ANAK RANTAU

Falcon Publishing
Chapter #3

Rapor Kosong

Pagi ini Martiaz tersentak dari mimpi gara-gara muazin tua bersin dua kali di corong pelantang masjid. Dia merayap lamban dari balik selimut dan meregangkan badannya yang linu dan jerih, akibat kurang istirahat bertahun-tahun. Sejak dia jadi perantau.

Langkahnya baru terayun ke kamar mandi ketika hidung- nya diserbu bau petai dan bawang goreng yang terbang dari dapur.

“Sesekali sarapan bareng dong, Yah. Ada nasi goreng Padang pakai petai, nih.” Dora, anaknya, berteriak sambil mengacau-ngacau isi kuali di depannya.

“Asal rasanya tidak kalah saja dengan buatan Ayah, ya.” Martiaz menjawab dengan tersenyum sambil bergegas meraih handuk.

“Anak yang tahu diuntung,” katanya lirih. Sambil mengguyur badannya, Martiaz bersyukur karena hanya perlu dua kali saja mengajari Dora memasak. Setelah itu, gadis muda ini mengambil alih kekuasaan dapur dari tangannya tanpa banyak cincong. Baginya, ini salah satu ukuran kesuksesan dalam mendidik anak gadis. Dengan handuk menggantung di leher dan ujung rambut masih meneteskan air, dia berdiri di depan cermin, memangkas jambangnya yang mulai menyemak dan bulu hidungnya yang menyembul-nyembul. Dia ingin klimis di hari tidak biasa ini.

Ondeh mandeh, pedas tapi enak. Bisa tambuah tiga piring ini,” puji Martiaz sambil menyendok lagi nasi yang memerah meriah karena diaduk dengan beberapa sendok cabai giling segar. Biji-biji petai hijau mengilat timbul tenggelam di sana-sini. Dora tersenyum sambil mengulurkan tangan, menambahkan segenggam remukan kerupuk merah jambu ke piring ayahnya. Saking jarangnya, Martiaz sudah agak lupa nikmatnya sarapan bersama kedua anaknya. Dia lirik ke sebelahnya, Hepi tampak lebih sibuk melahap komiknya daripada nasi. “Nak, makan itu pakai mulut, bukan pakai mata! Cepat makannya, kita berangkat sebentar lagi,” Martiaz berseru kepada anak bujangnya yang baru puber ini.

Lelaki menjelang 40 tahun ini lalu masuk bilik dan tangannya menggapai-gapai puncak lemari, meraih sebuah kopiah hitam yang langsung ditonggokkannya di puncak kepala. Ini peci spesial, hanya untuk acara istimewa. Pertama kali dikenakannya saat akad nikah. Lantas dia menarik-narik lengan bajunya ke bawah agar bisa dijuntaikan panjang- panjang, mencoba menutupi bekas tato di pergelangan tangan yang dulu dia setrika sendiri. Luka parut yang masih menyisakan bentuk samar-samar bergambar kapak dan keris panjang.

Setelah menyarungkan selop kulit hitam yang baru disemir, dia memutar kunci mobilnya. Tidak mewah, tapi ini sebuah mobil yang diimpikannya. Dia patut-patut wajahnya sekali lagi di kaca spion sambil bergumam lamat-lamat, “Akhirnya, aku buktikan.” Sejak bermobil, kepercayaan dirinya sebagai perantau semakin meninggi, meninggalkan kawan-kawan sepermainannya.

Hari ini Martiaz akan menyetiri Hepi ke sekolah untuk mengambil rapor. Selama ini, walau banyak ulah, suka bolos dan susah diatur, Hepi tidak pernah mengecewakannya soal prestasi sekolah. Kincir-kincir di kepalanya selalu berpusing. Otaknya encer dan menyedot segala sesuatu dengan tergesa dan lapar, layaknya alat pengisap debu.

Lihat selengkapnya