Tahun demi tahun berlalu di apartemen mewah di Amsterdam itu, mengukir alur waktu yang terasa seperti keabadian bagi Rena. Bukan lagi detik, menit, atau jam yang membatasi, melainkan siklus tak berujung dari bangun, patuh, melayani, dan merana dalam keheningan. Tubuh Rena, yang kini telah sepenuhnya beradaptasi dengan feminisasi paksa, adalah bukti fisik dari kehancuran yang tak dapat ditarik kembali. Kulitnya sehalus porselen, rambutnya hitam legam dan panjang menjuntai hingga pinggang, payudaranya membesar secara alami berkat implan dan hormon, sementara bagian lain dari identitas prianya telah layu dan nyaris tak berjejak. Ia adalah mahakarya yang sempurna di mata Kwame, namun sebuah monumen dari kehilangan yang tak terhingga di mata dirinya sendiri.
Kisah Rena Ardiansyah, sang "istri" sempurna dari pengusaha kaya Mr. Kwame Mensah, telah menjadi cerita yang dikenal di kalangan jet set Amsterdam. Ia adalah wanita misterius yang anggun, pendiam, namun selalu memancarkan pesona yang tak terbantahkan di setiap acara sosial. Senyumnya selalu terukir indah, tatapannya lembut, dan gerak-geriknya penuh keanggunan yang telah dilatih dengan keras. Tak seorang pun, di antara para kolega bisnis Kwame atau teman-teman sosialitanya, yang tahu bahwa di balik kesempurnaan itu tersembunyi jiwa yang hancur, terperangkap dalam sangkar emas yang tak terlihat. Mereka melihat kekayaan, kecantikan, dan kemewahan, tetapi mereka tidak melihat air mata yang mengalir tanpa suara di malam hari, atau jeritan batin yang teredam di balik bibir yang tersenyum.
Pelecehan yang dilakukan Kwame tidak pernah berhenti, justru berevolusi menjadi bentuk yang lebih halus, lebih meresap, dan lebih merusak secara psikologis. Sentuhan-sentuhan paksa itu kini menjadi bagian dari rutinitas yang diharapkan, sebuah ritual kepemilikan yang konstan. Kwame tidak lagi perlu mengancam atau memaksa secara terang-terangan. Rena sudah terlatih untuk mematuhi. Ia akan duduk di pangkuan Kwame saat diminta, membiarkan tangan besar itu mengusap payudaranya, meremas pinggulnya, atau menyentuh bagian pribadinya yang mati rasa. Ciuman Kwame yang penuh dominasi akan ia terima tanpa perlawanan, bibirnya yang dipoles akan membuka saat lidah Kwame memaksa masuk, sebuah penyerahan total yang kini terjadi secara otomatis.
Kwame sering menikmati memamerkan Rena. Ia akan memintanya mengenakan gaun-gaun yang paling terbuka atau lingerie sutra di siang hari, hanya untuk ia pandangi sambil bekerja dari rumah. Ia akan memaksanya duduk di sofa, memeluknya dari belakang, sambil ia membaca koran atau menonton televisi. Ia menikmati setiap ekspresi kepatuhan Rena, setiap tatapan kosong yang ia salah artikan sebagai cinta atau gairah. Ia menikmati kontrol mutlak yang ia miliki, tidak hanya atas tubuh Rena, tetapi juga atas setiap detail kehidupannya. Kwame adalah seorang kolektor seni, dan Rena adalah koleksi termahalnya, sebuah patung hidup yang bisa ia bentuk dan miliki sepenuhnya.
