Setahun berlalu sejak Rena menemukan artikel majalah itu, setahun yang membenamkannya lebih dalam ke pusaran kehampaan yang tak berdasar. Rasa jijik dan pengkhianatan yang membakar di Bab 17 perlahan mengikis, tidak karena ia memaafkan, tetapi karena jiwa Revan terlalu lelah untuk melawan. Tubuhnya, yang kini sepenuhnya termorfosis menjadi Rena, telah mencapai puncak feminitas paksa. Rambutnya memanjang hingga pinggul, kulitnya kian mulus, dan lekuk tubuhnya menyerupai pahatan sempurna dari seorang wanita. Ia adalah Rena, tanpa sisa maskulinitas yang terlihat, bahkan dalam ekspresi atau gerak-geriknya.
Kwame telah memahatnya dengan sempurna. Setiap sentuhan, setiap latihan kepatuhan, setiap sesi pelecehan yang brutal telah menumpulkan naluri perlawanan Rena. Sensasi disodomi, yang dulu memicu rasa sakit dan kehinaan luar biasa, kini perlahan berubah. Bukan menjadi kenikmatan dalam arti yang sesungguhnya, melainkan sebuah penerimaan yang mengerikan, sebuah mati rasa yang membiarkan tubuhnya bereaksi tanpa keterlibatan jiwa. Sensasi itu menjadi bagian dari rutinitas, sebuah gema kosong dari kepuasan Kwame yang tidak lagi memicu rontaan histeris, hanya desahan pasrah yang samar. Rena tidak menikmatinya, tetapi ia juga tidak lagi merasakan kengerian yang sama. Ia telah belajar untuk memisahkan diri dari tubuhnya, membiarkan raga itu menjadi kanvas penderitaan Kwame, sementara jiwanya melayang entah ke mana. Ia ada, namun tidak hidup. Ia ada, namun tanpa perasaan.
Kehidupan sosial Rena semakin padat. Kwame dengan bangga memamerkannya di setiap kesempatan. Rena adalah perhiasan paling berharga yang selalu ia kenakan. Ia berbicara dengan anggun, tersenyum tipis, dan bergerak dengan keanggunan yang sempurna, membuat setiap orang terpukau. Tak seorang pun, di antara lingkaran sosial Kwame yang elit, yang akan menebak bahwa Rena adalah sebuah penjara hidup, sebuah boneka yang bernapas.
Suatu pagi, ponsel Kwame berdering. Rena, yang sedang menyiapkan teh di dapur, samar-samar mendengar percakapan itu. Ekspresi Kwame berubah menjadi senyum lebar yang jarang ia tunjukkan. "Oh, benarkah? Fantastis! Ya, tentu saja, kami akan sangat senang. Atur semuanya, dan beri tahu saya detailnya."
Rena tidak terlalu memedulikan. Mungkin tamu bisnis penting. Namun, beberapa hari kemudian, Kwame mengumumkan dengan nada ceria yang aneh, "Sayang, ada berita baik! Keluargamu akan datang berkunjung minggu depan! Ayah, Ibu, dan adikmu!"
Rena tertegun. Cangkir teh di tangannya bergetar. Darah di nadinya terasa membeku. Keluarga? Setelah semua yang ia temukan di majalah? Setelah semua kebohongan dan pengkhianatan itu? Sebuah gejolak emosi yang asing mencoba merayapi mati rasanya. Antara rindu yang terkubur dalam dan amarah yang belum sempat meledak. Ini adalah ujian terbesar bagi kehampaan yang telah ia bangun.
Minggu itu terasa seperti tahun. Setiap detik adalah siksaan. Rena terus berlatih senyumnya di depan cermin, mempersiapkan diri untuk pertunjukan terbesar dalam hidupnya. Ia harus menjadi Rena yang sempurna, tidak ada celah. Tidak boleh ada satu pun petunjuk tentang Revan yang hancur di dalamnya.
Hari kedatangan tiba. Apartemen dihiasi bunga-bunga segar. Hidangan terbaik disiapkan. Rena mengenakan gaun sutra berwarna emerald green yang mewah, rambutnya disanggul tinggi, dan wajahnya dipoles sempurna. Jantungnya berdegup tak karuan, kombinasi antara ketakutan, amarah, dan secuil harapan yang gila bahwa mungkin, hanya mungkin, ada sedikit penyesalan di mata mereka.
Pintu apartemen terbuka. Dan di sanalah mereka berdiri. Ayahnya, terlihat lebih gemuk dan rapi dengan jas mahal. Ibunya, dengan tas tangan bermerek dan perhiasan berkilauan, wajahnya tampak lebih muda dan bahagia. Dan Rani, adiknya, kini berpenampilan sangat modis, aura percaya diri terpancar dari dirinya. Mereka semua tampak makmur, bahagia, dan tak ada satu pun jejak penderitaan yang pernah ia bayangkan mereka alami. Mereka adalah bukti nyata dari artikel majalah itu.