Minggu-minggu setelah kunjungan keluarganya terasa lebih berat bagi Rena. Bisikan ibunya—"Kamu memang pantas jadi perempuan, Nak. Daripada laki-laki"—terus bergaung di telinganya, sebuah epitaf kejam bagi Revan yang telah mati. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi harapan. Mereka telah melupakannya, mengubur Revan dan merayakan Rena, monster yang telah ia menjadi. Kehampaan yang selama ini menjadi tamengnya kini terasa lebih pekat, menyerupai kabut tebal yang melumpuhkan setiap sisa emosi. Ia hidup, bernapas, tersenyum, tapi di dalamnya, Rena adalah kuburan bagi Revan, yang kini bahkan tak lagi ditangisi oleh dirinya sendiri.
Kwame, yang tak menyadari hantaman psikologis terakhir itu, semakin puas. Kepasrahan Rena yang total, kehampaannya yang tak beriak, dianggapnya sebagai bukti kepemilikan mutlak yang tak tergoyahkan. Ia membawa Rena ke berbagai acara sosial yang lebih besar dan mewah, dari gala amal di Paris hingga pesta yacht di Mediterania. Rena selalu di sisinya, anggun, patuh, dan diam, menjadi perwujudan fantasi terliar Kwame. Ia adalah trofi yang hidup, selalu dipamerkan, disentuh, dan diperlakukan sebagai perpanjangan dari kekuasaan Kwame.
Dalam setiap perjalanan, di setiap kota baru, Rena akan mencari cermin. Ia akan menatap pantulannya, mencoba melihat sesuatu yang familiar, sesuatu dari Revan. Namun, yang ia temukan hanyalah Rena, seorang wanita sempurna yang asing, dengan mata kosong yang memantulkan bayangan dunia yang kejam. Ia mencoba mengingat wajah aslinya sebelum transformasi, suara aslinya, sentuhan aslinya. Tapi kenangan itu terasa jauh, buram, seperti mimpi buruk yang enggan ia hadapi.
Kadang, di tengah keramaian pesta, Rena akan menangkap tatapan orang asing—mungkin seorang pelayan yang melihat sesuatu di matanya, atau tamu yang sekilas merasa ada yang aneh dari kesempurnaannya yang terlalu dingin. Mata Victoria, psikolog dari London itu, pernah menjadi secercah harapan. Tapi sekarang, Rena bahkan tak sanggup lagi memikirkan bantuan. Untuk apa? Siapa yang bisa menyelamatkan hantu yang telah rela mati demi menyelamatkan orang-orang yang telah menguburnya hidup-hidup? Ia hanyalah Rena, boneka yang menunggu instruksi, mengangguk, tersenyum, dan menerima sentuhan Kwame tanpa perlawanan.
Satu-satunya momen di mana Rena merasa sedikit "hidup" adalah saat ia melukis. Kwame masih mempekerjakan instruktur seni untuknya. Di studio pribadinya yang luas, dengan kanvas putih di hadapannya, Rena akan melukis pemandangan abstrak, namun kali ini, ada kegelapan baru yang meresap ke dalam setiap sapuan kuasnya. Warna-warna yang ia pilih cenderung lebih gelap, lebih muram. Garis-garisnya lebih tajam, lebih kasar. Lukisannya menjadi cerminan dari jiwanya yang terkoyak, sebuah teriakan tanpa suara. Kwame tidak terlalu memerhatikan detail itu. Baginya, Rena melukis, itu sudah cukup. Lukisan-lukisan itu, meskipun penuh penderitaan, akan menambah nilai koleksinya.
Suatu sore, saat Kwame sedang sibuk dengan panggilan telepon bisnis penting di ruang kerjanya, Rena berjalan santai di galeri seni pribadi di apartemen. Ia berhenti di depan sebuah lukisan potret wanita yang baru saja ia selesaikan. Wajah wanita itu cantik, anggun, namun matanya kosong, dengan ekspresi yang tak terbaca. Rena membelai kanvas itu dengan jemarinya. Ini adalah potret dirinya, Rena. Tapi di sudut bawah lukisan, tersembunyi di balik sapuan warna gelap, ia melukis siluet samar seorang pria berambut pendek, seolah terperangkap di balik bayangan wanita itu. Itu adalah Revan. Sebuah pesan rahasia, pengingat bagi dirinya sendiri bahwa ia pernah ada.