"Ham ... Irhamm ...," Zul berlari diatas parit.
"Heh ... Kenapa Kau ni? dah seperti orang kesurupan!" omelku karena memang terkejut.
"Ham, tolong Ham, Lina menangis di pondok perkakas," ucapnya tergesa sambil menarik tanganku.
"Kau apakan si Lina Zul, Kau macam-macam sama anak gadis orang hah?" setengah berteriak, aku berlari mengikutinya.
Sementara Zul terus berlari, tak menggubris pertanyaanku, dan tak lagi berkata-kata, hanya terbias rona panik diwajahnya.
Begitu Zul berhenti, kulihat Lina menyusut air matanya.
"Maaf Dek, Abang tidak bermaksud memaksa!" ucap Zul menghampiri Lina.
"Tidak Bang, Adek yang minta maaf, Adek hanya tidak tahu bagaimana harus bilangnya, Adek masih mau sekolah Bang, Adek menjaga peringkat 1 selama ini, Adek sedang mengejar beasiswa, agar bisa masuk SMA negeri dikota. Adek mohon, Abang jangan benci!" Jelas Lina dengan gaya bicaranya yang memang sedikit manja.
Membuatku menarik nafas lega, lega karena sempat terfikir telah terjadi apa-apa.
"Lalu kenapa Kau menangis?" tanya Zul,
"Adek takut abang benci, tapi Adek memang belum bisa menerima Abang atau siapapun menjadi pacar, apalagi menjadi istri, belum terfikir sama sekali Bang!" tegas Lina memohon pengertian.
"Lalu kenapa Kau panggil aku kesini hah?" kesalku pada Zul.
"Hah Kau ni Ham! " kesal Zul balik, kusambut dengan tawa.