Hal yang paling menyedihkan ketika harus repot menyiapkan makanan, itupun tidak seberapa enak, karena apapun masakannya bumbu yang ku tahu hanya ketumbar, bawang merah dan bawang putih.
Dan kesedihan berikutnya adalah kemudian harus memakannya sendirian, kalau saja Emak bersamaku, dia pasti bisa membuatnya lebih lezat.
Jika emak bersamaku, dia tak kan membiarkanku, makan dalam kesedihan.
Ah ... Emak, mengingat kasihmu hanya membuatku menangis, betapa didunia sebesar ini benar-benar tak ada yang mencintaiku lebih darimu.
Walaupun disini memang untuk bekerja, tapi sungguh bukan pekerjaan yang membuatku merasa berat dan tidak betah.
Aku bukan tak kuat bekerja keras, Aku mampu. Nyatanya kesedihan justru datang disaat-saat sendirian, dan lengang.
"Ham ...," Itu suara Zul, tak ku pungkiri, bahagia terkadang dengan kehadirannya. Mau bagaimana lagi dialah disini yang selalu rajin menyambangiku.
"Tak tidur Kau Zul?" ucapku setelah membuka pintu, dia hampir tak pernah masuk kerumah, biasanya hanya berhenti diteras.
"Bosan tidur terus Ham, Mau coba keluar tak Ham? Suntuk rasanya melihat hamparan tambak siang dan malam," sepertinya keadaan batinnya tau jauh beda dariku.
"Boleh, kemana kita Zul? Aku juga sudah mulai kangen rumah. Sudah mulai rindu masakan emakku yang tak pernah hambar Zul!" ucapku sedikit kuberi tawa agar tak terlalu terdengar nelangsa.
"Yang pasti harus keluar dulu dari area tambak, ternyata yang lain juga keluar dimalam minggu Ham, kita saja yang tak tahu, malam minggu malah berdua-dua sama kamu jiahhh ...," Zul berlagak memandang sinis padaku.
"Bukan hanya malam minggu, setiap hari kau mendatangiku Zul, hahh ... baik segera kau pacari siLina, takut juga aku kau jadikan pelarian ha ... ha ..., " tawaku keras, menetralisir tekanan didalam sana.