Liburan di selatan Prancis berlanjut, setiap hari adalah pengulangan siklus kehinaan yang lebih dalam. Rena adalah permata hidup yang dipamerkan, disiksa, dan dinikmati di bawah terik matahari Mediterania. Desahan "kenikmatan" yang kini keluar dari bibirnya selama adegan ranjang, meskipun memuakkan bagi sisa-sisa kesadarannya, adalah sebuah bukti nyata adaptasi tubuhnya terhadap kekejaman. Revan telah mati, terkubur di bawah lapisan kepasrahan, dan Rena kini benar-benar menjadi wanita yang diinginkan Kwame – sepenuhnya patuh, sepenuhnya terjamah, sepenuhnya terbiasa dengan rasa sakit.
Vila mewah itu, dengan pemandangan laut yang memesona, tidak lagi terasa seperti pelarian. Sebaliknya, ia adalah sangkar emas yang lebih luas, di mana setiap sudut, setiap sentuhan angin, setiap kicauan burung, seolah menjadi saksi bisu dari kehancuran dirinya. Kwame, tanpa sedikit pun keraguan atau penyesalan, semakin menikmati kendali mutlaknya. Ia akan meminta Rena mengenakan pakaian yang lebih minim, lebih transparan, bahkan untuk sekadar berjalan-jalan di taman pribadi atau makan siang di tepi kolam renang. Tangan besarnya akan seringkali menelusuri lekuk tubuh Rena yang terbuka, meremas payudaranya, atau bahkan menyelipkan jari ke dalam bikininya, bermain-main dengan penis Rena yang kecil dan lemas, semua ini dilakukan dengan terang-terangan di hadapan staf vila yang berpura-pura tidak melihat. Rena hanya akan tersenyum tipis, menunduk, membiarkan tubuhnya menjadi panggung bagi dominasi Kwame.
Suatu sore, saat Kwame sedang sibuk dengan panggilan video bisnis di ruang kerjanya, Rena memutuskan untuk menjelajahi taman yang lebih dalam. Ia berjalan tanpa alas kaki di atas rumput yang lembut, merasakan embun membasahi telapak kakinya. Aroma bunga melati bercampur dengan bau laut, menciptakan suasana yang seharusnya menenangkan, namun bagi Rena, semua itu hanya menambah rasa sesak. Ia tiba di sebuah sudut terpencil taman, tempat ada dinding batu tua yang ditumbuhi lumut dan tanaman merambat. Di balik dinding itu, sebuah pintu kayu kecil yang lapuk mengarah ke jalan setapak yang jarang dilewati.
Tanpa sadar, jemari Rena menyentuh ukiran samar di dinding batu. Ukiran itu terasa kuno, mungkin sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Ia menelusurinya, merasakan tekstur kasar batu di bawah sentuhannya. Tiba-tiba, ia merasakan sakit tajam di ujung jarinya. Sebuah serpihan kecil dari batu itu menusuk kulitnya. Darah merembes, merah pekat menodai jari putihnya.
Rena menatap darah itu, terkejut. Sudah lama sekali ia tidak merasakan sakit fisik yang murni, sakit yang bukan akibat sentuhan Kwame. Darah itu, merah dan nyata, adalah pengingat yang aneh akan keberadaannya, sebuah tanda bahwa ia masih bisa terluka oleh hal lain selain penghinaan. Sebuah ironi yang menyedihkan. Ia mengangkat jarinya ke bibir, menghisap darah itu. Rasanya asin, seperti air mata yang tak bisa lagi ia keluapkan.
Kembali ke vila, Kwame sedang tidak berada di sana. Ia mungkin pergi golf atau bertemu kolega bisnis. Rena memiliki beberapa jam untuk dirinya sendiri. Ia pergi ke studio lukisnya di paviliun, tempat ia menemukan buku sketsa sebelumnya. Ia menatap gambar wanita terikat di dalam sangkar, dengan siluet pria yang mencoba meraih keluar. Gambar itu kini terasa lebih relevan dari sebelumnya.