Hari ini, Nuri pulang ke rumah orangtuanya. Sudah dua minggu dia tidak pulang. Padahal kampus dan tempatnya bekerja masih berada dalam satu kota.
"Dengaren, pulang," sindur Ciho yang sudah duluan tiba di rumah.
Nuri hanya diam, matanya melirik sinis kakak ceriwisnya itu. Ia berjalan ke kamar dan merebahkan tubuhnya. Perjalanan klinik menuju rumah, cukup jauh, memakan waktu sekitar dua jam. Namun, bukan itu yang membuatnya lelah. Pernikahn dr. Andres menyisakan luka di hatinya. Walau keduanya berpisab baik-baik, tetap saja pernikahan dr. Andres membuat Nuri patah hati.
"Kirain udah nggak ingat pulang." sindir Ciho. Ia sibuk merangkai bunga pesanan pelanggannya.
"Munggu lalu ada acara, jadi nggak bisa pulang."
"Acara apa?"
"Nikahan dr. Andres,"
"Dr. Andres nikah? Alhamdulillaaah," Ciho mengangkat tangannya dan mengusap wajahnya.
"Puas?" tanya Nurina kesal.
Ciho tersenyum kecut, sesaat dia diam, matanya lekat menatap Nuri yang tak peduli dengan kegelisahaannya. "Bukannya aku senang melihat kau menderita, Ri. Tapi, mungkin inilah saatnya kau berubah. Mau sampe kapan kau terus seperti ini?" ujar Ciho dengan raut wajah sedih.
Kening Nuri mengkerut, "Berubah gimana sih, memangnya satria baja hitam, bisa berubah? Lagi pula apa yang salah padaku sampai harus berubah? Ci, dengar ya! Jangan mentang-mentang kau sudah pake jilbab, terus ngerasa jadi paling alim sedunia!" sergah Nuri. Matanya bulat menatap Ciho.
"Ri, aku cuma mau berbagi kebahagiaan. Jika Allah ridho, Aku ingin kita dijalan yang sama. Aku ingin kau juga senang bisa baca Al-quran. rajin shalat sepertiku."
"Aku nggak butuh kebahagiaan seperti itu, nikmati saja sendiri. Ngapain sih, pake ngajak-ngajak segala. Bikin sebel orang saja." celetuk Nuri dengan wajah masam. Ia beranjak dari tempat tidur dan pergi ke dapur.
Saat berada di rumah, Nuri selalu menyempatkan diri memasak didapur. Sebab, memasak adalah salah satu hobinya. Dikeluarkannya bahan mentah dari kulkas dan menaruhnya di nampan. Lalu membawanya ke depan tivi.
Ia duduk bersila di samping sofa. Jemarinya lincah mengiris cabe hijau, bawang merah, bawang putih, dan beberapa bumbu dapur lainnya. Kali ini, ia akan memasak taucho udang.
"Asik, Kak Nuri pulang, saatnya makan enak!" Teriak Lintang yang baru keluar dari kamarnya.
Nuri tidak menjawab, suasana hatinya masih belum membaik. Ia fokus merajang cabe dan bawang. Sesekali matanya menatap layar kaca di depannya. Lintang tiduran di sofa sembari menonton tivi.
"Li, ambilkan dulu minum kakak di dapur." perintahnya.