melumpuhkan setiap sisa perlawanan. Revan telah mati, terkubur di bawah lapisan riasan, gaun sutra, dan trauma yang tak terperikan. Ia adalah Rena, boneka yang sempurna, milik Kwame sepenuhnya.
Namun, di kedalaman kehampaan itu, terkadang muncul secercah ingatan tentang masa lalu, tentang Revan, tentang keluarga yang ia korbankan segalanya. Sebuah dorongan samar, mungkin sisa terakhir dari Revan yang menolak sepenuhnya lenyap, mendorong Rena untuk mencoba satu hal terakhir: menghubungi keluarganya. Ia ingin tahu, apakah masih ada secuil empati, secuil penyesalan di hati mereka?
Kontrol Kwame memang ketat, nyaris sempurna. Ponsel disita, akses internet dibatasi, setiap gerak-gerik diawasi. Namun, terkadang, ada celah kecil yang terbuka. Suatu sore, saat Kwame sedang sibuk dengan video conference penting dan staf rumah tangga sedang lengah, sebuah kesempatan muncul. Salah satu pelayan baru, seorang gadis muda asal Filipina yang tampak sering memandang Rena dengan tatapan kasihan, secara diam-diam meninggalkan ponselnya yang tak terkunci di meja dapur saat ia pergi mengambil air.
Jantung Rena berdesir. Ini adalah kesempatan emas, mungkin yang terakhir. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel itu. Ingatannya tentang nomor telepon rumah di kampung masih jelas. Dengan cepat, ia mengetikkan nomor itu, jarinya terasa kaku.
Telepon tersambung. Suara Bu Tini, ibunya, terdengar nyaring di ujung sana.
“Halo? Ini siapa?”
Rena menelan ludah, suaranya keluar lembut, gemetar. “Ibu... ini Rena.”
“Rena! Ya ampun, Nak! Kenapa telepon pakai nomor asing?” Suara ibunya terdengar gembira, namun ada nada tuntutan yang tak bisa disembunyikan. “Kamu baik-baik saja kan, Nak? Sehat? Kwame baik-baik saja?”
Tidak ada pertanyaan tentang dirinya, tentang penderitaannya. Hanya tentang dirinya yang baik-baik saja agar uang tetap mengalir.
“Rena sehat, Bu. Kwame juga baik,” jawab Rena, memejamkan mata menahan perih.