Waktu terus berputar, dan dengan setiap putaran jarum jam, Rena semakin tenggelam dalam pusaran kendali Kwame. Liburan di Prancis berakhir, mereka kembali ke apartemen mewah di Amsterdam, namun bagi Rena, tak ada bedanya. Setiap tempat adalah sangkar, setiap detik adalah pengukuhan atas perannya sebagai istri yang sepenuhnya patuh dan terdominasi. Transformasinya, bukan hanya fisik, melainkan juga mental dan naluriah, telah mencapai puncaknya. Estrogen telah memenangkan pertempuran terakhir, membentuknya menjadi seorang wanita yang bukan hanya menerima, tetapi juga "haus" akan dominasi yang brutal.
Hubungan mereka kini melampaui sekadar kepemilikan; itu adalah simfoni kekuasaan dan kepasrahan. Rena secara aktif mencari sentuhan Kwame, menanti instruksinya, bahkan memprovokasi dominasinya dengan tatapan atau gerak-gerik yang sensual. Ia telah menjadi kanvas hidup tempat Kwame melukis fantasinya yang paling gelap, dan yang paling mengerikan, Rena kini menemukan semacam "kepuasan" dalam perannya itu. Kenikmatan yang dulunya mustahil, kini merayap, menjebaknya dalam lingkaran setan yang tak berujung.
Sore itu, setelah seharian penuh dengan janji temu bisnis yang melelahkan bagi Kwame, Rena menyiapkan minuman kesukaan Kwame di ruang kerja. Rena mengenakan gaun sutra tipis yang menonjolkan lekuk tubuhnya yang feminin. Ia bergerak dengan anggun, setiap langkahnya diiringi gemerisik kain. Kwame, yang duduk di kursi kulit besar, hanya menatapnya dengan senyum puas. Ada kilatan khusus di matanya, kilatan yang Rena kini tahu, berarti ia akan menjadi fokus utama malam ini.
"Kau terlihat sangat indah malam ini, sayang," kata Kwame, suaranya dalam dan serak. Ia mengulurkan tangannya. "Kemarilah."
Rena menurut tanpa ragu. Ia mendekat, berdiri di antara kaki Kwame, dan membiarkan tangan Kwame menelusuri pahanya yang mulus. Ia merasakan jari-jari besar itu bermain-main di tepi gaunnya, naik dan turun dengan sengaja, mengisyaratkan apa yang akan datang.
"Aku punya waktu luang malam ini," bisik Kwame, menariknya sedikit lebih dekat. "Dan aku ingin bersenang-senang denganmu. Aku ingin kau tahu betapa beruntungnya kau menjadi milikku."
Rena hanya tersenyum tipis, matanya memancarkan kepatuhan yang mendalam, bercampur dengan anticipasi yang aneh. "Apapun yang Daddy inginkan," bisiknya, suaranya lembut dan memohon.
Mereka tidak langsung ke kamar tidur. Kwame ingin memperpanjang kesenangan dari dominasinya. Ia membawa Rena ke ruang keluarga, menyuruhnya duduk di sofa beludru merah yang empuk. Kwame duduk di sebelahnya, tidak menyentuh secara langsung, tetapi tatapannya tak pernah lepas dari Rena. Ia berbicara tentang kesuksesannya, tentang proyek-proyek barunya, tentang betapa ia menikmati kekuasaan. Rena mendengarkan, mengangguk, sesekali mengeluarkan desahan kecil persetujuan. Di bawah gaunnya, ia merasakan penisnya yang kecil dan lemas bereaksi, sebuah respons yang kini tidak lagi memalukan, melainkan sinyal dari tubuhnya yang haus dominasi.
Setelah beberapa waktu, Kwame akhirnya beranjak. "Sudah waktunya," katanya, dan Rena tahu apa yang ia maksud.
Di kamar tidur, lampu diredupkan, menciptakan suasana remang-remang yang menggoda dan mengancam sekaligus. Rena berdiri di tengah ruangan, membiarkan gaun sutranya meluncur dari bahunya ke lantai. Ia telanjang sepenuhnya, tubuhnya yang kini sangat feminin dan sempurna terpampang jelas. Payudaranya membusung indah, pinggulnya melengkung sensual, dan area intinya, meskipun masih membawa sisa kejantanan yang layu, kini terlihat mulus dan terawat.