“Percuma badan besar, tapi hanya berani sama anak-anak kecil. Lepaskan kami! Lawanlah bapak-bapak kami kalau benar jantan,” teriak Hepi kepada sosok beringas berbadan lebar itu. Berbekal beberapa helai nyali yang tersisa, dia berusaha menutupi rasa takut dengan muka marah dan mendongak menantang orang yang hendak menangkapnya.
Laki-laki tambun itu mendengus tidak peduli dan terus bergegas mendekat. Sorot matanya makin menikam. Bum- bum-bum, detak jantungnya bagai genderang perang yang bertabuh di balik anak telinganya. Kerjakan, selesaikan, habiskan.
Dengan enteng dia mencokok Hepi dan kemudian mengempaskannya ke sudut surau. Dinding kayu lapuk berderak dan bergoyang-goyang. Lalu dengan cekatan dia membuat buhul dari tambang kasar seibu jari dan menggantungkannya di palang kayu. Dalam beberapa kedip mata, satu kalung tali telah menggantung di depan wajah Hepi, terbuai-buai ke kiri dan kanan diembus angin, seperti main cilukba dengan Hepi.
Seketika, Hepi merasa setiap tetes darahnya tersedot surut ke hulu jantungnya. Tangannya terkulai lemas bagai pelepah daun pisang yang layu.
“Kalau kami jadi korban, orang sekampung akan membalas. Menggantung kalian satu-satu.” Hepi menyalak lagi ke arah laki-laki itu. Dia berusaha mengulur waktu.