Tiga tahun. Sebuah janji yang dulu terdengar seperti harapan, sebuah batas waktu yang dijanjikan Bu Lilis bahwa semua penderitaan ini akan berakhir. Tiga tahun lamanya Revan harus menjalani hidup sebagai Rena, melayani Kwame, dan menanggung segala bentuk kehinaan. Dalam kebengisan takdir, tiga tahun itu kini telah berlalu. Namun, tidak ada tanda-tanda kebebasan. Yang ada hanya lingkaran tanpa akhir dari rutinitas yang membekukan dan kepasrahan yang semakin dalam.
Kehidupan Rena sebagai istri Kwame di Amsterdam telah menjadi sebuah siklus yang membosankan dan kejam. Rutinitasnya sama setiap hari: bangun, berdandan sempurna, sarapan dengan Kwame, menemani Kwame dalam urusan bisnisnya, menghadiri acara sosial, melayani setiap kebutuhannya, dan menanggung sentuhan-sentuhan dominan yang kini terasa mati rasa. Ia adalah boneka yang bergerak sesuai perintah, sebuah objek yang sempurna untuk dipamerkan.
Perubahan fisik pada Rena semakin jelas dan permanen. Hormon estrogen telah bekerja dengan maksimal, membuat kulitnya sangat halus, rambutnya tumbuh semakin panjang dan lebat, dan distribusi lemak tubuhnya benar-benar menyerupai wanita. Payudaranya yang berisi terlihat alami di balik gaun-gaun mahalnya. Sisa kejantanannya semakin mengecil, nyaris tidak terlihat, dan mati rasa sepenuhnya. Ia telah menjadi Rena seutuhnya, bahkan di mata biologis. Revan, sang pria, kini benar-benar telah lenyap, tertelan oleh transformasi yang mengerikan ini.
Penerimaan yang menipu itu kini menjadi bagian dari dirinya. Ia tidak lagi berteriak dalam diam, tidak lagi menangis di malam hari. Hatinya telah mengeras, jiwanya telah membeku. Ia melayani Kwame tanpa emosi, menerima setiap sentuhan tanpa perlawanan. Ia telah belajar bagaimana hidup dalam penjara berlapis sutra ini, bagaimana bertahan hidup sebagai Rena.
Setiap bulan, uang dikirimkan ke rekening keluarganya di Indonesia. Rena tahu, karena ia terkadang melihat laporan transfer yang Kwame tunjukkan dengan bangga, seolah ingin menunjukkan betapa ia telah memenuhi sisi perjanjiannya. Dan setiap kali itu terjadi, ada secuil rasa perih yang masih tersisa, sebuah pengingat akan pengorbanan yang ia lakukan.
Suatu hari, saat Kwame sedang melakukan video conference di ruang kerjanya, Rena melihat sebuah notifikasi pesan dari ponsel Kwame yang tergeletak di meja. Pesan itu dari ibunya, yang dikirim ke nomor khusus yang hanya dipegang Kwame untuk komunikasi penting terkait “investasinya.” Tanpa pikir panjang, dorongan yang tak bisa ia jelaskan itu muncul. Rena meraih ponsel Kwame yang baru saja diletakkan, dan membuka pesan-pesan lama.
Apa yang ia baca bagaikan pukulan palu godam ke kepalanya yang sudah mati rasa. Status keluarganya di Indonesia, yang ia bayangkan mungkin masih hidup sederhana namun bahagia, ternyata jauh melampaui itu.
Ibunya mengirimkan foto-foto terbaru. Sebuah butik busana muslim modern yang besar dan megah kini berdiri tegak di pusat kota kecil mereka, dengan nama "Rena Boutique" terpampang jelas di bagian depannya. Ibu mengenakan pakaian modis, tersenyum lebar di antara deretan manekin berbalut busana rancangannya.