Komunikasi dengan dunia luar telah terputus sepenuhnya. Ponsel Rena tidak pernah dikembalikan. Tablet yang dulu hanya memiliki akses terbatas kini telah disita juga. Ia hidup dalam isolasi total, hanya berinteraksi dengan Kwame dan beberapa staf rumah tangga yang loyal dan acuh tak acuh. Dunia Rena adalah apartemen Kwame, lingkup pengaruh Kwame, dan batasan yang ditetapkan Kwame. Ia tidak tahu apa yang terjadi di luar, tidak tahu berita dunia, tidak tahu apa yang terjadi pada keluarganya. Informasi yang ia terima hanyalah sepenggal berita yang sengaja Kwame sampaikan, atau kabar dari Bu Lilis yang disaring ketat melalui Kwame, selalu dengan narasi bahwa keluarganya "makmur" berkat dirinya.
Hati nurani Rena telah terkikis habis oleh penderitaan yang tak berkesudahan. Ia tidak lagi bisa merasakan kemarahan yang membara seperti dulu, atau kesedihan yang menusuk. Ia telah mencapai sebuah kondisi mati rasa yang pekat, sebuah cara untuk bertahan hidup. Ia bergerak seperti robot, melakukan segala sesuatu sesuai perintah, tanpa jiwa, tanpa emosi. Rasa jijik pada tubuhnya sendiri telah memudar, tergantikan oleh penerimaan pahit bahwa ini adalah realitasnya. Ketika ia melihat pantulannya di cermin, ia melihat Rena, bukan lagi Revan. Itu adalah sebuah kehampaan yang sempurna, sebuah cangkang kosong yang bergerak, bernapas, dan tersenyum atas nama orang lain.
Terkadang, di tengah malam yang sunyi, saat Kwame terlelap di sampingnya, Rena akan bangun. Ia akan berjalan ke jendela besar apartemen, menatap ke arah lampu-lampu kota Amsterdam yang berkilauan di bawah. Pemandangan itu, yang seharusnya indah, terasa kosong baginya. Ia tidak melihat keindahan arsitektur, tidak mendengar riuh rendah kota. Ia hanya melihat kegelapan yang sama dengan yang ada di dalam dirinya. Dalam keheningan itu, sesekali, sebuah bisikan samar akan muncul dari sudut terdalam ingatannya, sebuah gema dari nama yang telah lama mati. Revan. Namun, gema itu terlalu jauh, terlalu lemah, untuk membangkitkan apa pun selain rasa perih yang tumpul.
Satu-satunya hiburan, jika bisa disebut demikian, adalah buku-buku yang sesekali Kwame berikan padanya. Buku-buku itu sebagian besar adalah fiksi roman atau novel ringan yang feminin, seolah Kwame ingin membentuk minat Rena agar sesuai dengan peran barunya. Rena akan membaca berjam-jam, bukan karena ia menikmati ceritanya, tetapi karena itu adalah cara untuk melarikan diri, untuk membiarkan pikirannya tenggelam dalam dunia lain, betapapun singkatnya. Namun, bahkan dalam pelarian itu, realitasnya akan selalu kembali, mencekiknya.
Kwame juga mempekerjakan seorang instruktur seni untuk datang ke apartemen seminggu sekali. Ia mendorong Rena untuk melukis, melukis pemandangan abstrak, atau potret-potret yang Kwame inginkan. Rena akan melukis tanpa gairah, hanya mengikuti instruksi, menghasilkan karya seni yang indah namun tanpa jiwa, seperti dirinya. Kwame akan memamerkan lukisan-lukisan itu kepada tamunya, memuji "bakat seni" Rena, menambah ilusi kesempurnaan yang ia ciptakan.
Suatu hari, dalam sebuah jamuan makan malam formal di apartemen mereka, Rena duduk di samping Kwame. Tamu-tamu penting dari berbagai negara hadir, berbicara tentang investasi, pasar saham, dan politik global. Rena, seperti biasa, tersenyum, mengangguk, dan sesekali mengucapkan kalimat yang telah dilatih. Namun, di tengah obrolan itu, seorang tamu wanita, seorang kolektor seni terkenal dari London, menatap Rena dengan tatapan yang berbeda. Ada secercah rasa ingin tahu, bahkan mungkin sedikit rasa kasihan di matanya.