Setelah kontak terakhir yang menyakitkan dengan keluarganya, setiap harapan, setiap benang tipis yang mengikat Revan pada masa lalunya, putus sudah. Yang tersisa hanyalah kekosongan yang membentang luas. Ia tidak lagi terkejut dengan kebrutalan Kwame, tidak lagi memberontak dalam diam. Ia telah mencapai titik nol, sebuah ruang hampa di mana emosi tidak lagi beriak, hanya mati rasa yang meraja.
Kehidupan Rena terus berjalan dalam rutinitas yang beku dan tanpa emosi. Setiap pagi, ia bangun di samping Kwame, di tempat tidur king size yang mewah namun terasa dingin. Ia akan mandi, mengenakan pakaian yang sudah disiapkanāsering kali lingerie atau gaun tidur sutra di siang hari, atau gaun elegan untuk acara-acara Kwame. Rambutnya akan ditata, wajahnya dipoles riasan, dan ia akan turun untuk sarapan. Kwame akan membaca berita bisnisnya, sesekali melontarkan perintah atau komentar tentang penampilannya. Rena akan menjawab dengan suara lembut yang sudah terbiasa, melakukan semua yang diminta tanpa keraguan.
Siang hari diisi dengan berbagai kegiatan yang diatur Kwame: sesi spa di rumah, kunjungan singkat ke toko desainer bersama asisten yang selalu mengawasinya, atau sekadar menunggu Kwame di apartemen sambil membaca buku yang diizinkan. Malam hari sering kali diisi dengan jamuan makan malam bisnis atau acara sosial yang dipenuhi orang-orang kaya dan berkuasa. Rena selalu ada di sisi Kwame, tersenyum, melayani, dan menjadi trofi yang sempurna. Setiap orang memujinya, mengagumi kecantikannya, tanpa ada yang tahu kengerian yang tersembunyi di balik mata kosong itu.
Pelecehan fisik dari Kwame menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas ini. Sentuhan-sentuhan dominan itu terjadi kapan saja, di mana saja, tanpa peringatan. Remasan di payudara yang baru, ciuman paksa, usapan di paha, dan yang paling memuakkan, sentuhan menghina di sisa kejantanannya yang layu di balik pakaian dalam wanita. Tubuhnya kini tidak lagi merespons dengan jeritan atau rontaan. Ia hanya menjadi objek yang pasif, menerima setiap sentuhan, setiap invasi, dengan mati rasa. Rasa jijik masih ada, namun terkubur dalam-dalam, tak lagi mampu memicu perlawanan aktif.
Setiap hari adalah pengulangan yang sama. Tidak ada kejutan, tidak ada kebebasan, tidak ada harapan. Hanya ada kehampaan yang tak berujung, diselimuti kemewahan yang ironis. Ia adalah burung yang terkunci dalam sangkar emas, dengan makanan terbaik dan bulu terindah, namun sayapnya telah dipatahkan, dan jiwanya telah mati.
Di tengah rutinitas yang membekukan ini, terkadang ada momen kesadaran yang muncul, biasanya saat ia sendirian di depan cermin. Ini bukan cermin di kamar mandi umum atau cermin yang digunakan untuk dandan. Ini adalah cermin besar di walk-in closet, tempat ia bisa melihat dirinya seutuhnya, tanpa riasan yang sempurna, tanpa gaun yang mengilap, hanya dengan lingerie atau pakaian rumah.
Suatu sore, setelah pulang dari acara amal bersama Kwame, Rena melepas gaun mewahnya. Ia berdiri di depan cermin, hanya mengenakan lingerie sutra dan stoking. Cahaya redup ruangan memantulkan siluet tubuhnya yang kini begitu berbeda. Ia melihat payudara yang membesar, pinggul yang melengkung, kulit yang halus tanpa bulu. Ia melihat rambut panjang yang indah, wajah yang feminin, dan kaki jenjang yang ramping.