Rena kembali ke rutinitasnya. Artikel majalah itu telah membuka kembali luka lama, menghantamnya dengan kebenaran yang lebih keji. Janji tiga tahun adalah fatamorgana yang sengaja diciptakan untuk membuainya dalam kepatuhan. Ia bukan hanya dijual, tetapi dipersembahkan sebagai sebuah proyek jangka panjang, dan keluarganya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, kini menikmati kemewahan dari kehancurannya sendiri. Rasa jijik itu kini bermetamorfosis menjadi racun yang menggerogoti, tidak hanya untuk Kwame, tapi juga untuk dirinya yang telah kehilangan identitas, dan terutama untuk orang-orang yang dengan bangga mengklaimnya sebagai "putri yang sukses." Ia adalah Rena, boneka yang mati rasa, yang kini harus hidup dengan beban pengkhianatan yang tak termaafkan.
Kehidupan mewah di apartemen itu terus berputar, menyajikan ilusi kesempurnaan di mata dunia luar. Rena tetap menjalankan perannya sebagai istri Mr. Kwame Mensah yang anggun dan patuh. Setiap pagi, ia bangun di samping tubuh besar Kwame yang terlelap, di ranjang king size yang dingin dan terasa asing. Ritual berdandan dimulai, mengubahnya menjadi Rena yang tak bercela, dengan riasan sempurna dan rambut hitam panjang yang ditata rapi. Gaun-gaun sutra atau busana formal nan elegan menutupi tubuhnya yang telah sepenuhnya feminin, setiap lekuknya adalah hasil dari rekayasa yang brutal. Di meja makan, ia akan menjawab pertanyaan Kwame dengan suara lembut yang sudah terbiasa, menyesap tehnya tanpa minat, dan menatap ke luar jendela dengan mata kosong yang menyembunyikan badai di dalamnya.
Hari-hari diisi dengan kegiatan yang diatur Kwame: sesi spa pribadi, kunjungan singkat ke butik desainer di bawah pengawasan asisten Kwame yang tak pernah lengah, atau sekadar menunggu di apartemen sambil membaca buku-buku roman picisan yang disediakannya. Malam hari, mereka sering menghadiri jamuan makan malam bisnis atau acara sosial elit. Di sana, Rena selalu menjadi pusat perhatian, kecantikannya dipuji-puji, pesonanya dielu-elukan. Tak seorang pun curiga bahwa di balik senyum tipis itu, di balik mata yang terlihat lembut, tersembunyi neraka yang tak berujung. Mereka melihat trofi yang sempurna, tidak ada yang tahu ia adalah korban yang terperangkap.
Sentuhan Kwame semakin meresap ke dalam keberadaan Rena. Bukan lagi kejutan yang memicu perlawanan, melainkan bagian dari siklus yang memuakkan. Remasan kasar di payudara yang kini berisi, ciuman yang dipaksakan pada bibirnya, usapan tangan besar di pinggul dan pahanya yang melengkung. Dan yang paling menghina, sentuhan-sentuhan yang disengaja pada sisa kejantanannya yang layu di balik kain lingerie atau gaun tipis. Rena akan menahan napas, membiarkan tubuhnya menjadi objek pasif, mencoba memisahkan jiwanya dari raga yang kini sepenuhnya dimiliki Kwame. Rasa jijik masih ada, terkubur jauh di bawah lapisan mati rasa, namun tak lagi mampu memicu rontaan. Ia telah belajar bahwa setiap perlawanan hanya akan menambah penderitaan.
Suatu malam, setelah serangkaian jamuan makan malam bisnis yang melelahkan dan penuh senyum palsu, Kwame dan Rena kembali ke apartemen. Malam itu, suasana terasa lebih berat. Kwame telah meneguk banyak cognac, matanya berbinar dengan niat yang lebih gelap dari biasanya. Ia melangkah masuk, menjatuhkan kunci di meja marmer, dan menatap Rena dengan tatapan yang penuh gairah predator.
"Rena," desis Kwame, suaranya berat dan serak, "Kau tahu betapa aku menyukai malam seperti ini. Semua mata mengagumi karyaku. Dan sekarang, saatnya merayakan di antara kita berdua." Ia mendekati Rena yang berdiri terpaku di tengah ruang tamu. Tanpa menunggu jawaban, Kwame menarik pinggang Rena dengan kasar, membuat tubuh mungil itu terhuyung menempel padanya. Bibirnya yang beraroma alkohol kuat langsung menghantam bibir Rena, sebuah ciuman yang dipaksakan dan merampas setiap udara yang tersisa.
Rena hanya bisa diam, membiarkan serangan itu. Lidah Kwame memaksa masuk, mencari respon yang tak pernah ada. Tangan besarnya merayap di bawah gaun malam tipis Rena, meremas payudaranya dengan kekuatan yang membuat nyeri. Rena memejamkan mata, mencoba melarikan diri ke dalam kehampaan batinnya. Namun, malam ini, pelarian itu terasa lebih sulit.
Kwame mengangkat tubuh Rena dalam gendongan, membawanya ke kamar tidur utama. Ia menjatuhkan Rena dengan kasar ke atas ranjang besar, membuat gaunnya tersingkap dan memperlihatkan lingerie sutra hitam tipis di dalamnya. Rena terbaring telentang, seperti patung porselen yang siap dipecahkan. Kwame berdiri di sisi ranjang, menatap Rena dengan nafsu membara, matanya dipenuhi keinginan untuk menguasai.