Sampai dipondok, kuganti pakaian yang basah, kubersihkan sisa lumpur yang menempel dan menjemurnya.
Kusandang tas, berniat langsung pergi dari tempat ini, namun begitu membuka pintu, Zul telah berada di depanku, dengan sorot mata tajam, murka.
Ia mendorong keras tubuhku kembali kedalam hingga tertatih, hampir jatuh. Zul membanting pintu dengan keras, kemudian dengan cepat mengeluarkan badiknya.
"Kusuruh tunggu, kenapa Kau pergi?" gemerut dalam amarahnya, giginya terdengar beradu, sambil mengacungkan badik terus menyudutkan posisiku.
Sementara tubuhku terasa kaku, dan lidahpun kelu.
"Kutusuk gek Kau!" mataku terpejam, mungkin inilah saat terakhirku.
Walaupun kata gek/kagek sendiri, sebenarnya berarti 'akan'
Zul yang kukenal selama ini, seadatnya, saat selesai dia bilang "gek", maka badik itu harusnya sudah menancap di tubuhku.
Tapi kali ini, tak kurasa sakit, kubuka mataku, dan mendapati badiknya menancap diatas meja, tepat dihadapanku.
"Maaf Zul, kupikir Kau tertangkap, mereka semua menyebar kearahku, aku panik, hanya bisa berlari, dan hampir tenggelam saat berenang. Aku bersyukur Kau selamat, syukurlah kita selamat!" ucapku memeluk tubuh basahnya.
"Ayo kita pergi, sebelum semuanya diselidiki!" tambahku berusaha menarik tangan Zul.
Tapi Zul diam, amarahnya terlihat mereda, tapi ia tak bicara, meletakkan beberapa lembar uang dan pergi.
"Kau ingin aku pergi lebih dulu atau menunggumu?" teriakku. "Pergilah!" jawabnya,
"Hufth ..., " kuhela nafas dalam-dalam. Memungut uang yang memang kubutuhkan itu, kemudian menutup pintu, menatap sebentar bekas tempat tinggalku, dan berlalu.
Ketika hendak menaiki sampan, terdengar ada suara-suara, seperti ramai banyak orang, kuurungkan niatku, mendekati arah suara dan terkejut, mendapati Zul, digelandang oleh beberapa penjaga, dengan tangan terborgol.