Anak rantau diujung Bagan

Suyanti
Chapter #4

Pulang malu tak pulang rindu

Jujur memang berat kurasakan, hari demi hari, bukan sekedar karena beratnya pekerjaan, juga bukan hanya melulu karena tak mampu menahan rindu kampung halaman.

Tapi ... Tabungan yang minim, walau sudah berusaha hidup dengan sedemikian hematnya.

Dulu, ketika tanda tangan perjanjian, aku begitu senang saat membaca satu pasal, bahwa berhak mengambil cuti maksimal 12 hari, bagi pekerja yang telah bekerja minimal satu tahun.

Aku terus menantikan hari itu, dan beberapa hari lagi, genap satu tahun, tinggalku dan bekerja disini.

Bahagia? Iya, tentu saja. Bukan hal mudah bertahan satu hari dalam sepi disini.

Terkadang malah serasa sudah patah arang, pernah ingin langsung pulang. Tapi setelah tenang, dipikir lagi, dan dipertimbangkan, hingga akhirnya kuurungkan, beberapa kali terjadi seperti itu.

Aku pernah menargetkan satu angka, tapi jauh sekali ternyata mengejarnya. Lalu bagaimana? masa pulang tak bawa apa-apa?

Aku benar-benar merasakan sekarang, tulisan di bis angkutan, "pulang malu, tak pulang rindu" yang dulu kuanggap lucu, tapi kini terasa perih dan membingungkan.

Sempat berharap akan ada bonus, saat panen melimpah beberapa minggu kemarin, disaat hasil panen bagus, dan harga jual naik, berada dilevel tertinggi dari biasanya.

Tapi ternyata tak ada, tidak sedikitpun, kami hanya bisa gigit jari, mengangkat hasil jerih payah kami yang istimewa dipanen kali ini. Kecewa? pastinya, tapi bisa apa?

Keuntungan hanya untuk pemegang saham perusahaan, bukan untuk karyawan yang sepenuh jiwa mengelolanya, memang begitu mungkin aturannya.

Kami cukup ikut berbahagia, atas hasil kerja kami yang luar biasa. Karena bagi atasan, keberhasilan itu karena komposisi yang pas, sesuai dengan cuaca, sementara kesungguhan kami tak ada nilainya.

Lihat selengkapnya