Sejak bisikan kejam ibunya itu menancap di jiwanya, setiap hari adalah pengukuhan atas status Rena sebagai sebuah kepemilikan. Pengetahuan bahwa ia hanyalah salah satu dari sekian banyak "koleksi" Kwame yang akhirnya "menghilang" terasa seperti hukuman mati yang tertunda. Tanpa harapan akan penyelamat atau akhir yang berbeda, Rena tenggelam lebih dalam ke dalam kekosongan yang ia bangun sendiri.
Kehidupan Rena tetap berputar dalam lingkaran emas yang disiapkan Kwame. Ia adalah bayangan, bergerak tanpa tujuan kecuali memenuhi kehendak tuannya. Setiap sentuhan Kwame, setiap pelecehan yang terus berlanjut, terasa semakin hampa. Tubuhnya merespons dengan sendirinya, sebuah mesin yang telah diprogram untuk patuh, sementara pikiran Rena mengembara ke tempat yang jauh, mencoba membangun dinding terakhir yang tak bisa ditembus Kwame.
Suatu pagi, di tengah sarapan yang sunyi, Kwame menjentikkan jarinya ke meja. "Sayang, aku punya kejutan untukmu," katanya, senyum lebarnya memperlihatkan deretan gigi putih yang sempurna. "Kita akan berlibur. Ke sebuah vila pribadi di selatan Prancis. Jauh dari hiruk pikuk kota, hanya kita berdua."
Rena hanya mengangguk, matanya kosong. Liburan? Baginya, setiap tempat adalah penjara, setiap momen adalah siksaan yang berbeda.
"Dan untuk liburan ini," lanjut Kwame, tatapannya menyusuri tubuh Rena yang dibalut jubah mandi sutra, "aku ingin sesuatu yang berbeda. Kau tahu, di sana sangat hangat. Aku tidak ingin kau memakai gaun-gaun berat atau pakaian formal itu. Aku ingin kau berpenampilan minim. Seksi. Aku ingin melihat setiap inci keindahan tubuh yang telah kubentuk ini."
Jantung Rena menciut. Pakaian minim. Seksi. Itu berarti lebih banyak lagi bagian dirinya yang akan terpamerkan, lebih banyak lagi ia akan merasa telanjang di hadapan Kwame, dan bahkan mungkin di depan mata pelayan atau staf vila. Selama ini, gaun-gaun yang ia kenakan setidaknya memberi ilusi perlindungan, menutupi kehinaan di baliknya. Kini, Kwame ingin menelanjanginya, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara simbolis.
"Aku sudah menyiapkan beberapa pakaian khusus untukmu," kata Kwame, seolah membaca pikiran Rena. "Jangan khawatir. Hanya yang terbaik. Bikini, pakaian renang yang terbuka, gaun-gaun pantai yang transparan. Aku ingin kau bebas bergerak, merasakan matahari dan angin di kulitmu. Dan aku ingin melihatnya." Senyumnya melebar menjadi seringai posesif.
Rena hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat. Ia tahu perlawanan adalah sia-sia. Kwame tidak meminta, ia memberi perintah. Di benaknya, ia bisa membayangkan dirinya terbaring di tepi kolam renang, tubuhnya terekspos sepenuhnya di bawah tatapan Kwame, sebuah objek yang dipamerkan tanpa malu. Ia membayangkan kain-kain tipis yang akan menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang telah direkayasa, setiap tanda perubahan yang telah ia alami.
Persiapan liburan dimulai. Asisten Kwame membawakan koper-koper berisi pakaian-pakaian yang disebutkan Kwame: bikini dengan potongan rendah, pakaian renang one-piece dengan belahan tinggi dan detail jaring yang transparan, gaun pantai dari bahan sheer yang nyaris tembus pandang, dan lingerie sutra yang lebih berani dari biasanya. Rena memegang salah satu bikini itu, kainnya terasa tipis dan tak memberikan perlindungan apa pun. Ia menatap pantulannya di cermin, membayangkan dirinya mengenakan itu. Sekali lagi, ia merasa dirinya direduksi menjadi seonggok daging, sebuah objek estetika yang brutal.