Medan, 1998.
Siang itu, Nurinaya akan berangkat ke kantor, langkahnya terhenti saat mendengar keributan di luar kamar. Sejak Ciho berusaha menjalankan tuntunan syariat islam, hari-hari di rumah itu selalu di hiasi dengan perdebatan. Setiap hari libur, pasti terjadi pertengkaran antara pak Ben dan Ciho. Pak Ben tidak suka pada Ciho yang terus menceramahinya dengan mengatakan; bapak melakukan perbuatan syirik!
"Lepaskan jilbabmu itu! Kau tahu, kan, bapak dan mamak bukan haji! Jadi nggak usah ikut-ikutan pake penutup kepala segala! Lagi pula itu hanya budaya arab." teriak bapak berkacak pinggang di depan Ciho.
"Jilbab bukan buda arab, pak! Tapi perintah Allah yang tertulis di dalam Alquran. Kalau nggak boleh menjalankan printah agama, lalu untuk apa kita memeluk islam? Kenapa tidak di agama yang lama saja?" bantah Ciho.
"Islam yang kutahu bukan seperti itu!"
"Makanaya, bapak kalau belajar agama jangan setengah-setrngah, jadinya seperti inil. Nggak paham sama hukum agamanya sendiri!"
"Jaga mulutmu itu! Pokoknya bapak tidak mau tahu, buka jilbabmu itu! Kalau kau bersikeras memakainya, bapak tidak akan membiayai kuliahmu lagi. Berhenti saja kuliah. Untuk apa menyekolahkanmu jika bisanya cuma melawan orangtua!" ujar bapak brlalu dengan wajah kesal.
Ciho tetap bertahan di kursi, walau wajahnya murung, tapi tidak ada air mata yang mengalir. Entahlah, mungkin ia sudah terlalu sering dimarahi bapak. Nuri ke luar dari kamar, ia hanya melirik kakaknya itu sambil lalu.
Warung dan rumah tinggal mereka menyatu, hanya dibatasi oleh pintu penghubung ke ruang tamu. Nuri mendapati kedua orangtuanya sedang ngobrol di warung.
"Pak, Mak, aku berangkat kerja dulu, ya." sapa Nuri berpamitan.
"Hm, hati-hati di jalan." sahut mamak sekenanya.
Setelah menyelesaikan pendidikan kejuruan analis kesehatan, Nuri diterima bekerja di sebuah klinik. Dua tahun bekerja di klinik itu, ia melanjutkan kuliahnya sambil bekerja. Senin sampai jumat setiap pagi hingga siang, ia berada di kampus, malam harinya, ia bekerja di klinik mengambil siff malam. Begitulah aktifitas Nuri setiap hari. Ia akan pulang ke rumah orang tuanya jika hari sabtu siang dan kembali lagi ke klinik minggu sore.
Sebuah angkot jurusan padang bulan, terlihat dari kejauhan, Nuri menyetopnya, lalu naik. Ia selalu memilih duduk paling pojok sebab perjalanannya akan sangat panjang. Ia akan menempuh dua jam perjalanan menuju klinik tempatnya bekerja. Matanya sayu menatap langit biru, ia teringat pertengkaran Ciho dengan bapak. Walaupun dia juga kesal pada Ciho yang menurutnya terlalu memaksakan kehendak, tapi dia juga tidak tega melihat kakak perempuannya itu dimarahi terus, karena jilbab yang sekarang di pakainya.
Nuri juga termasuk salah satu yang alergi dengan jilbab. Bukan tdak suka, tapi malu memakainya merasa belum pantas. ia sangat gamang dengan ajaran islam. Dulu, saat masih duduk di bangku SMP, ia selalu gelisah setiap kali pelajaran agama. Jangankan membaca al-quran, huruf hijaiyah saja ia tidak hafal. Dan itu terus berlanjut hingga masuk ke sekolah menengah kejuruan.
Sesaat, ia teringat masa-masa sekolah dulu. Sudah menjadi kegiatan rutin di sekolahnya, jika setiap bulan ramadhan, osis mengadakan tadarusan bersama, yang dibagi per kelas. Setiap kali kelasnya mendapat giliran, Nuri nekat melarikan diri dari sekolah dengan melompati pagar. Dia takut menjadi ejekan teman-temannya karena tidak bisa membaca al-quran.