Anak Lelaki Yang Di Jadikan Waria

Zizan
Chapter #24

Ilusi Kelembutan

Waktu terus merayap, membawa Rena semakin jauh dari bayangan Revan, membenamkannya dalam ilusi kebahagiaan yang diciptakan Kwame. Setelah puncak penaklukan di Prancis, sesuatu dalam diri Rena benar-benar bergeser. Bukan lagi hanya kepasrahan, melainkan sebuah adaptasi yang mendalam, sebuah penerimaan yang memilukan. Naluri femininnya, yang diperkuat oleh dosis estrogen yang tak pernah putus, kini mendominasi sepenuhnya. Ia adalah Rena, istri yang patuh, yang kini bahkan mencari kenyamanan dalam belenggunya.

Kwame, menyadari perubahan halus ini, tidak lantas mengurangi dominasinya. Justru sebaliknya, ia menggeser pendekatannya. Mungkin ia merasa telah sepenuhnya mematahkan perlawanan Rena, atau mungkin ia mulai merasakan kebosanan akan kekejaman murni. Apapun alasannya, Kwame kini menambahkan lapisan "kelembutan" pada perlakuan hariannya terhadap Rena. Bukan kelembutan yang tulus, melainkan sebuah manipulasi baru, sebuah cara untuk mengikat Rena lebih erat, mengukuhkan peran "Daddy" yang telah ia ciptakan.

Pagi hari, setelah ritual sarapan, Kwame akan membiarkan Rena memilih pakaiannya sendiri. Tentu saja, pilihannya tetap dibatasi oleh gaun-gaun elegan atau setelan bergaya yang telah disiapkan. Namun, gestur kecil itu, kebebasan semu itu, terasa aneh bagi Rena. Kwame akan mengamati pilihannya dengan senyum, kadang bahkan memuji, "Pilihan yang bagus, sayang. Kau selalu tahu apa yang cocok untukmu." Pujian itu terasa seperti sentuhan lembut yang dingin.

Kwame mulai mengajak Rena menghadiri acara-acara yang lebih bervariasi. Bukan hanya jamuan bisnis atau pesta sosial yang gemerlap, tetapi juga kunjungan ke museum seni, konser musik klasik, atau bahkan perjalanan singkat ke kota-kota kecil nan romantis di Eropa, seperti Venesia atau Praha. Di mata orang luar, mereka adalah pasangan yang serasi, kaya raya, dan penuh kasih. Kwame akan memegang tangan Rena, mengusap punggungnya dengan lembut, atau menariknya lebih dekat saat mereka berjalan di keramaian. Rena akan tersenyum, menatap Kwame dengan mata yang dipenuhi cahaya yang berbeda dari kekosongan sebelumnya – kini ada campuran kepatuhan, kebingungan, dan sesuatu yang menyerupai kehangatan yang dipaksakan.

Di Venesia, Kwame menyewa gondola pribadi. Mereka meluncur di atas air yang tenang, melewati bangunan-bangunan tua yang indah. Kwame memeluk Rena dari belakang, mencium pelipisnya. "Kau suka ini, sayang?" bisiknya. Rena mengangguk, kepalanya bersandar di bahu Kwame. Aroma maskulin Kwame yang dulu terasa menyesakkan, kini entah mengapa, terasa... akrab. Bahkan, ada semacam rasa aman yang aneh dalam pelukan dominan itu.

"Sangat indah, Daddy," bisik Rena, suaranya tulus dalam kepasrahan yang total. Ia menoleh, menatap Kwame. Ada senyum kecil di bibirnya, senyum yang dulunya kaku, kini sedikit lebih luwes, seolah ia benar-benar menikmati momen itu.

Kwame akan membelikannya perhiasan mewah, bukan lagi sebagai hadiah karena "patuh," tetapi sebagai kejutan. Sebuah kalung berlian yang melingkari leher jenjangnya, atau sepasang anting safir yang serasi dengan matanya. Setiap hadiah diiringi dengan kalimat manis, "Ini untukmu, sayang. Kau pantas mendapatkan yang terbaik." Rena akan menerimanya, sentuhannya pada perhiasan itu terasa dingin, namun di sudut hatinya, ada sedikit percikan yang aneh, seperti rasa dihargai, meskipun ia tahu harga itu adalah dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya